Peran Sosial dan Politik Permpuan Arab Masa Nabi Muamad SAW (610-632 M)-

BAB I
PENDAHULUAN
 Oleh www.web.unmetered.id

A.  Latar Belakang Masalah

Masalah perempuan merupakan persoalan yang selalu menarik untuk dijadikan sebuah kajian, baik di negara yang mayoritas beragama Islam maupun yang mayoritas non muslim. Diakui atau tidak, kehadiran kaum perempuan di muka bumi ini memiliki peranan yang amat penting. Mereka adalah bagian dari kehidupan ini, namun demikian, masih dirasakan sedikitnya masyarakat yang menyadari akan hal ini.  Persoalan yang menyangkut hak dan kedudukan perempuan di sekitar wilayah domestik dan publik  merupakan masalah yang pelik yang terus menjadi bahan perdebatan. Banyaknya ragam pendapat yang bersumber dari berbagai disiplin ilmu (filsafat, agama, sosiologi, politik, biologi, dan psikologi) telah menimbulkan bermacam–macam teori feminisme dan berbagai corak gerakannya.
Penolakan para feminis pada sistem patriarki telah mewarnai gerakannya yaitu ingin meruntuhkan struktur patriarki yang dapat digolongkan menjadi dua pola umum. Pertama, melakukan transformasi sosial dengan perubahan eksternal yang revolusioner. Para feminis dalam kelompok ini berpendapat bahwa perempuan perlu masuk ke dalam dunia laki–laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki–laki. Untuk itu perempuan perlu mengadopsi kualitas maskulin agar mampu bersaing dengan laki–laki.
Kedua, melakukan transformasi sosial melalui perubahan yang evolusioner. Berbeda dengan pola pertama, para feminis dalam kelompok ini percaya pada pemahaman deterministik biologi, yaitu menegaskan perbedaan alami antara laki–laki dan perempuan sehingga timbul apa yang di sebut kualitas feminin dan maskulin. Karenanya, kelompok ini berpendapat bahwa untuk meruntuhkan sistem patriarki dapat dilakukan dengan menonjolkan kualitas feminin.
Perbedaan pendekatan di antara kedua kelompok ini tentu telah menimbulkan perdebatan–perdebatan di antara kalangan feminis sendiri. Hal inilah yang memunculkan kritikan–kritikan yang dikemukakan oleh kedua kelompok tersebut. Para feminis yang tergabung dalam kelompok pertama atau para feminis modern mengkritik kelompok kedua sebagai pola yang justru melanggengkan sistem patriarki.  Romantisme kualitas feminin akan menyebabkan perempuan tetap pada posisnya, yaitu sebagai figur pengasuh, pasif, dan pemelihara yang cocok untuk menjadi ibu dan pekerjaan–pekerjaan di sektor domestik.
Kelompok kedua (feminis kultural) mengkritik kelompok pertama karena pendekatannya tidak akan meruntuhkan sistem patriarkis pada dunia maskulin, tetapi hanya mengubah komposisi para aktor–aktornya saja di mana para perempuan sudah lebih banyak aktif di dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki–laki. Para perempuan dianggap sudah menjadi male clone  (tiruan laki–laki) di dunia maskulin, yaitu para perempuan yang telah mengadopsi  kualitas  maskulin  (kompetitif,  dominan,  ambisi  vertikal, dan  memenuhi kepentingan pribadi).[1]
Perdebatan pun terjadi di kalangan para ulama, ketika Megawati Soekarno Putri akan menjadi Presiden Indonesia. Dengan berdasarkan hadits dan nash, hampir sebagian besar ulama Indonesia mengharamkan perempuan menjadi presiden, namun demikian  akhirnya Mega pun menjadi orang nomor satu di Indonesia. Inilah fenomena yang terjadi saat ini, dengan demikian betapa perlunya kita untuk menengok kembali sejarah masa lalu umat Islam, khususnya sejarah perempuan pada masa Rasulullah, yang mana pada masa inilah ajaran – ajaran Islam di turunkan melalui seorang utusan Allah yang amat mulia yaitu nabi Muhammad SAW yang pada saat itu beliau tinggal di kota Makkah.
Dipandang dari segi geografis, kota Makkah hampir terletak di tengah – tengah Jazirah Arabia.[2] Jazirah ini terletak di sebelah barat daya Asia. Di sebelah utara dibatasi oleh daratan Syam, sebelah timur oleh Teluk Parsi dan Oman, sebelah selatan oleh Lautan India, dan di sebelah barat dibatasi oleh laut Merah. Sebagian besar daerahnya merupakan daerah tandus, tidak ada sungai yang mengalir dengan tetap dan hanya terdapat beberapa yang kadang–kadang di genangi air, tetapi kerap kali kering. Di sana–sini hanya merupakan daerah padang pasir yang berupa fatamorgana sepanjang mata memandang.[3]
Jazirah Arab pada waktu itu diapit oleh dua negara besar yaitu Persia di Timur dan Romawi di barat.[4] Karena letak geografisnya yang amat strategis, Makkah menjadi tempat persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju ke kota pusat perniagaan. Di Makkah telah tersedia pasar–pasar sebagai tempat pertukaran barang–barang antar para saudagar dari Asia Tengah, Syam, Yaman, Mesir, India, Irak, Ethiopia, Persia, dan Rum.[5]
Secara umum masyarakat Arab pada saat itu merupakan masyarakat yang gemar berperang. Masalah kecil yang terjadi antara seseorang dengan yang lain dapat mengantarkan perang besar yang melibatkan beberapa suku. Kebanyakan akhlaq mereka sangat rendah, bahkan sama sekali tidak menghargai harkat dan martabat kaum perempuan.[6] Kaum perempuan ditindas, dilecehkan, dan dibenci oleh kedua orang tua mereka.[7]  Perempuan pada saat itu sering di jadikan sebagai jaminan atau alat pembayaran hutang para suami atau para orang tua mereka. Bahkan lebih dari itu menurut sejarah bayi perempuan di kubur dalam keadaan masih hidup atau dibunuh. Sungguh keadaan yang sangat mengkhawatirkan para ibu yang akan melahirkan bayi–bayi mereka.  Apalah daya mereka, karena mereka hidup di tengah–tengah masyarakat yang bercorak patriarkal yang emosional.
Seperti itulah nasib dari sebagian besar perempuan pada zaman jahiliah yang bertuhankan berhala (paganisme). Mereka sama sekali tidak memiliki hak untuk hidup sebagaimana layaknya seorang manusia yang memiliki kebebasan untuk melindungi diri sendiri. Berhala yang mereka anggap tuhan pun tidak dapat menyelamatkan kaum perempuan dari penderitaan yang sedemikian rupa. Dalam kondisi masyarakat yang demikian itulah nabi Muhammad SAW diutus untuk pertama kali menyampaikan risalah yang hampir seratus persen berlainan dengan kebiasaan yang berlaku.
Maka dari itu, penelitian ini mencoba membahas tentang peran sosial politik perempuan Arab pada saat Islam sudah mereka peluk dan menjadi pedoman hidup mereka. Dalam lembaran sejarah Islam, dijumpai keterangan bahwa perempuan mukminah memiliki banyak jasa yaitu selain ikut serta dalam berbagai peperangan dengan cara yang aktif dan positif, mereka juga memiliki kontribusi dalam upaya mengembangkan Islam.
Dalam perjalanan sejarah dakwah, melihat bahwa dalam setiap peperangan mereka selalu tampil mencari orang–orang yang terluka. Kemudian mereka obati dan mereka rawat dengan baik hingga seolah–olah mereka sebagai ibu dari para pejuang. Mereka merupakan bagian positif yang ikut serta memikul beban dan tanggung jawab. Bahkan cukup membanggakan bahwa yang pertama kali syahid adalah seorang perempuan, bukan laki–laki.Perempuan itu bernama Sayyidah Sumayah. Ia adalah istri Yasir. Dengan ketebalan imannya ia berani menentang Abu Jahal yang terkenal bengis dan kejam. Dia disiksa di lautan pasir yang sangat panas dengan kejam agar mau mengikuti kamauan Abu Jahal untuk meninggalkan Islam.[8]
Selain fakta atau bukti tersebut masih banyak fakta lain yang mungkin akan di kemukakan dalam pembahasan skripsi ini. Fakta sejarah tersebut merupakan bukti yang berbicara lebih bermakna dari berbagai bentuk alasan lain, kecuali Al-Qur’an dan hadits. Sekaligus menepis segala keraguan akan urgensi kiprah  sosial dan politik perempuan masa depan.
Berlatar dari pemikiran tersebut maka penelitian ini di lakukan untuk mengungkap sejarah sosial politik perempuan pada masa nabi Muhammad SAW (610–632) sebagai cerminan masa depan. Tidak hanya nash atau hadits saja yang dapat dijadikan sebagai alasan ataupun dalil, namun sejarah pun perlu dijadikan alasan atau dasar pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah sikap dalam kehidupan masa yang akan datang.
B.  Batasan Dan Perumusan Masalah.
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka untuk mewujudkan penelitian ini penulis memberikan batasan dan rumusan masalah sebagai berikut.
Penelitian ini di awali pada tahun 610 M yang mana pada tahun inilah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah. Sedang pada tahun 632 M merupakan wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Adapun pembahasan dalam skripsi ini akan di fokuskan pada peran perempuan dalam bidang sosial  yang menyangkut peran  di dalam rumah tangga dan masyarakat serta peran politiknya pada masa Nabi Muhammad SAW. Agar pembahasan dalam skripsi lebih terarah maka perlu dirumuskan beberapa permasalahan di antaranya :
1.         Bagaimanakah kondisi perempuan masyarakat Arab menjelang kerasulan  Nabi Muhammad SAW ?
2.         Bagaimanakah peran sosial dan  politik perempuan  Arab masa Nabi Muhammad SAW ?
3.         Apa kontribusi  sosial dan politik perempuan Arab masa nabi Muhammad SAW?  
C.  Tujuan Dan Kegunaan Masalah.
        Dalam suatu penelitian tentu terkandung tujuan yang hendak dicapai, maka sesuai dengan judul skripsi yang penulis kemukakan di atas dan berdasarkan rumusan masalah yang di kemukakan maka tujuan pokok dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.         Untuk mengetahui dan berusaha memahami kondisi perempuan  Arab menjelang kerasulan?
2.         Untuk mengetahui peran sosial dan politik perempuan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW.
3.         Mengetahui kontribusi sosial politik  perempuan Arab masa nabi Muhammad SAW?
Adapun kegunaan dalam penelitian ini di maksudkan sebagai berikut :
1.      Sebagai bahan informasi tentang sejarah peranan sosial dan politik perempuan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW, juga kontribusi yang dilakukannya bagi masyarakat atau mahasiswa, terutama bagi penulis sendiri.
2.      Menambah khasanah tulisan sejarah di lingkungan Fakultas Adab.
3.      Sebagai referensi bagi para perempuan yang ingin menjadi aktivis gerakan gender atau feminis yang sesuai dengan ajaran Islam.
D.  Tinjauan Pustaka.
Sejak gerakan feminis dan isu ketidakadilan gender pertama kali masuk ke Indonesia pada awal 1960-an hingga saat ini, di mana isu itu telah menjadi bagian dari fenomena dan dinamika sosial masyarakat Indonesia, posisi perempuan semakin baik.[9] Mengingat sejak dari tahun 1960-an isu ketidakadilan gender telah menjadi bahan perbincangan, mungkin sudah banyak sekali penelitian–penelitian yang dilakukan oleh para aktivis gerakan–gerakan tersebut.
Namun demikian, penulis belum menemukan hasil penelitian yang khusus membahas tentang peranan sosial politik perempuan masa nabi Muhammad SAW. Kebanyakan di antara karya mereka hanya memunculkan sedikit dari sekian banyak fakta sejarah yang perlu dikemukakan.
Ada beberapa sumber yang dapat dijadikan rujukan, di antaranya :
1.     Buku yang berjudul Menggugat Sejarah Perempuan  yang ditulis oleh Fatimah Umar Nasif, Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001.
Di dalam buku tersebut, ia mencoba menerangkan tentang hak–hak dan kewajiban perempuan muslim menurut Islam. Jadi, subyek kajian buku ini mengenai status perempuan dalam Islam, tetapi sebelumnya ia mengungkapkan sejarah perempuan di negara-negara kuno seperti Yunani, Babilonia dan lain-lain. Alasan ia menulis buku tersebut karena ia ingin memilih sebuah subyek yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW dalam rangka mencari karunia Allah dan menjelaskan manfaat dari kitab perundang–undangan yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Jadi ada perbedaan antara buku ini dengan penelitian yang penulis lakukan, yang mana penelitian ini terfokus pada sejarah peranan sosial politik perempuan pada masa nabi Muhammad SAW.
2.   Amatullah Shafiyah, Haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah : Konsep Dan Implementasinya,  Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Dalam buku ini, ia mencoba untuk menjelaskan makna politik. Sebenarnya dimana letak urgensinya muslimah terjun ke bidang politik, apa saja wilayah–wilayah yang di perbolehkan dan dilarang, rambu–rambu apa saja yang harus diperhatikan, serta elemen–elemen apa saja yang dapat menopang kiprah muslimah dalam politik. Letak  perbedaan buku ini dengan  penelitian  yang  saya  lakukan yaitu di  dalam  buku tersebut tidak menyinggung masalah peranan sosial perempuan di dalam masyarakat Arab.
3.   Asma Muhammad Ziyad, penterjemah, Kathur Suhardi, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam, Jakarta: Pustaka al –Kautsar, 2001.
Dalam buku ini penulis menyorot sepak terjang kaum wanita atau shahabiyah sejak awal datangnya Islam, hingga kiprah Aisyah dalam dunia politik pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Buku ini lebih banyak mengungkap kisah Aisyah dalam Perang Jamal. Semua itu ditinjau dari kacamata politik.  Perbedaan penelitian ini dengan buku tersebut yaitu  pada aspek social dan politik perempuan,  penelitian ini terfokus  pada masa nabi SAW.
E.  Landasan Teori.
            Dalam penelitian ini digunakan pendekatan sosiologi. Secara metodologis, penggunaan sosiologi dalam kajian sejarah itu sebagaimana di jelaskan oleh Weber, adalah bertujuan untuk memenuhi arti subyektif dari perilaku sosial, bukan semata–mata menyelidiki arti obyektifnya. Dari sinilah tampak bahwa fungsionalisasi sosiologi mengarahkan pengkaji sejarah kepada pencarian arti yang dituju oleh tindakan individual berkenaan dengan peristiwa–peristiwa koleltif. Sehingga kemampuan teoritislah yang akan mampu membimbing sejarawan dalam menemukan motif–motif dari suatu tindakan atau faktor–faktor dari suatu peristiwa.[10]
            Di dalam penulisan judul di atas digunakan konsep peranan sosial, dimana salah satu konsep sosiologi yang paling sentral adalah “Peran Sosial” yang didefinisikan dalam pengertian pola-pola atau norma-norma perilaku yang diharapkan dari orang yang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur sosial.[11]Peran sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu keterlibatan perempuan dalam aktivitas bermasyarakat.
            Banyak ragam definisi politik yang dikemukakan oleh para tokoh, salah satunya adalah menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul Memahami Ilmu Politik, ia menyatakan bahwa, politik yaitu usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.[12] Adapun yang dimaksud politik dalam penelitian ini yaitu, suatu upaya atau cara   individu atau kelompok dalam mengtasi problematika kehidupan bermasyarakat, dengan seperangkat undang-undang yang bersih dan bijak (al- Qur’an), sehingga dapat mencapai tujuan yang setinggi-tingginya (surga). Pemahaman tersebut dikemukakan karena untuk menyesuaikan  definisi politik  dengan kondisi masyarakat pada masa Rasulullah.
            Di dalam  penelitian ini di gunakan  teori organis tentang masyarakat Teori ini di dikemukakan oleh Plato (429–347)  seorang filosof Romawi. Teori ini menyatakan bahwa, suatu unsur yang menyebabkan masyarakat berdinamika adalah adanya sistem hukum yang identik dengan moral, oleh karena didasarkan pada keadilan.[13]Keterkaitan teori tersebut dengan penelitian ini yaitu  dengan  turunnya  al-Qur’an sebagai hukum, telah mengubah kondisi masyarakat Arab secara umum,  khususnya bagi para kaum perempuan Arab (muslimah). Perempuan Arab mampu beraktivitas secara maksimal di dalam masyarakat. Jadi  al-Qur’an di sini merupakan sistem hukum yang identik dengan moral, yang didasarkan pada keadilan. Al- Qur’an mampu menjadikan masyarakat Arab dapat berdinamika secara maksimal.
E.   Metode Penelitian.
Sesuai dengan maksud dan tujuan dalam penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau maka dalam penelitian digunakan metode historis. Metode ini bertumpu pada empat langkah kegiatan yaitu: pengumpulan data (heuristik), kritik (verifikasi) sumber, penafsiran (interpretasi), dan penulisan sejarah (historiografi).[14]
Keempat langkah tersebut akan di jelaskan sebagai berikut :
1.  Heuristik (pengumpulan data)
Heuristik adalah suatu teknik atau seni dan bukan suatu ilmu, oleh karena itu heuristik tidak mempunyai peraturan–peraturan umum. Heuristik sering kali merupakan suatu ketrampilan dalam menemukan, mengenali, dan memperinci bibliografi, atau mengklasifikasikan dan merawat catatan.[15] Maka dari itu penulis berusaha mengumpulkan data yang sesuai dengan obyek penelitian ini melalui dokumentasi. Pengumpulan data di lakukan melalui buku–buku, majalah, artikel, dan sumber – sumber lain yang relevan dengan obyek kajian dan pembahasan ini.
2.  Verifikasi (kritik sumber)
Setelah sumber sejarah dalam berbagai kategorinya terkumpul, tahap berikutnya yaitu verifikasi atau lazim di sebut juga dengan kritik sumber untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini yang juga harus di uji adalah keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern dan keabsahan tentang keshahihan sumber (kredibilitas) yang di telusuri melalui kritik intern.[16] Dalam melakukan tahapan ini penulis mengawalinya dengan membaca secara cermat sumber–sumber sejarah, baik itu yang berbentuk buku – buku sejarah ataupun buku–buku sunnah (hadits) yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Pembacaan buku–buku tersebut secara cermat tidak berarti merupakan batasan yang cukup untuk tidak membaca nash–nash kitabullah sebab kalamullah ta’ala merupakan sumber pertama yang mempunyai keagungan dan kebesaran sehingga tidak hanya cukup sekali saya membacanya. Maka dari itu dilakukan perbandingan antara buku–buku sejarah dengan buku–buku sunnah, sehingga munculnya keyakinan bahwa data tersebut adalah data yang valid.
3.  Interpretasi.
Dalam langkah ketiga ini yang akan dilakukan ialah menganalisis dan mensintetiskan data yang telah diperoleh dari sumber–sumber sejarah. Lalu kemudian di susun menjadi fakta–fakta sejarah yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.
4.  Historiografi.
Sebagai tahap akhir dalam proses penelitian ini, penulisan dilakukan secara deskriptif–analisis dan berdasarkan sistematika yang telah di tetapkan dalam rencana skripsi ini. Proses berlangsung dalam beberapa tahap, mulai dari penulisan draf kasar, kemudian di konsultsikan kepada dosen pembimbing, dan atas koreksinya akan dilakukan perbaikan hingga penulisan akhir dalam wujud skripsi.[17]
F.  Sistematika Pembahasan.
Untuk memperoleh suatu karya ilmiah yang sistematis dan konsisten maka perlu adanya pembahasan yang di kelompokkan menjadi beberapa bagian bab sehingga mudah di pahami oleh para pembaca.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan, yang terdiri dari : latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai penelitian secara umum.
Bab kedua membahas tentang kondisi masyarakat Arab menjelang datangnya Islam atau menjelang kerasulan nabi Muhammad SAW yang ditinjau dari berbagai segi. Dalam bab ini diuraikan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan keagamaan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui secara umum keadaan masyarakat Arab.
Bab ketiga membahas tentang aktivitas sosial politik perempuan pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW.  Pada bagian bab inilah akan di bahas mengenai peran perempuan dalam bidang sosial dan politik, yang mencakup  peran perempuan dalam  rumah tangga dan  masyarakat. Bab ini juga akan menjelaskan peran perempuan dalam bidang politik yang mencakup partisipasinya dalam berhijrah dan berbai’at juga berperang. Bab ini dimaksudkan untuk menampilkan bukti-bukti peran perempuan dalam bidang sosial dan politik.
Bab keempat membahas tentang kontribusi perempuan masa nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari: kedudukan perempuan dalam wilayah domestik, publik, dan kontribusinya dalam bidang sosial dan politik. Pada bagian akhir inilah penulis akan menganalisis tentang peranan sosial dan politik perempuan dan sumbangannya terhadap masyarakat  Islam pada masa Nabi Muhammad SAW antara tahun 610 M sampai dengan 632 M.
Bab kelima merupakan bab yang terakhir atau penutup yang berisikan kesimpulan dan saran–saran. Kesimpulan pada bab ini dimaksudkan untuk menjelaskan dan menjawab permasalahan dan memberikan saran–saran dengan bertitik tolak pada kesimpulan tersebut

BAB   II

KONDISI  MASYARAKAT ARAB MENJELANG KERASULAN
NABI MUHAMMAD  SAW

A.   Gambaran Umum Geografis  Jazirah  Arab

Jazirah Arab merupakan suatu daerah berupa pulau yang berada  di antara benua Asia dan Afrika, seolah–olah  daerah Arab itu sebagai hati bumi (dunia). Sebelah Barat daerah Arab di batasi oleh laut Merah, sebelah timur di batasi oleh teluk Persia  dan laut Oman atau sungai–sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Euphrat). Sebelah Selatan di batasi oleh laut Hindia dan sebelah utara oleh Sahara Tiih (lautan pasir yang ada di antara negeri Syam dan sungai Furat). Itulah sebabnya daerah Arab itu terkenal sebagai pulau dan dinamakan Jaziratul-Arabiah.[18]
Luas Jazirah Arab kurang lebih 1,100,000 mil persegi atau 126.000 farsakh persegi atau 3,156,558 km persegi. Tanah yang luasnya sekian itu sepertiganya  tertutupi lautan  pasir, yang di antaranya  yang paling besar adalah yang terkenal dengan nama ar-Rabi’ al-Khaly. Bukan dengan pasir saja, tetapi dipenuhi  pula oleh batu-batu yang besar atau gunung-gunung batu yang tinggi. Di antaranya yang paling besar serta yang paling tinggi adalah yang terkenal adalah dengan nama Jabal  as-Sarat. Di dalam pulau pasir ini  tidak ada sungai yang mengalir karena lembah-lembahnya sebentar berair dan sebentar kering, airnya sebagian mengalir masuk ke dalam padang-padang pasir saja dan sebagian masuk kedalam lautan. Daerah seluas itu, pada saat itu didiami oleh 12 juta jiwa, tetapi ada yang mengatakan 10 juta jiwa.
Jazirah Arab terbagi atas 8 bagian yaitu; Hijaz,Yaman, Hadramaut, Muhrah, Oman, al Hasa, Najd dan Ahqaf. Adapun letak lokasi daerah-daerah tersebut yaitu,
            1.      Hijaz terletak di sebelah tenggara dari Tunisia di tepi laut Merah. Daerah tersebut dinamakan Hijaz karena menutupi daerah antara daerah Tihamah dan daerah Najd. Dalam daerah Hijaz itulah letaknya  kota yang terkenal dengan nama Makkah, tempat lahir Nabi Muhammad SAW. Di tengah- tengah kota ini terletak sebuah Masjidil Haram. Di tengah-tengah  masjid besar itu terletak rumah suci yang terkenal dengan nama Ka’bah atau baitullah.
            2.      Yaman  terletak di sebelah selatan Hijaz, dinamakan Yaman karena daerah itu terletak di kanan Ka’bah. Apabila kita menghadap ke timur, di sebelah kiri daerah itu terletak negeri Asier. Di  dalam daerah itu ada beberapa kota yang besar-besar seperti kota Saba (Ma’rib) Shan’a, Hudaidah, dan Adn. Tanah Yaman merupakan suatu daerah yang menjadi bagian barat daya dari Jazirah Arab, disebelah barat dibatasi oleh laut Merah, di sebelah selatan oleh samudra Hindia, di sebelah utara oleh Hijaz, dan di sebelah timur oleh Hadramaut.
            3.      Hadramaut terletak di sebelah timur dari daerah Yaman dan di tepi samudra Hindia.
            4.      Muhrah terletak di sebelah timur Hadramaut.
            5.      Omanterletak di sebelah utara bersambung dengan teluk Persia dan di    sebelah tenggara dengan Samudra Hindia.
            6.      Al-Hasa terletak di pantai Teluk Persia dan panjangnya sampai ke tepi sungai Furat.
            7.      Najd terletak di tengah-tengah antara Hijaz, al-Hasa, sahara negeri Syam dan negeri Yamamah.Tanah Najd merupakan dataran yang tinggi dan luas, dan bersambung  di utara dengan negeri Syam, di timur dengan negeri Irak di barat  dengan Hijaz dan di selatan  dengan Yamamah.
            8.      Ahqaf terletak di daerah Arab sebelah selatan dan di sebelah  barat daya dari Oman. Daerah Ahqaf merupakan dataran yang rendah.[19]    
Kondisi wilayah yang demikian itu dapat melindunginya dari serangan, dan penyerbuan penjahat juga penyebaran agama. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungai pun tak ada, hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur suatu usaha juga tak menentu, kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang sangat subur daerahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung dataran tinggi lembah-lembah tandus serta alam yang gersang.[20] Wilayah yang sangat kering dan sangat gersang itu dikarenakan uap air  laut yang ada di sekitarnya (laut Merah, Hindia dan Arab) tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk  mendinginkan daratan yang seluas itu.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir sahara yang terletak ditengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia bisa dibagi menjadi tiga bagian, di antaranya 
Sahara Langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
             1.     Sahara selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya  merupakan dataran keras, tandus dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut  dengan al-Rabi al- Khaly (bagian yang sepi).
             2.     Sahara Harat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu  hitam itu menyebar di keluasan sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.[21]
Setelah kita mengetahui kondisi  Geografis Jazirah Arab, dapat dibayangkan   bahwa begitu luasnya wilayah tersebut, selain itu karena letaknya yang strategis tidak mengherankan apabila wilayah tersebut menjadi tempat persinggahan para khafilah  dagang yang datang dan pergi menuju ke kota pusat perniagaan, juga sekaligus  menjadi pusat kegiatan pertukaran barang-barang antar para saudagar  dari Asia tengah, Yaman, Mesir, Irak, Etiophia, Persia, dan Ruum .

B.     Latar Belakang Sosial Budaya dan Agama

Sebelum mengetahui tentang  kondisi sosial budaya masyarakat Arab ada baiknya   terlebih dahulu kita mengetahui asal usul bangsa Arab. Bangsa Arab dinamakan dengan bangsa Arab karena kata-kata Arab itu sama artinya dengan kata-kata “Arab” yang artinya rahlah atau  kembara. Jadi bangsa Arab dinamakan  Arab itu  karena mereka bangsa pengembara[22]
Bangsa Arab termasuk dengan golongan bangsa Smith, yaitu berasal dari keturunan Sam bin Nuh, dan bahwasannya bangsa Arab berasal dari percampuran antara kulit hitam dan kulit putih.[23]Seperti yang telah ditetapkan oleh segenap para ulama ahli tarikh, bangsa Arab itu terbagi atas tiga bangsa, yaitu bangsa al Arabaa, bangsa al aaribah, dan bangsa al  Musta’aribah.
Adapun mengenai penjelasan tentang bangsa tersebut sebagai berikut.
Pertama, bangsa Arab al-Arabaaitu disebut juga Arab al Baa-Idah. Mereka adalah bangsa Arab yang mula-mula sekali atau yang asli. Mereka disebut   dengan istilah Arab al-Baa-Idahkarena mereka telah binasa atau bangsa Arab yang telah terhapus dari muka bumi ini dan tidak ditemukan lagi, kecuali hanya peninggalan-peninggalan atau bekasnya saja, seperti golongan bangsa Aad dan Tsamud.
Kedua, bangsa Arab al-Aaribahdisebut pula Arab al-Muta’aaribah. Mereka adalah bangsa Arab yang kedua, keturunan Jurhum bin Qohtan, putra Aabir atau Aibar.
Ketiga, bangsa Arab al-Musta’rabah, yaitu bangsa Arab yang datang atau orang yang dijadikan atau ditetapkan sebagai bangsa Arab. Mereka itulah yang dikenal  dengan sebutan bangsa Arab Ismailiah yang menurunkan Adnan. Adnan itulah yang menurunkan Nabi Muhammad SAW dan akhirnya di kenal dengan bangsa Arab Quraisy.
Sebagian ahli tarikh mengatakan bahwa bangsa Arab yang kedua dan yang ketiga (al-Aribah dan Musta’ribahitu adalah bangsa Arab al-Baqiah, artinya bangsa Arab yang masih dapat ditemukan sampai sekarang ini, sebaliknya dari bangsa Arab al-Baaidah.[24]
Dikarenakan bangsa Arab yang pertama sudah tidak adalagi (punah), maka bangsa Arab hanya tinggal dua bangsa lagi yaitu Qohtaniyun  (keturunan kohtan) dan Adnaniyun (keturunan Ismail ibnu Ibrahim). Pada mulanya  wilayah utara diduduki golongan Adnaniyun, dan wilayah selatan didiami  golongan Qohtaniyun, akan tetapi lama-kelamaan  golongan itu membaur karena perpindahan dari utara ke selatan dan sebaliknya[25]
Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat dibedakan atas ahlul al- Badui dan ahlal- Hadlar. Kaum Badui adalah penduduk padang pasir. Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap  tetapi hidup secara nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat  ke tempat lain untuk mencari sumber mata air dan padang rumput. Mata penghidupan mereka adalah beternak kambing biri-biri, kuda dan unta. Kehidupan masyarakat Badui yang nomaden tidak banyak memberikan peluang kepada mereka untuk membangun peradaban. Oleh karena itu, sejarah mereka tidak diketahui dengan tepat dan jelas. Ahlul Hadlar ialah penduduk yang sudah bertempat tinggal tetap di kota-kota lain dibagian utara semenanjung ini, oleh karena itu sejarah mereka bisa diketahui lebih jelas dibanding dengan kaum Badui.[26]Pengetahuan tentang masyarakat Badui dapat diperoleh melalui syair-syair yang beredar  di kalangan para perawi syair. Sifat masyarakat Badui diantaranya yaitu suka berperang, dan cinta akan kebebasan. Hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair.
Lain  halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya lebih maju dan  mendiami pesisir Jazirah Arab. Sejarah mereka dapat diketahui  lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu  membuat alat–alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan sampai kehadiran Rasulullah SAW. Kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan, dan memang Jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan  yang menghubungkan antara Syam dan Samudra Hindia. Sebagaimana masyarakat Badui, penduduk negeri  ini juga mahir mengubah syair. Biasanya syair-syair itu dibacakan di pasar-pasar, mungkin semacam pergelaran  pembacaan syair-syair seperti di pasar Ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa dan kiasan.[27]
Mengetahui hal tersebut, pada dasarnya masyarakat Arab secara intelektual tidak terlalu tertinggal atau bodoh, namun karena moral atau sikap merekalah yang  sangat tidak wajar dalam bersikap dan berperilaku. Mereka bisa dikatakan manusia yang tidak memanusiakan manusia dalam menjalani kehidupan. Masyarakat Arab lebih cenderung menuruti hawa nafsu daripada akal sehatnya, sehingga penindasan dan kemaksiatan merajalela, dan ini dianggap sudah biasa dan dianggap wajar oleh mereka.
Dalam hal ini sejarah menceritakan bahwa, perang dan serangan mendadak adalah bagian dari kehidupan mereka. Mereka berharap memiliki kekuatan fisik yang sangat penting untuk membela suku dan melindungi tanah mereka. Dalam lingkungan yang demikian tersebut, laki-laki adalah simbol keamanan dan kekuatan. Ahmad Haki sebagaimana dikutip oleh Fatimah mengatakan bahwa, “laki–laki dijunjung tinggi sedangkan perempuan direndahkan, setiap suku jauh lebih membutuhkan laki-laki untuk pertahanan mereka”. Kenyataan ini telah menurunkan nilai perempuan di dalam masyarakat dan membawa pilihan kepada anak laki-laki sehingga menyebabkan terjadi pembantaian anak perempuan. [28]
Kezaliman–kezaliman masyarakat jahiliah yang kerap menimpa kaum perempuan diantaranya adalah orang tua merasa susah dan senantiasa murung jika yang dilahirkan adalah bayi perempuan, pemeliharaan perempuan sebagai makhluk yang hina, atau penguburan hidup–hidup bayi perempuan karena merasa malu dan takut miskin.[29]Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat an-Nahl ayat 58-59, (lampiran no.2), surat al-Isra ayat 31, (lampiran no, 2), surat at-Takwir ayat 8-9 (lampiran no. 3).
Selain kezaliman-kezaliman yang telah disebutkan di atas  masih banyak kezaliman-kezaliman yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliah diantaranya yaitu kezaliman  dalam budaya pernikahan  dan berumah tangga.
Nikah pada zaman pra Islam terdiri dari beberapa macam, hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Urwa bin az-Zubair: Aisyah, istri nabi SAW mengatakan kepadanya bahwa ada empat jenis pernikahan di dalam masyarakat Jahiliah, pertama, yaitu jenis pernikahan yang sama yang ada sekarang, misalnya seorang laki-laki meminta kepada seseorang agar ia mau memberikan anak gadis yang berada di bawah  perwaliannya atau anak perempuannya, memberinya mahar dan menikahinya.
Kedua adalah seorang laki-laki berkata kepada istrinya setelah bersih dari haid “datangi si anu dan lakukan hubungan seks dengannya,” sang suami akan menolak tidur dengan istrinya sampai istrinya hamil dari orang yang menidurinya. Ketika terbukti hamil, si suami akan tidur dengannya jika ia mau. Si suami berbuat demikian (yakni, mengijinkan istrinya  tidur dengannya laki-laki lain) agar dia bisa memiliki anak dari seorang keturunan bangsawan. Pernikahan demikian disebut dengan al-Istibda.
Ketiga adalah, sekelompok orang berjumlah kurang dari sepuluh orang laki-laki berkumpul, memilih seorang perempuan, lalu semuanya melakukan hubungan seks dengannya. Jika perempuan itu hamil dan melahirkan seorang anak, dia akan mengundang laki-laki itu setelah anaknya lahir, dan tidak ada yang akan menolak untuk datang. Bila semuanya sudah berkumpul, si perempuan akan berkata, “Kalian tahu apa yang telah kalian perbuat,  dan sekarang aku sudah melahirkn anak, ini  anakmu wahai pulan,” dengan menyebut nama orang yang dia sukai, dan anaknya akan ikut kepada orang yang ditunjuknya dan orang itu tidak akan menolak  untuk membawa anak tersebut.
Keempat, adalah beberapa orang laki-laki datang kepada seorang perempuan, dan si perempuan  tidak menolak siapapun yang datang. Itulah pelacur yang biasanya  memasang bendera di pintu mereka sebagai tanda, dan setiap laki-laki yang mau dapat berhubungan seks dengan mereka, jika salah seorang di antara perempuan itu hamil dan melahirkan, semua laki-laki akan dikumpulkan dan mereka akan memanggil seorang Qa’if (orang yang mampu mengenali kemiripan antara anak dan ayahnya). Dia akan mengidentifikasi ayah dari anak, dan perempuan itu akan membiarkan anaknya mengikuti garis keturunan laki-laki itu dan dinyatakan sebagai anaknya, laki-laki itu tidak boleh menolak.[30]
Adapun kezaliman di dalam rumah tangga, khususnya masalah perceraian, di zaman pra Islam tidak ada peraturan maupun batasannya. Seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya kapanpun ia mau dan sesering yang ia inginkan. Hal ini amat merendahkan kehormatan perempuan.
Dalam masalah warisan, perempuan dan anak kecil tidak mempunyai hak waris. Pewarisan ini  merupakan hak istimewa kaum laki-laki karena mereka berperang  mempertahankan suku dan melindungi tanah mereka. Mereka biasa berkata “hanya orang yang berperang di atas punggung Kuda dan merampas barang-barang musuh yang berhak untuk mewarisi”.
Dalam masyarakat Jahiliah, manusia dinilai menurut kemampuan fungsionalnya di medan pertempuran dan juga produktifitas materialistik mereka. Selain itu mereka biasa mewariskan perempuan seperti benda-benda lain.[31]
Dalam hal ini Allah  SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,  tidak halal bagi kamu  mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu kamu menyusahkan mereka, karena hendak mengambil kembali  sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, (Qs, an-Nissa 19), (lampiran no 4).
Seperti yang telah diketahui dari apa yang telah dipaparkan di atas, bahwa kondisi geografis telah mempengaruhi perilaku  kehidupan masyarakat Arab. Pengaruh tersebut lebih terlihat  di dalam masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman seperti masyarakat Badui. Mereka  hidup berkelana untuk mempertahankan hidup. Mereka sangat mengutamakan  kekuatan fisik, sehingga kaum perempuan yang memiliki fisik yang lemah tidak dihargai.  Begitupun dengan kota Makkah, meskipun kehidupan  mereka sudah menetap, namun mereka memiliki kebiasaan berniaga keluar daerah, untuk menjual barang dagangannya.
Begì¥Á5@        

ð ¿ ôm
bjbjÏ2Ï2        8„­X­X

`Ó ÿÿÿÿÿÿˆl

l l Žú d^^^ r¶ ¶ ¶ 8î $ì¥Á5@      ð ¿ ôm
bjbjÏ2Ï2        8„­X­X

`Ó ÿÿÿÿÿÿˆl

l l Žú d^^^ r¶ ¶ ¶ 8î $an. Mereka sering diabaikan, ditindas dan  disiksa sebagaimana yang telah digambarkan oleh al- Qur’an.[32]Sebagian besar bangsa Arab Jahiliah  adalah penyembah berhala. Setiap  kabilah memiliki patung sendiri sehingga  tidak kurang dari 360 patung bertengger di Ka’bah yang suci itu. Ada 4 buah patung yang terkenal yaitu, Latta, Uzza, Manah, Hubal milik kabilah Quraisy.

Mereka percaya dan yakin bahwa Tuhan itu ada, dan  Tuhan itu Maha Esa. Dia yang menciptakan segenap makhluk, yang mengurus, yang mengatur dan yang memberi segala sesuatu yang dihajatkan oleh setiap makhluk, akan tetapi dalam menyembah (beribadah kepadanya) mereka membuat atau mengadakan perantara dengan tujuan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Selain itu diantara mereka juga ada yang menyembah malaikat dan menganggap bahwa para malaikat itu anak-anak perempuan (putri- putri) Allah.
Penyembah Jin, Ruh dan Hantu, panyembah bintang-bintang juga mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat Arab. Para ulama tarikh menceritakan pada masa itu agama kaum Yahudi dan kaum Nasrani juga Majusi berkembang dan tersiar di seluruh jazirah Arab.
Berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap makhluk jin, ruh dan hantu, maka ketahayulan mereka kepada makhluk itu tebal, diantaranya mereka percaya penuh bahwa mahluk-mahluk Jin itu dapat memberi manfaat dan menolak madharat.[33]Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya.[34]
Sebagaimana yang telah dikutip oleh Fatimah Umar Nasif dari kitab an-Nawawi, bahwa salah satu kebiasaan kaum perempuan pagan yang paling memalukan dan menjijikkan adalah mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah tanpa berbusana. Diriwayatkan oleh Said bin Jubair  yang bersumber dari ibnu Abbas bahwa, “perempuan biasa bertawaf mengelilingi Ka’bah tanpa berbusana sambil berkata ‘siapa yang akan memberi saya sebuah Titwaf  (gaun) untuk menutupi bagian pribadi saya.” Mereka juga berkata, ‘Hari ini saya akan memperlihatkannya semua atau menyembunyikannya sedikit. Apa yang diperlihatkan akan ditawarkan”.
Mengenai riwayat ini Imam Nawawi menjelaskan Titwaf adalah sejenis pakaian perempuan yang dipakai kaum perempuan pagan ketika mengelilingi Ka’bah . Semua orang Arab Paganbiasa mangelilingi Ka’bah dengan tanpa busana. Mereka akan melepaskan pakaiannya lalu dilemparkan untuk diinjak-injak orang-orang sampai compang-camping dan tidak akan diambil kembali. Ritual ini biasanya disebut dengan “pertemuan.”[35]
Dilihat dari kondisi keberagamaan mereka kita bisa menilai bahwa kepercayaan mereka begitu beragam, dan kondisi alam telah mempengaruhi kehidupan keberagamaan mereka. Selain itu mereka betul-betul tidak beradab dalam melaksanakan  ibadah ritual mereka.
C.    Ekonomi dan Politik.
Bangsa Arab yang tinggal di Jazirah terdiri atas dua golongan, yaitu golongan penduduk kota dan golongan penduduk desa. akan tetapi penduduk yang terbesar jumlahnya adalah golongan yang ada di desa-desa, atau yang ada di padang pasir, dekat dengan gunung-gunung atau di lereng-lereng bukit. Golongan yang besar itulah yang dinamakan Arab Badui. Bangsa Arab Badui itulah yang memelihara binatang ternak terutama unta. Unta itu di pelihara baik-baik oleh mereka karena dapat di gunakan untuk keperluan mengembara atau untuk kendaraan padang pasir yang luas dan lebar serta panas itu, untuk mencari penghidupan dan  pencaharian sebagian dari mereka, ada yang mengerjakan pekerjaan yang berbahaya bagi ketentraman umum, seperti merampas, merampok, menyamun siapa saja dan apa saja.[36]
Telah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Hijaz terutama di Makkah pada saat itu, apabila seorang anak telah lahir baik laki-laki atau perempuan sesudah beberapa hari disusukan ke orang lain yang bertempat tinggal di luar kota, di suatu dusun orang-orang Badui dan anak itu di tinggal dan di asuh didusun itu juga sampai kira-kira usia tujuh atau delapan tahun .[37] Jadi dengan adanya kebiasaan yang demikian itu, perempuan masyarakat Badui memiliki mata pencaharian yaitu menyusui dan mengasuh bayi-bayi tersebut.
Sebagian besar bangsa Arab yang tinggal di kota-kota memiliki mata pencaharian berdagang. Terdapat berbagai jenis perniagaan yang dilakukan penduduk Makkah. Ada sebagian mereka yang bergerak di bidang ekspor-impor, mereka berdagang dengan penduduk Oasis-Oasis dan kota yang tersebar di Jazirah Arab. Perdagangan di kota Makkah telah meliputi semua komoditi yang sudah sangat terkenal. Trayek-trayek perjalanan kafilah membentang hingga ke pedalaman Asia, Afrika, kawasan laut tengah kawasan laut Merah dan samudra India.
Penduduk Makkah tidak hidup berkecukupan dalam gemerlapnya harta benda. Tidak seluruh penduduk Makkah  menjadi saudagar kaya-raya, ada juga penduduknya yang hidup dalam kepapaan. Seorang  pedagang kecil  yang jatuh pailit, padahal modal usahanya adalah uang berbunga, jika ia tidak mampu  melunasi pinjaman itu, maka ia harus rela menyerahkan kemerdekaannya selama bertahun-tahun, bahkan sampai akhir hidupnya. Jika si pemilik piutang tidak membutuhkan para budak, bisa saja ia meminta cara lain untuk melunasi utang-utangnya. Terkadang si empunya piutang lebih menginginkan perempuan, Maka diserahkanlah istri atau anak gadis yang paling dicintai, ibunya dan istri anak laki-lakinya, kemudian perempuan itu dijual oleh si empunya piutang kepada  para saudagar yang singgah.
Dari perdagangan seks inilah, si empunya utang melunasi utang-utangnya. Jika utang-utangnya  telah terlunasi, perempuan-perempuan  itu dikembalikan lagi. Makkah yang penuh dengan pemerasan, perbudakan, perdagangan seks, perampokan, perjudian dan ketimpangan sosial, bukan berarti hidup tanpa undang-undang, hanya saja undang-undang yang berlaku di Makkah diskriminatif, tidak berkaitan dengan moral yang baik dan berpihak kepada kalangan  bangsawan  dan saudagar belaka.[38]
Secara umum masyarakat Arab baik yang nomadik maupun yang menetap hidup dalam budaya kesukuan Badui. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan) dan dipimpin oleh seorang syekh, mereka sangat menekankan hubungan kekuasaan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang karena itu peperangan antar suku sering sekali terjadi. Sikap ini nampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri bangsa Arab. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan. Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada Syekh atau Amir (ketua kabilah)  dalam hal yang berkaitan dengan peperangan,  pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu Syekh atau Amir tidak kuasa mengatur anggota kabilahnya.[39]  Ada bagian lain dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin, yaitu Hijaz. Kota terpenting di daerah ini adalah Makkah, kota suci tempat Ka’bah berdiri. Ka’bah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Makkah tetapi juga oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada ditangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum, sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah.  Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qhushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan- urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah. Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab. Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah asal suku Quraisy, yaitu Hijabah,  penjaga kunci Ka’bah, Syiqoyah, pengawas mata air zam-zam untuk dipergunakan oleh para peziarah, Diyat kekuasaan hakim sipil dan kriminal, Sifarah, Kuasa-kuasa negara atau duta, Liwa, jabatan ketentaraan, Rifadah, pengurus pajak untuk orang miskin, Nadwah, jabatan ketua dewan, Kaimmah, pengurus balai musyawarah, Khazinah,  Jabatan administrasi keuangan, dan Azlam,penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Dalam hal ini sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar Rais.[40]
Secara umum kita melihat bahwa, masalah perekonomian menjadi masalah yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat Arab, dan sekaligus menjadi salah satu pemicu munculnya ketertindasan kaum perempuan juga kekejaman masyarakat Arab. Hal ini dilakukan oleh mereka karena untuk mempertahankan sebuah kehidupan, dan memuaskan hawa nafsu mereka yang tak mengenal adab sopan santun. Makah sebagai kota terpenting sering menjadi pusat kegiatan agama sekaligus  sebagai pusat kegiatan politik.
BAB   III
AKTIVITAS  SOSIAL DAN POLITIK PEREMPUAN ARAB
MASA NABI MUHAMMAD SAW
Selama tiga tahun semenjak turun wahyu pertama, Rasulullah tetap bertahan sebagai pribadi sendiri yang menerima pesan-pesan Allah SWT. Setelah tiga tahun tersebut, tibalah saatnya untuk menyampaikan misi Islam secara terbuka. Sekitar tahun 613 M, Nabi Muhammad SAW  menerima wahyu yang terkandung ungkapan “bangkitlah dan sampaikanlah ini” maka sejak itu  Rasulullah SAW mulai menyampaikan dakwah secara terbuka, sebuah langkah pertama untuk memasukan gagasan  agama ke dalam aktivitas sosial dan kehidupan politik.[41] 
Di sepanjang perjalanan sejarah agama-agama manusia (Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha), agama Islam merupakan agama yang paling muda terlahir di antara agama-agama tersebut. Ia lahir dan berkembang berdasarkan wahyu Allah SWT yang disampaikan-Nya kepada nabi  Muhammad SAW secara bertahap dan kondisional. Pada masa nabi inilah yang dapat dikatakan sebagai masa yang amat mulia dan sempurna. Hal ini sudah menjadi kemulian Islam, karena agama tersebut telah memuliakan perempuan dan menegaskan eksistensi kemanusiannya serta kelayakannya untuk menerima tugas,  tanggung jawab,  pembalasan dan berhak  masuk surga. Dalam hal ini Allah SWT berfirman di dalam surat al Ahzab ayat 35 (lampiran no.5)  yang  menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang berbuat kebaikan akan mendapatkan pahala yang sama yaitu surga.
Islam menghargai perempuan sebagai manusia yang terhormat. Sebagaimana kaum Adam, perempuan juga memiliki hak-hak kemanusiaan baik dalam urusan sosial maupun politik. Pada bab ini akan diuraikan mengenai peran perempuan dalam bidang sosial maupun politik
A. Peran Perempuan Dalam Bidang Sosial
Perempuan seperti halnya kaum laki-laki  adalah makhluk  sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Ruang lingkup sosial itu sendiri amat luas, dari kehidupan keluarga  sampai masyarakat dapat dikatakan masalah sosial. Jadi peran perempuan dalam keluarga  dapat dikatakan peran sosial karena keluarga  merupakan salah satu bagian dari kehidupan bermasyarakat.
Pada masa Rasulullah, banyak sekali contoh peranan sosial perempuan baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah Siti Khadijah. Khadijah binti Khuailid adalah istri pertama Rasulullah yang sangat dicintainya, walaupun telah tiada. Khadijah r.a. memiliki sifat-sifat yang mulia, salah satunya yaitu sifat dermawan. Ia akan merasa bahagia ketika ia dapat memberikan sesuatu kepada orang lain.[42] Hal ini telah ia buktikan di dalam kehidupan rumah tangganya bersama Rasulullah SAW. Khadijah binti Khuailid, tergolong dalam keluarga Quraisy Abdul al-Uzza dan menduduki tempat terhormat sebagai istri pertama. Ia adalah  seorang janda yang kaya raya dan dianugerahi sifat-aifat mulia karena kehidupannya  yang berbudi luhur, sehingga terkenal dengan nama Thahira (suci). Menurut  thabaqot Ibnu Sa’ad, sebagaimana yang dikutip oleh Jamil Ahmad dalam buku Seratus Muslim Terkemuka, mengatakan bahwa beliau adalah wanita terkaya kala itu. Rasulullah tidak menikah dengan perempuan lain selama Khadijah masih hidup. Siti Khadijah telah memberikan  enam orang anak, dua orang putra; Qasim dan Abdullah, keduanya meninggal waktu masih  bayi, dan empat orang  anak perempuan; Fatimah, Zainab, Ruqoyah dan Umi Kaltsum.[43]
Riwayat hidup Khadijah sangat harum dan mengesankan. Peranannya di dalam keluarga dan masyarakat begitu penting, karena ia telah banyak sekali menolong orang yang lemah dengan hartanya. Hidupnya dihiasi dengan kebijakan serta jiwanya memancarkan ketaatan. Rasulullah telah bersabda, yang artinya:
Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku, Ia membenarkan ajaranku ketika orang-orang mendustakanku, dan ia adalah perempuan yang selalu membantu perjuangan ku dengan hartanya ketika orang-orang tiada memperdulikan, demikian keterangan hadits riwayat Imam Ahmad.
Ketika malaikat jibril datang kepada Rasulullah SAW Ia berkata”Yaa Rasulullah ini adalah Khadijah, Ia datang dengan membawa sebuah bejana berisi lauk-pauk, makanan dan minuman, Ia telah datang menghadap mu karena itu sampaikanlah  salam kepadanya dari Allah dan dariku dan berilah kabar gembira, bahwa ia akan memperoleh rumah di surga yang sangat menyenangkan, di dalamnya tidak ada keributan dan kepayahan. (HR, Bukhari  dalam Fadhoilu Ashabin Nabi).[44]
Khadijah r.a. tidak hanya mempersiapkan bekal yang diperlukan Rasulullah SAW selama berada di gua Hira, tetapi ia juga turun tangan dalam menyelesaikan kemelut pikiran Nabi, ketika baru saja menerima wahyu pertama. Ia pergi ke rumah pamannya Waraqah yang mempunyai pengetahuan tentang kitab-kitab Allah terdahulu.[45]Kenyataan ini menunjukan bahwa perempuan memiliki kesadaran spiritualitas yang tinggi.
Itulah Khadijah yang telah mendapatkan penghargaan langsung dari Allah SWT dan malaikatnya, karena kemuliaan peranannya baik dalam keluarga maupun di dalam masyarakat yang patut dijadikan contoh. Selain  itu, ia adalah sosok perempuan yang telah mengantarkan Rasulullah sukses dalam melaksanakan dakwahnya. Dia selalu mendukung suaminya bahkan membantu memperkuat dan mendorong suaminya supaya terus maju dan tabah dalam menghadapi berbagai macam gangguan, ejekan dan hinaan. Ketika kaum Quraisy melancarkan pemboikotan total (embargo ekonomi dan sosial) terhadap semua orang bani Hasyim serta mengusir  mereka keluar dari kota Makkah  minggir ke Syi’ib (dataran sempit diantara dua bukit), Khadijah tanpa ragu-ragu meninggalkan segalanya dan mengikuti Rasulullah SAW. Tindakan pemboikotan tersebut terjadi pada tahun ke 7 kenabian (617 M). Peristiwa tersebut berlangsung  selama tiga tahun, dan ini merupakan tindakan yang paling menyiksa umat Islam.[46]
Embargo ekonomi dan sosial yang dilancarkan kaum musyrikin Quraisy terhadap Bani Hasyim, khususnya kepada Rasulullah SAW akhirnya gagal. Rasulullah bersama Khadijah kembali pulang ke rumah dekat ka’bah. Semangat dan tekad Khadijah ra tetap segar memperkuat dakwah risalah, tetapi kondisi fisiknya tidak memungkinkannya menanggung penderitaan berat akibat kesengsaraan hidupnya selama tiga tahun di dalam Syi’ib. Badannya sangat lemah dan kesehatannya terus merosot. Dalam hal makan dan minum sehari-hari ia lebih mengutamakan suaminya dari pada dirinya sendiri. Ketika itu  usianya telah mencapai 65 th.  Ia pun wafat mendahului Rasulullah saw. pada tahun ketiga sebelum hijrah.[47]
Ketika Khadijah wafat, ia dimandikan oleh Barokah Umu Aiman, seorang budak yang baru dibebaskan  setelah rasul menikah dengan Khadijah. Dia megabdikan diri  untuk keluarga Rasulullah, dari kakek sampai cucu, dari Abdul Mutholib, Rasulullah, hingga Fatimah. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menyumbangkan kemampuan yang ia miliki.[48]Kenyataan ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran dalam masalah pengurusan jenazah.
Perempuan Arab juga memiliki peran  untuk  mewakili para sahabat yang akan menyampaikan saran kepada Rasulullah. Peristiwa ini terjadi ketika para sahabat ingin memberikan saran kepada Rasulullah untuk menikah lagi setelah meninggalnya Khadijah. Khaulah lah yang  memiliki keberanian untuk menyampaikan saran tersebut kepada Rasulullah dan sekaligus melamarkannya untuk Rasulullah SAW yaitu pada tahun 620 M. Di sisi lain perempuan Arab juga turut serta dalam menyambut kedatangan Nabi di Madinah. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun 623 M.[49]
Ketika Rasulullah SAW melangsungkan pernikahan dengan Siti Aisyah  di Madinah, banyak perempuan Madinah yang turut serta memeriahkan pesta perkawinannya. Dalam hal ini Siti Aisyah menceritakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. (lihat lampiran no.6)
Itulah pernikahan seorang rasul mulia dengan seorang gadis yang diridhoi oleh Allah SWT dan ikut dihadiri oleh masyarakat Madinah. Kondisi masyarakat Makkah dan Madinah memang sangat berbeda. Di Madinah Islam sudah dapat diterima dengan keimanan mereka terhadap Allah SWT, dan mereka amat berantusias dalam menyambut Islam. Perempuan di Madinah turut berpartisipasi dalam berbagai  aktivitas sosial.
Rasulullah memang selalu mengajarkan umatnya untuk saling tolong-menolong antar sesama manusia terutama terhadap keluarganya sendiri beliau selalu mengingatkan untuk selalu bersodaqoh. Dalam hal ini Asma telah meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi,
 Dari Asma ra, bersabda.”Mendermalah, mendermalah, tetapi tidak dihitung-hitung atau tidak ditakar-takar Alah tidak menghitung-hitung atau menakar-nakar pemberiannya kepadamu. (lampiran no.7).
 Begitupun dengan istri Rasululah SAW yang lainnya yaitu Zainab binti Khuzaimah r.a. Dia mendapatkan gelar Ummul Masakin, karena kasih sayangnya yang begitu besar terhadap anak-anak yatim dan fakir miskin.[50] Fatimah Az-zahrah adalah sosok seorang putri Rasululah Saw. Dia hidup dan melayani sendiri apa yang menjadi kebutuhan hidupnya serta memikul beban-beban rumah tangga sendiri tanpa didampingi seorang pembantu.[51]
Kehidupan perkawinan Fatimah berjalan lancar dalam bentuknya yang sederhana, gigih dan tidak mengenal lelah.  Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah, bekerja keras setiap hari untuk mendapatkan nafkah, sedangkan istrinya rajin, hemat dan berbakti. Fatimah melaksanakan tugas-tugas rumah tangga seperti menggiling gandum dan mengambil air dari sumur. Pasangan suami istri ini terkenal sholeh dan dermawan. Mereka tidak pernah membiarkan pengemis melangkah dari pintunya tanpa memberikan apa saja yang mereka punyai, meskipun mereka sendiri masih lapar. Pernah suatu ketika   seorang pengemis  yang baru masuk Islam dan tidak memiliki apa-apa  mendatangi rumahnya, lalu kemudian Fatimah memberikan kerudungnya  kepada pengemis tersebut.[52]
 Dari peristiwa tersebut  kita bisa mengetahui bahwa bukan hanya kaum laki-laki yang dapat melakukan aktivitas sosial kemanusiaan, tetapi perempuanpun dapat melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Dari beberapa peristiwa sejarah yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat bahwa begitu besarnya peranan sosial perempuan dalam aktivitas sehari-hari mereka. Pada  dasarnya masih banyak sekali peranan-peranan penting yang mereka lakukan dalam aktivitas sehari-hari, seperti peranan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Di samping itu mereka juga turut serta dalam meramaikan kegiatan di masjid-masjid karena pada saat itu masjid merupakan tempat yang menjadi pusat kegiatan umat dari mulai kegiatan untuk beribadah, pusat ilmu pengetahuan sampai pusat kegiatan sosial dan politik. Selain itu masjid juga berfungsi sebagai ruang pertemuan umum dan gelanggang olah raga jika di perlukan. Berdasarkan kondisi yang demikian maka peluang bagi kaum perempuan pada saat itu untuk meramaikan masjid adalah terbuka, di samping  aktif mengikuti  ibadah, kaum perempuan juga ikut mendengarkan pengajian, ceramah umum dan lain-lain. Dengan demikian mereka dapat mengenal kondisi umat Islam baik menyangkut persoalan sosial maupun politik. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa masjid pada masa Rasulullah SAW merupakan pusat pancaran ibadah, budaya dan sosial bagi kaum laki-laki dan perempuan secara merata.
B.  Peran  Perempuan Dalam Bidang Politik
Sebelum kita membuka lembaran-lembaran sejarah yang mengungkap aktivitas politik perempuan pada masa kerasulan, sebaiknya kita memahami dahulu apa  yang dimaksud politik. Politik dalam penelitian ini diartikan dengan  suatu konsep yang di dalamnya  mencakup pembahasan tentang upaya pencarian solusi  dalam mengatasi  problematika kehidupan bermasyarakat atau bernegara dengan seperangkat undang-undang yang sah.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada saat Nabi Muhammad SAW bertahannus di gua Hira, beliau sudah memulai kegiatan politik. Dengan alasan bahwa di dalam kesendiriannya itu beliau memikirkan fenomena kehidupan masyarakat yang penuh dengan ketimpangan sosial. Ketika Rasulullah mendapatkan wahyu pertama dari Allah, kemudian wahyu tersebut beliau sampaikan kepada umatnya, maka beliaupun mendapatkan dukungan dari  para pengkutnya. Dalam hal ini,  siapapun yang mendukung atau mengikuti seruan beliau untuk menegakkan ajaran Allah, maka hal  itu merupakan  bagian dari aktivitas politik.
Jadi yang dimaksud  peran politik dalam skripsi ini adalah, suatu tindakan individu atau kelompok dalam mengatasi  problematika kehidupan bermasyarakat dengan mengakui, menjalankan dan mempertahankan seperangkat undang-undang (hukum) yang sah.
Pada masa Rasulullah, kaum perempuan Arab memulai aktivitas-aktivitas politik mereka pada saat mereka mengakui Islam sebagai agama mereka atau mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Khadijah adalah orang  yang pertama kali mengakui akan hal itu dan ia jugalah yang dapat memberi motivasi kepada Rasulullah, pada saat Rasulullah merasa  khawatir dan gelisah  akan dirinya  dengan kondisi pada waktu itu. Setelah Khadijah, barulah kemudian diikuti oleh putri-putri beliau dan orang-orang terdekat Rasulullah. Dari pihak kaum perempuan di antaranya adalah Shafiyyah binti Abdul Muthollib, Lubabah, Umul Fadhal binti Harits, Asma binti Amis   (istri Jafar), Fatimah binti Khatab (istri Said bin Zaid), Summiyyah  (ibu Ammar, jadi istri Yasir) dan sebagainya.
Orang-orang tersebut berasal dari golongan  hamba sahaya dan orang desa. Mereka lebih kurang tiga tahun lamanya memeluk dan mengikuti seruan nabi Muhammad SAW. Dengan diam-diam mereka pergi ke celah-celah bukit untuk beribadah kepada Allah. Hal ini dilakukan agar tidak diketahui  kaum kafir Quraisy. Mereka sadar apabila hal ini diketahui oleh kaum kafir quraisy maka mereka akan mendapat rintangan dan bahaya dari mereka.[53]Seperti yang dialami Sumayyah dan keluarganya. Mereka disiksa dengan teramat kejam, agar mau mengikuti kemauan Abu Jahal, namun tiada terdengar sepatah katapun dari keluarga Sumayyah selain rintihan semata, karena itu Abu Jahal meningkatkan penyiksaannya agar keduanya menyatakan kemurtadannya dari agama Islam secara terus terang.
Perjalanan hidup Sumayyah dicatat dalam lembaran sejarah dengan tinta emas, hingga kini namanya tetap abadi. Perempuan yang pertama kali mati sahid dalam Islam ini, kematiannya dapat dijadikan lentera penerang  iman dan dapat dijadikan contoh teladan dalam menegakkan prinsip. Ia rela mengorbankan jiwa raganya demi mempertahankan keimanan. Ia merupakan orang-orang angkatan pertama dalam Islam.[54]Selain Sumayyah, Hamamah (ibu Bilal bin Rabah) juga mengalami penyiksaan sampai ia meninggal dunia. Lain halnya dengan Umu Unais dan anak perempuannya yang bernama Latifah, mereka disiksa oleh tuannya, namun kemudian ia dibebaskan oleh Abu Bakar ra. Abu Bakar juga telah memerdekakan Nahdiah dan anak perempuannya yang sedang disiksa oleh tuannya.[55]Penyiksaan pun dilakukan oleh Umar bin Khotob kepada adiknya yang bernama Fatimah, ketika ia mengetahui adiknya masuk Islam.[56]
Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap umat Islam pada saat itu mendorong Nabi untuk mengungsikan para sahabatnya  ke luar Makkah. Pada tahun ke lima kerasulan Nabi menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagai negeri tempat pengungsian. Negus, raja Habsyah tersebut adalah seorang raja yang adil.[57]
Kaum muslimin yang berangkat hijrah ke negeri  Habsyah berjumlah 15 orang, terdiri dari sepuluh orang laki-laki dan lima orang perempuan. Kelima orang  muslimah tersebut adalah, Ruqoyyah binti Muhammad SAW, Sahlah binti Suhail, Umu Salamah  binti  Abu Umayah, Laila binti Kaltsamah, dan Umu Kaltsum.[58]
 Itulah hijrah pertama yang dilakukan oleh para muslimah Arab ke negeri Habsyah (Abaysinia) pada tahun 615 M, karena untuk mempertahankan agamanya mereka bersedia  melepaskan keluarga dan klan mereka.[59]Setelah tiga bulan dalam pengungsian mereka kembali ke Makkah karena mereka mendapatkan kabar tentang perubahan kondisi Makkah pada saat itu.[60]Hijrah mereka ke Habsyah tidak hanya sekali tetapi dua kali. Pada hijrah yang kedua kali inilah jumlah umat Islam semakin banyak, yaitu sekitar 101 orang laki-laki dan perempuan.[61]Hijrah kedua tersebut dilakukan karena kaum kafir Quraisy melakukan pemboikotan  terhadap kaum muslimin  yang terjadi pada tahun 617 M. Di antara mereka ada yang meninggalkan suami dan keluarga. Para muslimah tersebut tidak hanya ikut hijrah  ke Habsyah tapi mereka juga hijrah ke Madinah.
Sebelum hijrah ke Madinah, Rasulullah mengadakan tiga kali pertemuan dengan kaum Ansor (dari Madinah), yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pada pertemuan kedua mereka berba’iat kepada Rasulullah, dan ini disebut Bai’at Aqobah pertama yaitu pada tahun 622 M. Pada pertemuan ketiga yakni pada musim haji  berikutnya yaitu pada tahun 623 M, dengan jumlah lebih banyak lagi yaitu 73 orang laki-laki dan dua orang perempuan, terjadi Bai’at Aqobah kedua atau yang lazim disebut Baiatunisa. Perempuan pertama yang melaksanakan hijrah ke Madinah adalah Umu Salamah, Laila binti Abi hatsmah, Syaifa binti Abdullah juga Fathimah binti Qois bin Khalid, Fatimah binti Khatab, dan lain-lain.[62]
Bai’at ini menjadi tonggak berdirinya sistem Islam dalam wujud  sebuah negara berdaulat, dan para perempuan Ansor menyadari itu sebagai amanah yang harus mereka tunaikan.[63] Selain itu menurut Haifa  A Jawad, bai’at dalam Islam adalah sebuah lembaga politik yang penting di gunakan oleh rakyat atau umat untuk memberikan atau menjamin adanya legitimasi atas sistem politik. Bai’at mencakup janji oleh rakyat untuk loyal kepada sistem dan pimpinannya sepanjang pemimpin tersebut memegangi prinsip-prinsip  Islam. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa:
Wajib atas orang muslim patuh setia kepada pemerintah, baik hal yang disukai atau dibencinya kecuali apabila diperintahkan dengan suatu kemaksiatan, jika ia diperintah dengan suatu maksiat, haramlah mematuhi perintah itu.     (lampiran no.8).
 Oleh karenanya, bai’at adalah sebuah perjanjian yang diisi tiga unsur. Pertama,  pemimpin (pihak yang harus  diberi janji atau pengakuan), kedua, rakyat atau umat (pihak yang harus memberikan kesetiaan dan loyalitasnya). Dan yang ketiga yaitu Syari’ah (unsur yang harus di hargai dan dipegangi oleh pemimpin dan rakyat).[64]Rasulullah SAW mengambil janji dari kaum perempuan sebagaimana dari laki-laki, adalah untuk mendukung adanya sebuah kebenaran dan mentaatinya.
Setelah terjadinya bai’at tersebut, maka perempuan muslimah Arab pun berangkat ke Madinah. Peran serta perempuan dalam hijrah baik ke Habsyah maupun ke Madinah  jelas merupakan tindakan politik, sebagai tanda ketaatan mereka pada pimpinannya, yaitu Rasulullah SAW. Disamping itu secara politis, hijrah ke Habsyah adalah upaya untuk menyelamatkan perjuangan, agar jumlah umat Islam yang masih sedikit kala itu tidak dibrangus oleh kekuatan musyrikin Quraisy.
Para perempuan yang ikut serta dalam hijrah ke Habsyah pun menghadapi kesulitan yang tidak sederhana. Fatimah binti al Mujadil, Rahmah binti Auf bin Dhobairah, Fukaihah binti Yasir, dan Umu Habibah binti Abu Sufyan ditinggal para suami mereka yang masih murtad. Sementara itu, Raithah binti al Harits bersama-sama anaknya Musa, Aisyah dan Zainab meninggal dalam perjalanan kembali ke Makkah karena mereka kehabisan air minum. Hijrah ke Madinah pun merupakan manuver politik yang penting. Telah diketahui bahwa  syari’at Islam  di Makkah tidak mendapat tempat yang memadai, karena  sistem kemusyrikan begitu menguasai. Atas petunjuk dan pertolongan Allah, tampilah Madinah (dahulu Yastrib) sebagai wilayah tempat risalah Islam dapat tegak dengan seluruh sendinya dan dalam berbagai dimensinya. Di Madinah inilah Rasulullah mulai membangun peradaban Islam yang bermakna, sebagai penyelamatan peradaban manusia yang membangun terhormat.
Para perempuan Arab pada saat itu dengan kesadaran politiknya turut hijrah ke Madinah walaupun menghadapi kesulitan yang bermacam-macam. Ruqoyyah binti Rasulullah dan  Zainab mengalami keguguran kandungan dalam perjalanan hijrah. Umu Aiman tetap berhijrah walaupun dengan berjalan kaki dan tanpa bekal apapun kecuali pemberian orang di jalan. Itulah perjuangan mereka  untuk  menegakkan daulah Islamiyah.[65]Perjuangan kaum perempuan pada masa Rasulullah tidak hanya sampai pada hijrah saja, namun mereka turut serta juga dalam peperangan, meskipun secara fisik lebih lemah dari laki-laki. Mereka ikut serta dalam konflik bersenjata, baik dengan cara mempersiapkan makanan dan minuman serta merawat orang yang terluka ataupun memainkan peran penting dalam pertarungan yang sebenarnya ketika dibutuhkan.
Di antara teladan-teladan perempuan yang mengambil peran aktif dalam beberapa pertempuran antara lain adalah Shafiyyah, bibi nabi SAW yang telah memperhatikan benteng di Madinah pada waktu perang Khandak. Ia memperhatikan seorang penyusup yang telah menemukan pertahanan benteng, lalu mengatur strategi untuk mendesak dan membunuh penyusup tersebut sebelum mereka  bisa melakukan hal-hal yang berbahaya bagi kaum perempuan dan anak-anak.[66] Dalam berbagai pertempuran yang pernah terjadi, para perempuan turut aktif dalam menegakkan daulah Islamiyah, pada perang Badar, mereka  melakukan tugas untuk memberi minum para perajurit dan merawat yang luka. Dalam perang Uhud, Nusaibah binti Ka’ab ia melindungi Rasulullah SAW dari serangan musuh dengan pedangnya, bahkan sesekali beliau sempat melepaskan anak panah. (lampiran no.9).
Pada peristiwa Hudaibiyah, kecerdasan Umu Salamah dalam melakukan komunikasi politik terbukti. Ketika para sahabat merasa keberatan dengan isi perjanjian Hudaibiyah antara kaum muslimin dan musyrikin Quraisy, yang dirasakan menguntungkan kaum Quraisy mereka lalu tidak mau mentaati perintah Rasulullah agar menyembelih binatang kurban dan mencukur rambut. Ketika itulah Umu Salamah menyampaikan usulnya agar Rasulullah menyembelih kurban beliau dan mencukur rambut beliau  tanpa harus berbicara apa-apalagi pada para sahabat, karena tindakan beliau itu merupakan penegasan komitmen Rasulullah pada perjanjian Hudaibiyah, seperti yang diperintahkan oleh Allah. Walaupun sepintas perjanjian itu tampak merugikan umat Islam, ternyata usulan Umu Salamah itu benar adanya. Para sahabat  seketika sadar akan kesalahan mereka, lalu melaksanakan  apa yang diperintah oleh Allah dan Rasulnya[67].
C.    Motivasi Perempuan Arab Dalam Beraktivitas
Berbagai peran yang telah dilakukan oleh para perempuan  Arab pada masa Rasulullah SAW telah diketahui, baik dalam bidang sosial maupun politik. Peran – peran tersebut merupakan bukti-bukti dari eksistensi tanggung jawab mereka sebagai hamba Allah SWT dan sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah kekuasaan Islam pada masa Rasulullah SAW. Apapun bentuk peranan mereka, mereka melakukannya dengan keyakinan niat dan tujuan yang pasti. Mereka yakin bahwa dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya maka akan  mendapat keridho’an dari Allah SWT. Ada beberapa faktor yang dapat memotivasi mereka dalam beraktivitas, diantaranya yaitu motivasi agama dan motivasi sosial.
1.   Motivasi  Agama
Dari uraian sejarah yang telah ditampilkan dalam bab sebelumnya dapat diketahui bahwa, peran yang mereka lakukan baik dalam bidang sosial maupun politik berdasarkan atas ajaran Islam. Ajaran tersebut diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulnya SAW untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai petunjuk. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra ayat  9 Yang menyatakan bahwa, Allah menurunkan kitab kepada manusia dengan membawa kebenaran dan petunjuk, (lampiran no.10).
Jadi al -Qur’an merupakan kitab suci yang siap untuk diterima dan diamalkan di dalam kehidupan manusia. Selain itu Islam juga selalu mengajarkan umatnya untuk saling tolong–menolong antar sesama dan saling mengingatkan.  Banyak ajaran-ajaran Islam dalam al Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan (sosial). Salah satu ayat yang dapat dijadikan contoh  yaitu seperti yang terdapat  dalam surat at-Taubah ayat 71 (lampiran no.11), yang   menjelaskan bahwa Allah akan memberi rahmat kepada orang yang  beriman yang saling tolong-menolong, laki-laki dan perempuan dan saling mengingatkan dalam hal beribadah.
Dari ayat tersebut  bisa diketahui bahwa ajaran Islam dan pahala dari Allah SWT betul-betul menjadi motivasi  utama para muslimah Arab dalam beraktivitas. Allah SWT  telah berjanji dalam surat al-Zalzalah ayat 7 yang artinya,
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat ( Balasannya )”.( Lihat lampiran no.12).
Dari ayat-ayat tersebut mereka merasa  tertarik dan berkewajiban untuk melakukan aktivitas–aktivitas yang bermanfaat untuk  kehidupannya. Al- Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan seiring dengan itu, beliaulah yang menjadi  orang yang pertama kali mengamalkan ajaran tersebut. Keberadaan Rasulullah sebagai seorang pembawa risalah sekaligus menjadi contoh teladan bagi umatnya telah memotivasi  mereka untuk beraktivitas (beribadah) baik dalam bidang sosial maupun politik.
Jadi apa yang dilakukan oleh Siti Khadijah dan Fathimah juga yang lainnya merupakan bukti dari ketaatan mereka terhadap Allah dan Rasulnya.  Secara umum ketaatan mereka terhadap Allah dan Rasulnya merupakan peranan politik yang aktif yang dapat dilakukan pada saat itu, dan ketatan tu telah menjadi dukungan tersendiri dalam usaha memperthankan keutuhan sebuah negara. Jadi  keberadaan  Rasulullah sebagai seorang pemimpin  dan sekaligus  sebagai suri tauladan dapat memotivasi kaum muslimah Arab untuk beraktivitas.
2.   Motivasi Sosial
Selain motivasi agama motivasi sosial juga turut serta mewarnai aktivitas mereka. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan sosial dan politik dan pertemuannya dengan kaum laki-laki membuka peluang baginya untuk menggeluti lebih banyak lagi bidang-bidang kebaikan yang membuatnya mempunyai  rasa kepedulian yang tinggi serta memberikannya  berbagai macam pengalaman. Hal ini akan terlihat  secara lebih jelas, apabila ditelaah  motivasi-motivasi  lain dari keikutsertaan perempuan, seperti mencari ilmu pengetahuan atau menciptakan suatu kebaikan  dan jihad fisabilillah. Pengucilan  akan  menghambat perempuan dalam bidang dan pengalaman tertentu sekaligus mengikis tingkat kepedulianya sehingga  perkembangan atau kemampuannya terhambat dan mereka akan terperangkap dalam bidang yang lemah. Seorang perempuan akan kehilangan  hubungan  guru besar yang betul-betul mapan dan lebih jauh lagi ia akan kehilangan kesempatan diskusi terbuka. Dalam hal ini peran perempuan dan pertemuannya dengan masyarakat merupakan sarana untuk membangun perempuan. Artinya ketika seorang perempuan bertemu dengan orang saleh, maka akan tumbuh kesalehanya, jika bertemu dengan orang alim, akan tumbuh kealimannya, jika bertemu dengan orang yang peduli pada masalah-masalah sosial dan politik, maka akan tumbuh pula rasa kepedulian sosial dan politiknya.[68]
 Aktivitas mereka di dalam masyarakat telah termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya terpenuhi, seperti kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan, karena mereka tidak bisa hidup  dalam kebodohan. Lingkungan di sekitar mereka juga  merupakan motivasi tersendiri yang mampu menggerakkan para muslimah Arab untuk beraktivitas, seperti yang dikabarkan dalam hadits berikut,
Dari  Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw, dan berkata, “ Yaa Rasulullah, kaum pria telah membawa haditsmu, maka tolonglah sediakan untuk kami dari waktumu suatu hari. Rasulullah SAW menjawab, Berkumpulah kalian pada hari ini, maka berkumpulah mereka, lalu Rasulullah Saw, mendatangi mereka”. (H.R. Bukhari  dan Muslim ),(Lihat lampiran no.13).
Dalam hadits tersebut menggambarkan bahwa kaum perempuan Arab tidak ingin ketinggalan dalam menuntut ilmu, mereka ingin sama sebagaimana halnya kaum laki-laki dalam menuntut ilmu bersama Rasulullah Saw. Motivasi lain yang dapat mendorong para muslimah Arab untuk beraktivitas yaitu dikarenakan oleh kondisi rumah tangga mereka. Diantara mereka ada yang tidak memiliki suami sehingga mengharuskan mereka berusaha untuk mandiri. Seperti apa yang telah diceritakan dalam hadits berikut ini,
Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Bibiku ditalak suaminya, ia ingin memungut  buah Kurmanya, lantas ia dilarang  keluar rumah oleh seorang laki-laki (sebab ia dalam masa iddah). Lalu bibiku mendatangi Rasulullah, (untuk menanyakan masalah ini pada nabi SAW.) Rasulullah Saw, berkata;”Tak apa-apa pungutlah buah Kurmamu….. mudah-mudahan kamu bisa bersedekah atau melakukan sesuatu yang baik” (H.R. Muslim ),  (lampiran no.14).
Perempuan   Arab yang mandiri bukan hanya dikarenakan mereka tidak memiliki suami tetapi juga  karena rasa  kasih sayang terhadap suaminya yang besar, sehingga mereka  ingin membantu  suaminya. Rasa kasih sayang yang ada dalam diri mereka merupakan motivasi yang amat besar yang dapat mendorong mereka untuk saling tolong-menolong antar sesama.
Demikianlah peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang dapat memotivasi perempuan Arab dalam beraktifitas. Tujuan aktivitas tersebut adalah untuk menunjukkan ekistensi kaum perempuan Arab dalam wilayah publik dan memanfaatkan kesempatan yang ada.
BAB IV
KONTRIBUSI  SOSIAL DAN POLITIK  PEREMPUAN ARAB
MASA NABI MUHAMMAD SAW
A.    Bidang Sosial
Perjalanan hidup manusia memang selalu mengalami perubahan begitu juga  dengan perjalanan sejarah umat Islam. Dalam kehidupan sosial masyarakat akan ditemukan perbedaan-perbedaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Seperti perbedaan posisi perempuan Arab yang terjadi pada akhir zaman jahiliah atau pada masa awal kedatangan Islam, kaum perempuan menduduki posisi yang amat rendah bila dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pepatah mengatakan  bahwa harga diri seseorang sebesar kebaikan yang diperbuatnya, namun demikian pada waktu itu mereka sama sekali tidak mengenal arti sebuah nilai kebaikan. Masyarakat Arab hanya mengenal kekuatan otot, siapa yang kuat dialah yang menang, sehingga sebuah harga diri mereka didasarkan pada otot yang kuat. Baru setelah Islam dapat tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Arab, pada saat itu pula posisi kaum perempuan mengalami perubahan. Kaum perempuan Arab dihargai dan dihormati, juga dilindungi di bawah naungan ajaran Islam. Kaum perempuan hidup di dalam sebuah ikatan kekeluargaan (pernikahan) yang suci. Mereka dikasihi dan disayangi oleh suami mereka, bahkan lebih dari itu seorang ibu lebih berhak atas kepatuhan anaknya kepada orang tuanya. Kaum perempuan Arab tidak lagi menjadi sebuah barang yang dapat diperjualbelikan atau dapat diwariskan. Kemuliaan Agama Islam berjalan mengiringi dan melindungi harga diri kaum perempuan. Maka dari itu perempuan memiliki kontribusi yang besar dalam hubungan keluarga dan hubungan masyarakat.
1. Hubungan Keluarga
Telah dikemukakan di atas bahwa keluarga merupakan salah satu unit sosial yang sederhana. Hubungan perempuan di dalam keluarga adalah sebagai istri dan ibu. Posisi  istri hanya dapat diperoleh setelah seorang perempuan telah melangsungkan sebuah pernikahan dengan seorang laki-laki, demikian juga sebaliknya. Masing-masing status (suami-istri) memiliki kewajiban-kewajiban yang sudah diatur dalam ajaran Islam. Islam pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu masa prosesi terbentuknya  suatu ajaran, jadi pada masa tersebut ajaran Islam betul-betul terlaksana.
Tidak diragukan lagi bahwa Islam telah mengangkat  kedudukan seorang perempuan sebagai seorang istri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban sebagai jihad di jalan Allah. Islam memberikan hak-hak istri tidak sekedar hitam diatas putih, tetapi harus dilaksanakan dan dijaga sebaik mungkin. Diantara hak tersebut yaitu seorang istri berhak  mendapatkan mahar dari suami, hal ini merupakan refleksi dari kecintaan Islam terhadap kaum perempuan (an-Nisa 4:4), (lampiran no.15) mendapatkan nafkah lahir sesuai dengan kemampuannya (at-Talaq 65:7), (lampiran no.16)  serta mendapatkan nafkah batin dengan pergaulan yang ma’ruf (an-Nisa 4:19), (lampiran no.17).[69]
Seorang istri mendapatkan hak dari suami, begitu juga seorang suami mendapatkan hak untuk ditaati oleh istri selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Disini seorang suami tidak boleh memanfaatkan hak tersebut untuk menguasai istrinya. Dalam Islam seorang istri diumpamakan bagaikan pakaian.[70] Islam menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan, diciptakan untuk saling melindungi, melengkapi dan saling membutuhkan. Menurut Hamka, surat al-Baqarah 2:187 ini merupakan kalimat  yang sangat halus dan mendidik sopan santun diantara manusia. Ketika suami istri bersatu, mereka saling pakai-memakai, bahkan menjadi satu tubuh (sehingga disebut berkumpul dalam bahasa kita).[71]
Telah di gambarkan dalam sejarah Islam bahwa kedudukan perempuan sebagai istri dalam rumah tangga memiliki posisi yang  penting. Adalah Khadijah r.a. yang telah memberikan contoh teladan dalam berumah tangga. Ia adalah sosok seorang istri yang mampu memberikan hak suaminya dan mampu menjalankan kewajibannya. Dalam kedudukannya sebagai istri ia  tidak hanya sebagai pendamping yang setia dan sabar dalam menjalankan tugasnya, tetapi ia juga sebagai motifator dan penentram suasana hati Rasulullah SAW. Ketika Khadijah lebih dulu meninggalkan Rasulullah ke alam baka Rasulullah merasa berat dan kesepian dalam menjalani hari-harinya. Ia tidak bisa melupakan jasa-jasa yang telah dilakukan istrinya, meskipun ia sudah memiliki penggantinya, namun demikian kedudukan Khadijah di hatinya tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Khadijahlah yang menemani Rasulullah baik dalam keadaan suka maupun duka dalam menjalankan dakwahnya.
Demikianlah sejarah telah membuktikan bahwa kedudukan seorang istri tidak dapat disepelekan tetapi kebalikannya, ia harus dihargai dan di hormati. Keberadaannya di dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan sang suami, maka dari itu Islam menempatkannya pada posisi yang semestinya. Posisi perempuan di dalam keluarga tidak hanya berperan sebagai seorang istri tetapi juga sebagai seorang ibu.
Rasulullah telah bersabda bahwa “ Surga berada di bawah telapak kaki  ibu”. Hal ini menunjukkan bahwa begitu mulianya kedudukan seorang ibu di dalam rumah tangganya, meski demikian terkadang masyarakat belum menyadari akan hal itu. Masih banyak masyarakat yang belum bisa menghargai sepenuhnya posisi ibu rumah tangga di dalam keluarga, mungkin hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan gender.
Di masa Rasulullah SAW pernah terjadi, seorang perempuan yang mewakili perempuan lainnya, mendatangi kediaman Rasulullah. Mereka mengadukan nasib mereka  yang hanya bergelut di dalam wilayah domestik (rumah tangga), sementara kaum pria memiliki kebebasan dengan   mudahnya  dapat mengikuti jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah). Dalam masalah ini Rasulullah memberikan jawaban yang sangat memuaskan, bahwa peran mereka di dalam wilayah domestik dihargai sama dengan kaum pria di dalam wilayah publik.[72]
Perlu disadari oleh semua kalangan masyarakat bahwa untuk menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga di dalam keluarga tidaklah mudah. Peran ibu rumah tangga tidak hanya sebatas, melahirkan keturunan, merawat dan membesarkan, tetapi juga mendidik putra-putrinya dengan penuh hati-hati dan kasih sayang. Dalam menjalani tugas sebagai pendidik, seorang ibu harus menyampaikan berbagai pengetahuan yang benar, berguna bagi anaknya, sehingga si anak  dapat mengembangkan daya fikir yang tajam dan daya telaah yang cermat. Hal ini akan memungkinkan si anak untuk berinteraksi dengan masyarakat dan memiliki rasa percaya diri serta menjadi seorang warga yang aktif. Pada dasarnya ini semua adalah bukan kewajiban seorang ibu di dalam rumah tangga, namun karena hal ini sudah mejadi budaya masyarakat Arab setelah Islam maka hal ini adalah seolah menjadi kewajiban seorang  perempuan. Sebesar itulah perjuangan seorang ibu di dalam rumah tangganya, wajar apabila Tuhan menghargai tugas seorang ibu di dalam wilayah domestik sama dengan tugas seorang ayah di dalam wilayah publik.
Kesulitan perempuan di dalam menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga pernah di gambarkan dalam sejarah, yaitu peristiwa yang dialami oleh Fatimah az Zahra binti Rasulullah SAW. Ia pernah mengeluh kepada ayahnya untuk meminta seseorang  yang dapat membantu pekerjaan rumah tangganya. Hal ini dilakukannya karna ia merasa kelelahan dalam melaksanakan tugas rumah tangganya sendirian.
Peran perempuan dalam keluarga memiliki kedudukan dan peranan yang ganda. Selain  melakukan peranan sebagai istri ia juga berperan sebagai seorang ibu, yaitu ketika ia melahirkan dan merawat putra-putrinya. Posisi dan peranan seorang istri dan ibu memang erat sekali kaitannya. Kedua posisi itu memang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang perempuan, ketika ia memasuki  kehidupan berumah tangga. Kesempurnaan sebuah keluarga adalah dengan kehadiran seorang anak di dalam  rumah tangga tersebut.
2. Hubungan  Masyarakat
Realitas sejarah sosial umat Islam pada masa Rasulullah SAW menggambarkan bahwa perempuan di dalam masyarakat memiliki kedudukan sebagai anggota masyarakat yang dihargai dan dihormati. Ia merupakan sebuah unit sosial dan unit politik yang mandiri dan berdiri diatas hak individualnya sendiri, apabila ia menghhendakinya. Islam datang untuk memberikan tempat yang sah bagi perempuan dalam masyarakat manusia.
Allah menciptakan manusia  dengan sempurna bila dibandingkan dengan mahluk lainnya, namun demikian pepatah mengatakan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Allah SWT menciptakan manusia disertai dengan kelebihan dan kekurangannya dan Allah SWT menjadikan demikian agar manusia dapat bersatu dan bekerja sama untuk saling melengkapi.
Jadi aktivitas perempuan di dalam masyarakat bukanlah sesuatu hal yang buruk tetapi sesuatu hal yang positif. Perempuan yang ikuit melibatkan dirinya di dalam masyarakat dapat mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Ada beberapa contoh peristiwa dalam sejarah  awal Islam, diantaranya yaitu ketika para sahabat ingin menyampaikan sarannya kepada nabi untuk menikah  setelah kepergian Khadijah. Khaulahlah yang mempunyai keberanian untuk menyampaikan hal tersebut. Peristiwa lainnya yaitu ketika menikahnya Rasulullah dengan Aisyah binti Abu Bakar, yang mana ketika itu perempuan Madinah, turut serta mengiringi  pestapernikahannya. Selain peristiwa tersebut juga ada peristiwa lain yaitu ketika Barokah Ummu Aiman ikut memandikan janazah Khadijah istri Rasulullah SAW.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa peran sosial perempuan tidak hanya  di dalam rumah tangga tetapi mereka juga aktif di dalam lingkungan masyarakatnya. Mereka mampu hidup mandiri dan beraktivitas untuk mengaktualisasikan  kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian mereka  dapat menghasilkan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi kehidupannya juga masyarakat sekitarnya. Selain itu perempuan Arab juga turut aktif dalam lapangan ekonomi. Mereka mampu bertani dan berternak seperti apa yang telah diberitakan dalam hadits berikut,
Dari Asma binti Abu Bakar r.a. berkata’’aku mengangkut biji kurma dari kebun Zubair yang diletakan Rasulullah SAW di atas kepalaku.Aku membawanya sekitar dua pertiga  farsakh (satu farsakh sama dengan tiga mil). Suatu hari aku dataing lagi membawa bibit kurma di atas kepalaku, lalu aku bertemu dengan Rasulullah SAW, bersamanya ada sejumlah orang Anshar, lantas nabi memanggilku supaya aku berjalan di belakangnya. Aku merasa malu berjalan bersama-sama lelaki. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Saad bin Muadz berkata bahwa seorang budak perempuan milik Ka’ab bin Malik pada suatu hari mengembalakan kambing di suatu daerah Sal’I (kawasan perbukitan di Madinah), tiba-tiba ada seekor kambing yang akan mati lalu budak perempuan itu  mengambil pecahan batu, kemudian menyembelih  kambing tersebut dengan pecahan batu itu. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi SAW beliau menjawab, makanlah saja kambing itu. (H.R. Bukhari).[73]
Dalam ajaran Islam pada dasarnya perempuan tidak di harapkan atau diwajibkan untuk mencari nafkah dan menjaga keluarga. Hal ini secara ekslusif adalah kewajiban kaum laki-laki. Dalam konteks sosiologis hal ini tidak dapat dibalik. Laki-laki di tugasi dengan kewajiban untuk menjaga keberlangsugan sebuah keluarga, maka ia diberi superioritas satu tingkat di atas perempuan. Seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nisa (4;34) bahwa,
“Laki-laki adalah pemimpin perempuan  karena Alah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang  lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka, sebab itu maka perempuan yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.
Demikian itulah kebijaksanaan Allah SWT, karena kebijaksanaan Allah  tidak sewenang-wenang. Dalam konteks sosial apabila ada perubahan dalam kondisi masyarakat, yaitu ketika perempuan  mulai mencari nafkah, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya, maka tidak akan ada sesuatu yang dapat mencegah mereka untuk memperoleh status yang setara.[74]
Dalam peristwa-peristiwa yang telah dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa perempuan memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat. Mereka dapat memberikan  jasa-jasa mereka ketika  mereka  mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Tidak semua pekerjaan dapat dilakukan kaum pria, maka dari itu kaum pria membutuhkan kaum perempuan dalam mengatasi masalah kehidupan  bermasyarakat. Pada saat seperti itulah perempuan dapat memberikan kontribusinya dalam masyarakat.
B. Bidang Politik
1. Pembentukan Kekuasaan Islam
Pada masa Rasulullah perempuan tidak hanya memiliki kontribusi sosial tetapi juga politik. Sebagai warga masyarakat, perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dengan kaum laki-laki untuk mempertahankan sebuah kekuasaan Islam. Hal inilah yang telah dilakukan oleh para perempuan Arab. Mereka rela mengorbankan jiwa raga dan harta bendanya untuk Islam, meskipun hal ini dilakukannya dalam kondisi tertentu. Mereka merupakan bagian positif yang mampu ikut serta dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan kesadaran yang tinggi mereka mampu mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah politik bersama-sama kaum pria untuk berjihad.
   Dalam bidang politik jihad diartikan sebagai perjuangan memerangi orang-orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah SWT. Peran pundamental jihad ialah menegakan agama dan menjaganya, menyingkirkan kemusyrikan menghadang segala bentuk intervensi yang mengancam syariat atau daulah Islam serta tatanannya. Menjaga agama yang sekaligus merupakan tujuan utama dari jihad.
Jihad hukumnya fardu kifayah  menurut jumhur  Fuqoha. Pengertiannya, jika sebagian orang sudah melaksanakannya, berarti kewajiban ini gugur bagi yang lain, tetapi jika tak seorang pun yang melaksanakannya berarti semua orang berdosa. Ada kalanya jihad menjadi fardu  a’in dalam kondisi-kondisi tertentu yang dikecualikan, seperti jika  invasi musuh ke wilayah kaum muslim, atau ketika pemimpin menyerukan kepada seseorang untuk berperang. Sebuah maksud dari jihad adalah memuliakan agama dan menjaga keselamatan wilayah kaum muslimimin.[75]
Tidak mengherankan apabila banyak kaum perempuan Arab yang berantusias  untuk ikut berjihad di medan perang untuk menjadi seorang pejuang. Tentang hal ini banyak riwayat yang mengungkapkannya di antaranya yaitu, dalam berbagai pertempuran yang pernah terjadi para perempuan Arab turut ambil bagian. Salah satu contohnya adalah pada peristiwa Perang Badar, mereka di tugaskan untuk memberi minum para perajurit dan merawat yang luka-luka. Dalam perang uhud Nusaibah binti Ka’ab melindungi rasulullah SAW dari serangan musuh dengan pedangnya bahkan sesekali beliau dapat melepaskan anak panah.[76]
Dalam peristiwa perang uhud tersebut banyak perempuan Arab yang ikut berperang. Diantaranya adalah Aisyah (istri Rasulullah), Ummu Sulaim, Ummu Sulaith al Ansoriyah, Hamnah binti Jahsy, dan lain-lain. Mereka tidak hanya menyediakan minuman atau makanan tetapi mereka juga membawa dan merawat para mujahid yang terluka ke Madinah. Sekali-kali mereka juga berhadapan langsung dengan musuh.[77]
Pada peristiwa perang uhud tersebut ada segolongan perempuan berada di belakang yang terbuat dari batu  pada pagi hari. Tempat ini sekaligus  merupakan tempat persinggahan orang-orang yang terpandang maupun orang-orang yang lemah, seperti Abu Hudzaifah al Yaman, Tsabit bin Waqash. Ketika Rasulullah SAW pergi untuk berperang beliau menempatkan istri-istri beliau di benteng Hasan, karena ini merupakan benteng terkuat.[78]  
Peristiwa  lainnya yaitu perempuan juga turut aktif dalam pengepungan Khaibar. Jumlah perempuan yang terlibat dalam perang khaibar mencapai 15 orang. Mereka terlibat secara aktif  bersama kaum laki-laki dalam perang ini. Menurut Imam Ahmad Rasulullah SAW memberikan ghanimah   kepada perempuan yang ikut berperang tersebut.[79]
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bab tiga, bahwa peran politik perempuan Arab diawali  dengan masuknya mereka ke dalam Islam lau berbaiat, berhijrah berperang. Perempuan Arab tidak hanya berperan sampai di situ, mereka turut serta juga dalam mengatasi masalah politik yang terjadi pada masa tersebut. Ummu Salamah adalah Perempuan yang cerdas yang dapat mengatasi masalah politik yang dihadapi oleh Rasulullah SAW.
Demikianlah peran politik para perempuan Arab dalam melakukan aktivitas politiknya. Hal ini menunjukan bahwa perempuan Arab memiliki kesadaran yang tinggi dalam berpolitik. Keterlibatan perempuan dalam  usaha untuk  mewujudkan sebuah wilayah kekuasaan Islam merupakan kontribusi  yang patut dibanggakan. Kontribusi tersebut telah membuktikan bahwa mereka sebagai perempuan mampu melaksanakan tanggung jawabnya secara maksimal.
     2. Pembentukan Masyarakat Islami
Atas nama hak asasi manusia, di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, kaum perempuan dapat menikmati kebebasan penuh untuk mengembangkan jati diri dan kepribadiannya. Mereka ikut serta ambil bagian dalam membentuk masyarakat. Lebih dari itu kaum perempuan dapat memanfaatkan kemerdekaan dan kebebasan yang dimilikinya,  selama itu tidak melanggar ajaran agama.[80]
Telah diketahui bahwa aktivitas kaum perempuan Arab pada masa Rasulullah SAW di dalam rumah tangga, tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan dan menyusui tetapi juga mendidik putra-putrinya. Para perempuan Arab membutuhkan ilmu pengetahuan disamping untuk dirinya sendiri juga sebagai bekal untuk mendidik putra-putrinya. Mereka berharap kelak dikemudian hari mereka memiliki generasi penerus yang cerdas dan dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada masa Rasulullah SAW banyak kaum  perempuan  Arab yang berantusias dalam menuntut ilmu, terutama pada saat Islam mulai tumbuh dan berkembang di Madinah.
Mengenai hal tersebut telah di kabarkan dalam sebuah hadits bahwa, kondisi perempuan Makkah (Muhajir) berbeda dengan kaum  perempuan Madinah (Ansor). Hal ini dapat dibuktikan  dengan pengakuan Aisyah, istri rasulullah SAW bahwa, ia mengagumi perempuan Ansor. Ketika Aisyah menyampaikan hal ini dihadapan kaum perempuan Muhajirin, bahwa perempuan Ansor suka menuntut ilmu.[81]Perempuan Arab merupakan pendidik utama dan pertama bagi anaknya, Khususnya pada masa-masa balita. Potongan syair Arab menyatakan “Al –Umm madrasah…”(ibu adalah tempat belajar).[82]
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya berjudul, Lentera Hati,  mengatakan bahwa, “ibu” dalam bahasa al–Qur’an dinamai dengan Umm, dari akar kata yang sama dibentuk kata Imam (pemimpin) dan umat. Kesemuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus “tertuju pada umat, pemimpin dan ibu untuk diteladani. Umm atau “ibu” melalui perhatiannya kepada anak serta keteladannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan Pemimpin-pemimpin dan bahkan dapat membina umat. Sebaliknya jika yang melahirkan seorang anak tidak berfungsi sebagai umm, maka umat akan hancur dan pemimpin (imam) yang wajar untuk diteladani pun tidak akan lahir.[83]
Telah dikemukakan dalam sebuah hadits bahwa, ibu adalah yang pertama berhak menerima kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini   bukan hanya disebabkan karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan dan menyusukan tetapi juga karena ibu telah berperan untuk membimbing umat atau masyarakat.
Fungsi dan peranan inilah yang menjadikannya sebagai  “umm” atau “Ibu”. Demi suksesnya fungsi tersebut Allah menganugrahkan kepada kaum permpuan struktur biologis dan cirri psikologis yang berbeda dengan kaum pria. Peranan ibu sebagai pendidik generasi bukanlah suatu hal yang mudah. Peranan itu tidak dapat di sepelekan atau dikesampingkan.[84]
Telah tertoreh di dalam sejarah Islam bahwa para perempuan Arab telah banyak menunjukan keteladanan mereka di dalam mendidik anaknya. Salah satu yang menjadi contohnya yaitu Asma binti Abu Bakar yang menjadi istri Zubair, dialah yang banyak memberikan peran dalam membentuk kepribadian putranya Abdullah bin Zubair. Ia menjadi seorang yang shaleh, bertaqwa, pemberani dan ketika besar ia menjadi pemimpin umatnya.[85]demikian juga dengan Fatimah  binti Rasulullah SAW, Ia telah mendidik Hasan dan Husain.
Demikianlah Islam dengan ajarannya telah membimbing kaum perempuan untuk membina putra-putrinya dalam bermasyarakat. Secara tidak langsung hal ini merupakan sebuah kontribusi kaum perempuan dalam membentuk suatu masyarakat yang Islami.
Rasulullah SAW bersabda, Perempuan adalalah tiang negara apabila perempuannya baik maka berjayalah negara, bila ia rusak maka hancurlah negara.
Hadits tersebut secara tidak langsung telah menyatakan bahwa perempuan turut menentukan keberhasilan sebuah negara.
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah  menguraikan dan membahas tentang perjalanan sejarah  peran sosial politik perempuan Arab pada masa Nabi Muhammad SAW (610M-632M), dapat ditarik beberapa  kesimpulan sebagai berikut.
Kondisi perempuan Arab pada masa awal Islam  sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan masyarakat Arab pada saat itu belum mengenal adanya norma-norma hukum yang dapat  membawa mereka ke jalan yang lurus. Selain itu kondisi geografis yang   kurang bersahabat, menuntut mereka untuk mempertahankan kehidupan dengan cara yang tidak baik (merampok, berperang dan sebagainya). Hal ini umumnya terjadi pada masyarakat desa (Badui), sehingga kekuatan fisik amat diutamakan. Kaum laki-laki yang memiliki fisik yang lebih kuat dari fisik kaum perempuan sangat diagungkan, sehingga kaum perempuan amat dihinakan. Sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa bangsa Arab merasa bangga apabila memiliki banyak anak laki-laki, dan merasa hina apabila memiliki anak perempuan, sehingga terjadilah pembunuhan terhadap bayi-bayi perempuan.
Setelah bangsa Arab memeluk  agama Islam, kondisi yang demikian menghinakan telah berubah menjadi kondisi yang patut di banggakan. Kaum perempuan dihormati dan dibanggakan, antara laki-laki dan perempuan saling melindungi dan menghormati baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena mereka telah memiliki peraturan-peraturan (Hukum)  kehidupan dalam agama yang sempurna dan atas bimbingan seorang Rasul yang mulia. Kaum perempuan pada waktu itu dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, yang dapat membangun kepribadian mereka sebagai makhluk yang sempurna.
Perempuan Arab yang hidup di bawah naungan agama Islam dapat berperan aktif dan positif dalam wilayah domestik dan publik. Mereka dapat melakukan aktivitas-aktivitas sosial dan politik secara maksimal dengan dasar, tujuan dan motivasi yang baik. Melalui peranan itulah mereka dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya sehingga mereka mendapatkan kedudukan yang layak. Melalui peranan itu juga perempuan Arab dapat memberikan kontribusi  yang besar terhadap masyarakatnya.
B. Saran-Saran
Berdasarkan pengalaman penulis, bahwa suatu kajian tentang Peran Sosial dan Politik Perempuan Pada Masa Nabi Muhammad SAW, secara disengaja atau tidak, telah mencerminkan subyektivitas penulisnya, maka dari itu sedapat mungkin subyektivitas tersebut dapat diminimalisir.
Kepada pihak yang bersangkutan, disarankan agar dapat melakukan studi yang lebih mendalam dan sempurna dalam mengkaji tema ini. Diharapkan juga dapat meneladani kisah–kisah teladan yang terdapat dalam penelitian ini.
C. Penutup
Alhamdulillah, penulis panjatkan ke Hadirat Allah yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kekuatan dan pertolongan kepada penulis,   sehingga penulisan skripsi ini  dapat  terselesaikan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Atas kritik dan sarannya penulis mengucapkan terimakasih. Tidak lupa penulis mengucapkan  terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam  memperlancar penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini menjadi amal ibadah penulis dan diterima oleh Allah SWT dan juga semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.  

DAFTAR PUSTAKA

Abu Syuqqoh, Abdul Halim.
1999.  Kebebasan Wanita , jilid 11, Jakarta, Gema Insani Press
Ahmad, Jamil
             1996, Seratus Muslim Terkemuka, ,Jakarta, Pustaka Pirdaus
A, Jawad, Haifa         
             2002, Otentisitas Hak–Hak Perempuan, (Perspektip Islam Atas Kesetaraan Gender), penj, Ani Hidayatun dkk, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru
Al-Qur’an dan Terjemahannya
            2002. Juz 1 – 30 edisi baru. Surabaya : UD. Mekar
Al-  Husaini, al – Hamid H.M.H
1997, Baitun Nubuwwah, Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW, Bandung Pustaka Hidayah
Al Hawani Aba Firdaus
1996. Wanita – Wanita Pendamping Rasulullah  Yogyakarta : Al Mahali Press.
Abdul Ghafur, Waryono dan Muhammad Isnanto
2002. Gender Dan Islam. Yogyakarta : PSW IAIN Sunan Kalijaga.
Abdurrahman, Dudung
1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos.
Al-Ghazali, Abdul Hamid
2001. Meretas Jalan Kebangkitan Islam. Solo : Intermedia, cet. II.
Al-Adnani, Abu Fatiya,
            2001. agenda an-Nisa, Bumi Allah : Qisti Saufa Abadi.
Asy Syarqowi, Abdurrahman
1998. Muhammad Sang Pembebas, terj. Ilyas Siraj, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Burke, Peter
2001. Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta : Yayasan Obor.
Chalil, Moenawar
1984, Nilai Wanita, Solo, Ramad Hani
Fakih, Mansur dkk
2000. Membincang Feminisme ; Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya : Risalah Gusti.
Hibbah Rauf Izzat
1997. Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam, terj. Burhanuddin Fanani. Bandung : Remaja Rosda Karya            
Kartodirjdo, Sartono  
1982. Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif . Jakarta : PT Gramedia
Lapidus, M, Ira
1999, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid, II, Jakarta, PT Raja Grafindo
Muhamad, Ziyadah Asma
            2001,  Peran Politik Wanita Dalam sejarah Islam, terj, Katur Suhardi, Jakarta: Gramedia kerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta.
Muhibbin
1996. Hadits – Hadits Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Munhanif, Ali
2002. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta : Gramedia kerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta.
Nasif, Fatima Umar
1999. Menggugat Sejarah Perempuan, terj. Burhan Wira Subrata dan Kundan D. Nuryaqien. Jakarta : CV Cendekia Sentra Muslim.
Shafiyyah, Amatullah dan  Haryati, Soeripno,
1999. Kiprah Politik Muslimah : Konsep dan Implementasinya. Jakarta : Gema Insani Press
Soekanto, Soerjono
1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV Rajawali.
Surbakti, Ramlan
1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo.
Tarbawi
             2003, Wanita Ilham dari Surga, Jakarta, PT Media Amal Tarbawi, edisi56, th 4-3  April
Takariawan, Cahyadi
            2002. Fikih Politik Kaum Perempuan, Yogyakarta : Tiga Lentera Utama.
Quraish. M. Shihab.
            1999, Lentera Hati, Bandung : Mizan.          
LAMPIRAN
No
TEKS ARAB DAN TERJEMHANYA
1
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ، يَتَوَارَى مِنْ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (النحل 58-59)
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah, padam) mukanya dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah di akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
2
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (الاسراء 31)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
3
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ(8)بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (التكوير 8-9)
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh.
4
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النّساء 19)
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
5
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الاحزاب 35)
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
6
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِىْ رَسُولُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسِتِّ سِنِيْنَ قَالَتْ فَقَدِمْنَا الْمَديْنَةَ فَوُعِكْتُ شَهْرًا فَوَفَى شَعْرِىْ جُمِيْمَةً فَاَتَتْنِىْ اُمُّ رُوْمَانَ وَاَنَا عَلَى اُرْجُوْحَةٍ وَمَعَى صَوَاحِبِى فَصَرَخَتْ بِى فَاَتَيْتُهَا وَمَااَدْرِىْ مَاتُرِيْدُبِى فَاَخَذَتْ بِيَدِىْ فَاَوْ قَفَتْنِيْ عَلَى الْبَابِ فَقُلْتُ هَهْ هَهْ ذَهَبَ نَفَسِيْ فَاَدْخَلَتْنِيْ بَيْتًا فَاِذَا نِسْوَةٌ مِنَ اْلاَنْصَارِ فَقُلْنَ عَلَى اْلخَيرِْ وَاْلبرََكَةِ وَعَلَى خَيرِْ طَائِرٍ فَاَسْلَمَتْنِىْ اِلَيْهِنَّ فَغَسَلْنَا رَأْسِيْ وَاَصْلَحْنَنِيْ فَلَمْ يَرُعْنِيْ اِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمْنَنِيْ اِلَيْهِ.
Dari Aisyah ra katanya : “Saya dikawini Rasulullah saw dalam umur enam tahun; dan mulai bergaul dengan beliau ketika berumur sembilan tahun. Kata Aisyah : “Setiba kami di kota Madinah, saya sakit sebulan lamanya hingga rambut saya rontok. Tatkala rambut saya telah sampai di telinga (tumbuh lagi setelah menderita sakit), pada suatu masa, waktu saya bermain-main di atas timbangan-timbangan dengan kawan-kawan saya, tiba-tiba datang kepada saya Ummu Ruman (ibunya sendiri) lalu saya dipanggilnya. Dengan tak tahu apa maksudnya, sayapun segera datang kepadanya. Dibimbingnya tangan saya, lalu disuruhnya berhenti di depan pintu. Dengan bernafas hah! Saya diajaknya masuk ke dalam rumah itu. Kiranya di sana terdapat banyak wanita-wanita Anshar. Mereka menyambut saya dengan perkataan “Selamat datang! Berkat! Nasib baik!. Ketika itu juga saya diserahkan oleh Ummu Ruman kepada para wanita; lalu mereka mencuci rambutku dan menghiasiku. Tidaklah saya terkejut ketika mereka itu menyerahkan saya kepada Rasulullah SAW, dan waktu itu kira-kira waktu dhuha (antara jam delapan-sepuluh).
7
عَنْ اَسْمَاءَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْفِحِىْ اَوِانْضِحِىْ اَوْ اَنْفِقِيْ وَلاَتحُْصِىْ فَيُحْصِىَ اللهُ عَلَيْكِ وَلاَ تُوعِى فَيُوْعِىَ اللهُ عَلَيْكَ.
Dari Asma’ ra katanya, bersabda Rasulullah SAW kepadaku : Mendermalah! Mendermalah! Tetapi tidak dihitung-hitung atau ditakar-takar, Allah tidak menghitung dan menakar-nakar pemberiannya kepadamu pula.
8
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ : عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ وَكَرِهَ اِلاَّ اَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةِ فَلاَسَمْعَ وَلاَطَاعَةَ.
Dari Ibnu Umar ra katanya : “Wajib atas orang Muslim patuh setia kepada pemerintah; baik hal yang disukai atau dibencinya kecuali apabila diperintahkan dengan sesuatu kemaksiatan; jika ia diperintah dengan suatu maksiat, haramlah mematuhi perintah itu

9

عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ :وَلَقَدْ رَأَيْتَ عَائِشَةَ بِنْتَ اَبِى بَكْرٍ وَاُمَّ سُلَيْمِ وَاِنَّهُمَا لَمُسَمِّرَتَانِ اَرَى خَدِمَ سُوْقِهِمَا تَنْقُلاَنِ الْقِرَبَ عَلَى مُتُوْنِهِمَا ثُمَّ تُفْرِغَانِهِ فِى اَفْوَاهِهِمْ ثُمَّ تَرْجِعَانِ فَتَمْلاَنِهَا ثُمَّ تَجِيْئَانِ تُفْرِغَانِهِ فِى اَفْوَاهِ الْقَوْمِ.

Dari Anas bin Malik ra katanya : “Sesungguhnya saya telah melihat Aisyah dan Ummu Sulaim (ibu Anas) memanggul girbah (tempat air dari kulit) dengan punggung mereka yang kemudian dituangkan ke mulut lasykar. Demikianlah mereka bolak balik melakukan pekerjaan itu dan saya melihat mereka juga menggulung kaki celana sehingga tampak gelang kaki mereka.
10
اِنَّ هَذَا اْلقُرْانَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَ يُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّلِحتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًا (9)
Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bagi mereka ada pahala yang bersar.
11
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (التوبة 71)
Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah: sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
12
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَه (الزلزلة 7)
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarahpun, niscaya dia akan melihat (balasannya).
13
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيَّ قَالَ : جَاءَتْ إِمْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَلَتْ : يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ الرِّجَالُ بَحَدِيْثِكَ فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا فَقَالَ (اِجْتَمِعْنَ فِى يَوْمِ كَذَا وَكَذَا.. فَاجْتَمَعْنَ فَأَتَاهُنَّ…)
Dari Abu Said al-Khudari, dia berkata bahwa seorang wanita datang kepada rasulullah saw dan berkata : Ya Rasulullah, kaum pria telah membawa haditsmu, maka tolonglah sediakan untuk kami dari waktumu suatu hari, Rasulullah saw menjawab : Berkumpullah kalian di hari ini, hari ini. Maka berkumpullah mereka, lalu Rasulullah saw mendatangi mereka (HR. Bukhari dan Muslim).
14
Jabir bin Abdullah berkata : “Bibiku dicerai dan dia bermaksud hendak mengambil buah kurma pada iddahnya. Namun, ada seorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar dari rumahnya. Lalu bibiku pergi menemui Rasullah saw (untuk menanyakan masalah ini), nabi saw berkata : Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu.barangkali dengan begitu kamu bisa besedekah atau melakukan sesuatu kebajikan”. (HR. Muslim).
15
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (النساء 4)
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
16
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (الطلاق 7)
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya  hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
17
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النّساء 19)
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
18
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَاكَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (البقرة 187)
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan diminumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempunakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

               1 Mansur Fakih dkk, Membincang Feminisme ; Diskursus Gender Perspektif Islam  (Surabaya : Risalah Gusti, 2000 ), hlm. 209 – 211.
  2  Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tejemahannya Juz 1 – 30 edisi baru ( Surabaya : UD Mekar Surabaya, 2000 ), hlm. 60.
          [3]Muhibbin, Hadits – Hadits Politik ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ), hlm. 12.
           [4]Ibid. hlm. 12 .
                  [5] Abdurrahman Asy Syarqowi, Muhammad Sang Pembebas, terj. Ilyas Siraj ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998 ), hlm. 8.
                 [6] Muhibbin, Hadits – Hadits Politik, hlm. 17.
                 [7] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, terj. Burhan Wira Subrata dan Kundan D. Nuryaqien ( Jakarta : CV Cendekia Sentra Muslim, 1999 ), hlm. 51.
       [8] Aba Firdaus Al Hawani, Wanita – Wanita Pendamping Rasulullah ( Yogyakarta : Al Mahali Press, 1996 ), hlm. 189 – 190.
           [9]Wahyono Abdul Ghafur dan Muhammad Isnanto, Gender Dan Islam (Yogyakarta:  PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002 ), hlm . 45.
               [10] Sartono Kartodirdjo, Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif(Jakarta : PT Gramedia, 1982 ), hlm. 54.
               [11] Dahrendorf (1964) di dalam buku Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor, 2001),  hlm. 68.
               [12] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm.1-2.
            [13]Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakata: PT Raja Grafindo persada, 20033 ), hlm. 29.
                  [14] Dudung A. R, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 54.
[15] Dudung, Metode Penelitian Sejarah, hlm. 55.
[16] Ibid,hlm. 58.
[17] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali, 1982), hlm. 14.
             [18] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi SAW. Jil 1 (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), hlm.13
        2Ibid. 13-14
       3 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad SAW, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2001 ), hlm. 6-7.
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirosah Islamiah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 ), hlm. 10.
          [22]Moenawar Chalil , Kelengkapan,   hlm. 17.
         [23]Ibid.   hlm.16.
     7 Ibid. hlm. 17-19.
     [25] Badri Yatim , Sejarah Peradaban, hlm. 10.
     [26] Maman. A.  Malik Sy, Peletakan Dasar-Dasar Islam Masa Rasulullah SAW, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Jur SPI, Fak, Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002),  hlm. 21.
            [27] Badri Yatim , Sejarah Peradaban, hlm. 11-12.
               [28] Fatimah Umar Nasif ,  Menggugat Sjarah,  hlm. 50.
               12Abdul Halim Abu As-Syuqqoh , Kebebasan Wanita, jil. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 15.
[30] Fatimah Umar Nasif, Menggugat Sejarah,  hlm. 57-58.
[31] Ibid. hlm. 59-61.
                [32] Ibid., hlm. 51.
          [33]Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh, hlm. 26.
          [34]Muhammad Haekal, Sejarah Hidup, hlm.  17.
          [35]Fatima Umar Nasif, Menggugat, hlm. 55-56.
          [36]Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh, hlm. 19.
          [37]Ibid. hlm. 68.
          [38]Abdurahman Asy Syarqowi , Muhammad Sang Pembebas, hlm. 11-12.
         [39]Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 11.
[40] Badri Yatim, Sejarah Peradaban,  hlm. 13-14.
[41] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mashudi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.34.
[42] Tarbawi, perempuan Ilham dari Surga, Edisi 56 th 4/3 April 2003 M,   hlm. 10.
          [43]  Jamil Ahmad, Seratus   Muslim  Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 78-79.
         [44] Aba Firdaus al Halwani ,Wanita-wanita Pendamping Rasulullah SAW, (Yogyakarta: Mitra pustaka 2001), hlm. 46-48.
             5Zaitunah  Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir al -Qur’an, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 104.
             6 Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 23.
             7 H.M.H al  Hamid al Husaini, Baitun  Nubuwwah’ Rumah tangga Nabi Muhammad SAW      (Bandung: Yayasan al Hamidi 1997), hlm. 78-79
            8 Tarbawi ,Perempuan  Ilham, hlm. 13.
  9 Moenawir Chalil, Kelengkapan Tarikh, hlm.402.
[50] HMH Al-Hamid al-Husaini, Baitun Nubuwwah, hlm. 58. 
  [51]Aba Firdaus al Halwani, Wanita-Wanita, hlm.85.
 12 Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 83-85.
                13Moenawar Chalil , Kelengkapan Tarikh, hlm.177.
                14Aba Firdaus al Halwani, Wanita-Wanita, hlm. 210-212.
               15Moenawar  Chalil,  Kelengkapan Tarikh, hlm. 220-231.
16Ibid. hlm. 269.
17Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 22.
18  Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh, hlm. 269.
19  Ira M Lapidus,  Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta:,PT Raja Grafindo persada, 1999), hlm.36.
20Moenawar Chalil ,Kelengkapan,  hlm. 268.
          [61] Ibid. hlm. 342.
          [62]Ibid. hlm 407.
         [63]Amatullah Shafiyyah dkk, Kiprah Politik, hlm. 32-33.
[64] Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak  Perempuan (Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender ) terj. Ani Hidayatun dkk. (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2002), hlm.  260-270.
[65] Amatullah Shafiyyah dkk,  Kiprah Politik, hlm. 31.
[66] Haifa  A Jawad, Otentisitas Hak-hak, hlm. 275.
[67] Amatullah, Haryati  S, Kiprah  Politik, hlm. 34.
[68] A. Halim A. Syuqqoh , Kebebasan,  hlm. 23-24.
[69] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender, dalam Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: LKIS, 1999), hal. 70.
                2 Al-Baqarah 2: 87 (lihat di lampiran 18)
          [71] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hal. 72.
4 Ibid. hlm. 76.
        [73] A. Halim  A . Syuqqoh, Kebebasan, hlm. 114
        [74] Asgor A. Enginer, Pembebasan Permpuan, terj. Agus N, ( Yogyakarta, LKIS, 1999), hal. 41
        [75] Asma M. Ziyadah, Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam. terj. Khatur Suhardi (Jakarta : Pustaka al Kautsar, 2001),  hlm. 126.
        [76] Amatullah Syafiyyah dkk, Kiprah Politik, hlm.34.
              [77]  Ibid. hlm. 136-137.
             [78] Asma .M. Ziadah, peran Politik, hlm.136.
             [79] Cahyadi takariawan, Fikih Politik Kaum Perempuan, (Yogyakarta, Tiga lentera Utama, 2002),  hlm.86.
            [80] Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak, hlm. 34.
           [81] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, hlm.59.
           [82] ibid. hlm. 76
           [83] Abu Fatiya al Adnani,  Agenda an- Nisa, (Bumi Allah, Qisti Saufa Abadi 2001), hlm.46.
           [84] Ibid. hlm.259
           [85] Abu Fatiya al Adnani,  Agenda an-Nisa,  ( Bumi Allah, Qisti Saufa Abadi, 2001), hlm. 46.
www.seowas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *