PERAN POLITIK MUHAMMADIYAH ERA REFORMASI

PERAN POLITIK MUHAMMADIYAH ERA REFORMASI

 (Studi Kritis Perilaku Politik Muhammadiyah di Era Reformasi 1998-2000)


Oleh Team:  www.web.unmetered.id
 

 

BAB I 

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Salah satu organisasi terpenting di Indonesia sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dan sampai sekarang adalah Muhammadiyah. Organisasi ini pada awal berdirinya menitikberatkan pada pembaharuan di bidang agama dan pendidikan Islam. Dalam perkembangannya organisasi ini juga terlibat dalam politik yang berlangsung di Indonesia. Menurut Taufik Abdullah, Muhammadiyah hanya mungkin dapat dipahami kalau sejarah ditempatkan dalam dinamika hubungannya dengan masyarakat dan negara di Indonesia ini.[1]
Pembaruan agama dan pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah telah banyak melahirkan manusia-manusia yang pandai. Dari manusia yang pandai ini maka melahirkan kekuatan kepekaan hati, sehingga sangat respon dan agresif terhadap berbagai gejala yang kecil maupun kompleks. Proses inilah yang melahirkan pemikir-pemikir yang kritis mulai dari KH. A. Dahlan sampai M. Amien Rais, dimana mereka itu merupakan figur Muhammadiyah yang sangat respek menanggapi gejala perubahan zaman. Mereka merespon berbagai permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama yang datang silih berganti, tak terkecuali kehidupan politik yang mewarnai sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Organsiasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 dengan pendirinya KH A. Dahlan atas saran murid-muridnya dan beberapa anggota Boedi Oetomo untuk mendirikan organisasi yang bersifat permanen.[2]Organisasi ini bertumpu pada cita-cita agama sebagai aliran Islam modernis yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi umat Islam Indonesia. Agama Islam di Indonesia pada waktu itu tidak utuh dan murni karena pemeluknya terkungkung dalam kebiasaan yang menyimpang dari al-Qur’an dan hadis. Keadaan ini tidak menumbuhkan simpatik pada pemeluknya, lebih-lebih dari kalangan muda yang sudah mendapat pendidikan Barat. Bahkan mereka menganggap bahwa Islam dianggap sebagai penghambat kemajuan bangsa. Hal inilah yang mendorong KH.A. Dahlan untuk mendirikan Muhamamdiyah dengan tujuan untuk membersihkan berbagai ajaran yang jauh dari Islam seperti perbuatan musyrik, bid’ah dan lain-lainnya.[3]
Perjuangan yang khas yang dilakukan Muhammadiyah adalah pendidikan walaupun dibidang lainnya seperti sosial dan keagamaan juga menjadi perhatian. Dari pembaharuan dibidang pendidikan inilah Muhammadiyah berhasil mencetak manusia muslim yang berbudi luhur, alim, luas pengetahuannya, dan paham masalah dunia dan agama. Sistem pendidikannya dibangun dengan menggabungkan cara tradisional dan modern, dari madrasah sampai perguruan tinggi. Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang menggabungkan antara iman dan kemajuan, sehingga umat Islam tidak ketinggalan dalam dunia yang modern ini.
Begitu banyak peranan Muhammadiyah yang telah mewarnai kehidupan di Indonesia ini diantaranya dibidang politik. Penelitian ini berusaha mengungkapkan peranan Muhammadiyah dibidang politik pada masa kontemporer, terutama perilaku politik Muhammadiyah pada era reformasi melalui Partai Amanat Nasional (PAN) tahun 1998-2000. walaupun PAN bukan satu-satunya partai politik orang Muhammadiyah, tetapi hadirnya PAN tahun 1998 sangat dekat dengan Muhammadiyah, meskipun Muhammadiyah tidak terikat dengan partai politik manapun.
Sejarah mencatat Muhammadiyah tidak pernah berpolitik praktis, namun sebagai individu pada organisasi tersebut boleh berpolitik. Selama itu hubungan antara Muhammadiyah dengan politik bersifat khas. Muhammadiyah, disatu pihak bukan menjadi organisasi politik, tetapi dipihak lainnya Muhammadiyuah harus tetap memperdulikan masalah politik internasional. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan konsep dakwah dan kegiatan sosial. Sehubungan dengan hal ini Amien Rais mengatakan, “Dalam banyak hal, kelancaran dakwah dan syiar Islam ditentukan oleh payung politik yang ada. Bila payung politik yang ada tidak melindungi kelancaran dakwah, organisasi seperti Muhammadiyah akan banyak menemui hambatan dalam melaksanakan aktivitasnya.”.[4]
Perubahan Muhammadiyah selalu berkaitan dengan berbgai persoalan yang ada di masyarakat, sehingga Muhammadiyah mampu merespon zaman. Hal ini dapat dilihat pada masa kepemimpinan KH.A.Azhar Basyir yang lentur kepada pemerintah Orde Baru. Muhammadiyah pada waktu itu termasuk pilar yang berada dalam pandangan paradigma akomodasi Islam dengan penguasa Orde Baru. Perubahan dalam Muhammadiyah terjadi pula ketika kepemimpinan berada di tangan Amien Rais, dimana Muhammadiyah mulai kritis dan selektif terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru.
Sikap perubahan Muhammadiyah diawali ketika Tanwir Muhammadiyah ke-43 di Surabaya. Dalam kesempatan tersebut Amien Rais melontarkan isu perlunya suksesi kepemimpinan nasional. Amien menilai bahwa kepemimpinan nasional sudah menunjukkan kebobrokan moral dan kepemimpinan nasional sangat tidak demokratis. Keadaan yang ada pada masa itu menurutnya sudah anti Pancasila, anti kemanusiaan, anti keadilan sosial, dan anti moralitas. Dalam pandangan Nurcholis Madjid dalam waktu 32 tahun kehidupan nasional telah kehilangan ethical paradigm morality dari proses pembangunan nasional.[5]
Pada perjalanan politik bangsa Indonesia akhir 1990-an menunjukkan kehidupan politik sudah menimbulkan bencana bagi sektor sosial dan budaya. Untuk mengatasi permasalahan yang multidimensi ini, Muhammadiyah mencoba untuk merefleksikan dan mengimplementasikan konsep the high politic untuk menyingkirkan  the  low  politic  guna  merubah pola pikir dan sikap kehidupan bangsa. Muhammadiyah mengembangkan politik dengan membendung hal-hal yang bersifat negatif dan mengarahkan kepada yang positif. Dalam bahasa Muhammadiyah atau umat Islam dikenal dengan amar ma’ruf nahi munkar.[6]
Amien Rais dan Muhammadiyah yang menggunakan politik adi luhung bersama rakyat mencoba mendobrak gerbong reformasi untuk mengadakan perubahan kehidupan politik bangsa Indonesia. Pada Mei 1998 akhirnya Orde Baru runtuh dan berganti dengan era reformasi. Pada masa reformasi inilah mulai bermunculan partai politik sebagai akibat dari kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan reformasi bagi semua orang untuk mendirikan partai politik. Salah satu partai yang muncul itu adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh  M. Amien Rais. Hadirnya partai ini sangat dekat dengan warga Muhammadiyah  karena tokoh partai ini adalah ketua PP Muhammadiyah, sehingga hubungan antara keduanya sangat dekat walaupun bersifat informal.

Batasan dan Rumusan Masalah

Permasalahan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah tentang peran Muhammadiyah dalam dinamika gerakannya sebagai organsiasi sosial keagamaan pada masa awal reformasi (1998-2000), yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan politik bangsa Indonesia. Pemikiran dan sikap Muhammadiyah di masa akhir Orde Baru sangat mewarnai dan menentukan corak perpolitikan di tanah air. Ketika era Reformasi berjalan, tokoh Muhammadiyah M. Amien Rais yang telah mendirikan PAN banyak berperan dalam politik Indonesia Indonesia. Untuk melihat peran politik Muhammadiyah pada masa reformasi ini maka penulis membuat permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimana warna politik Indonesia masa reformasi dan bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap pemerintah Reformasi?
Mengapa terjadi perubahan perilaku politik Muhammadiyah di era Reformasi?
Bagaimana hubungan antara Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional?

Tujuan dan Kegunaan

Berangkat dari rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk
Menjelaskan kebijakan politik era Reformasi
Mengungkapkan sikap Muhammadiyah terhadap berbagai kebijakan politik pemerintah Reformasi
Menerangkan strategi perjuangan Muhammadiyah pada era Reformasi dan masa yang akan datang.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
  1. Memberikan masukan dan tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang Muhammadiyah.
  2. Memberikan sumbangan bagi perbendaharaan serta kajian sejarah nasional
  3. Menambah serta mengembangkan semangat bagi generasi muda khususnya Muhammadiyah dan masyarakat Indonesia pada umumnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tinjauan Pustaka

Dalam studi dan penulisan tentang Muhammadiyah buku yang ada sudah banyak. Namun pada umumnya membahas tentang Muhammadiyah secara menyeluruh atau umum. Buku-buku yang penulis temukan antara lain : Gerakan Pembaruan Muhammadiyah yang ditulis oleh Weinata Saim. Dalam buku ini dibahas tentang peran dan kontribusi Muhammadiyah berkaitan dengan pancasila sebagai perwujudan kesatuan dan persatuan bangsa. Buku yang kedua berjudul Moralitas Politik Muhammadiyah yang ditulis oleh M. Amien Rais yang berisi sikap politik Muhammadiyah dengan High politik, tetapi ulasannya masih kurang luas.
Dalam bukunya Alamsyah Ratu Prawiranegara, Muhammadiyah dalam Islam dan Pembangunan Politik Indonesia dibahas tentang peranan Muhammadiyah dengan M. Din Syamsuddin dalam buku Muhammadiyah Kini dan Esok membahas tentang keterlibatan Muhammadiyah dalam PII dan Masyumi serta Parmusi yang didalamnya tidak diungkapkan peran politik Muhammadiyah pada masa Orde Baru. Buku lainnya adalah Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi tulisan  Syaifullah berisi tentang perilaku politik Muhammadiyah antara tahun 1945-1949 di Masyumi.
Buku lainnya tentang Muhammadiyah adalah dalam berbagai kumpulan artikel seperti “Perkembangan Muhammadiyah dari masa ke Masa: Pergumulan Pemikiran dalam Muhammadiyah” yang ditulis untuk menyongsong Muktamar ke-41 dengan editor Sukriyanto A.R. dan Abdul Mulkhan, Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru oleh Kuntowijoyo, Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat oleh Ade Ma’rif dan Zulfanheri. Buku-buku yang berasal dari kumpulan artikel belum cukup untuk memberikan gambaran Muhammadiyah dalam politik secara luas dan komprehensif karena ulasannya hanya singkat dan sekilas. Buku lainnya adalah Dinamika Politik Muhammadiyah karya Haedar Nashir berisi tentang dinamika politik Muhammadiyah mulai berdiri sampai masa reformasi tetapi bahasannya masih sekilas sehingga perlu penambahan. Buku Abdul Munir Mulkhan yang berjudul Menggugat Muhammadiyah diuraikan tentang sikap Muhamamdiyah sampai masa Reformasi tetapi hanya sekilas. Dalam buku ini juga berisi tentang berbagai kritik dari penulis berkaitan dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah yang terlalu berpihak pada kelas menengah atas.

Landasan Teori

Untuk landasan teori ini penulis memakai strategi pergerakan dan perjuangan umat Islam umumnya dan khususnya warga negara Muhammadiyah di Indonesia seperti diungkapkan oleh Kuntowijoyo.[7]Menurut Kuntowijoyo ada tiga strategi pergerakan dan perjuangan umat Islam yaitu : strategi struktural, kultural dan mobilitas sosial. strategi struktural yang juga disebut sebagai strategi politik menggunakan sarana politik. Kata kunci dalam strategi struktural adalah pemberdayaan atau empowerment, artinya melalui penjelasan hak-hak warga negara untuk melahirkan aksi bersama. Dalam strategi ini akan dibentuk aliansi-aliansi antara berbagai kepentingan yang mempunyai persepsi sama. Strategi struktural bertujuan untuk memobilisasi rakyat kecil dalam keperluan jangka pendek dengan menggunakan metode pemberdayaan dan aliansi.
Dalam strategi kultural perbedaan yang muncul adalah Islam politik dan Islam kultural. Strategi ini bertujuan untuk mengubah cara pandang dan berfikir perorangan. Strategi ini dapat dianggap efektif, dimana cara pengubahan cara berfikir serta pendekatan individu lebih akan lama bila dibandingkan dengan pendekatan kolektif akan mudah dipengaruhi. Jadi dalam strategi kultural lebih menitikberatkan pada individu untuk kepentingan jangka panjang.
Sedangkan dalam strategi terakhir, mobilitas sosial yang berusaha baik secara kolektif maupun individu untuk bisa naik dalam tangga sosial yang berjangka panjang. Metode yang dipakai adalah pendidikan sumber daya manusia, yang secara sadar bertujuan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Dengan tiga strategi yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo tersebut, penulis berusaha menggunakan dalam melihat Muhammadiyah pada masa reformasi dalam perjuangan menegakkan demokrasi.  Organisasi sosial keagamaan seperti halnya Nahdlatul Ulama(NU) atau  Muhammadiyah yang dikaji dalam penelitian ini, sejak  awal  memang menggunakan strategi kultural. Hanya saja dalam perkembangannya,   karena tuntutan zaman, mereka mengadopsi strategi struktural dan mobilisasi     sosial  serta mengabaikan   strategi awalnya. Namun sebenarnya strategi awal tetap, cuma orientasinya yang berubah.
Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode historis, yaitu dengan  proses menguji dan menganalisis secara  kritis mengenai  peninggalan masa  lampau berdasarkan sumber yang telah diperoleh dan  dikumpulkan.[8]Metode historis ini bertujuan merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis dan obyektif. Adapun  tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut :
Pengumpulan data ( heuristik )
Heuristik adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan  cara telaah sumber, baik sumber primer maupun sekunder. Telaah dokumen atau sering disebut dengan metode deskriptif analisis[9]yaitu dengan melakukan kajian buku-buku para pemikir umum dan pemikir muslim tentang buku yang membahas masalah Muhammadiyah dalam keterlibatannya dalam perpolitikan di Indonesia.
b. Kritik sumber (verifikasi).
Pada tahapan ini bertujuan menguji otentitas dan kredibilitas sumber. Verifikasi dilakukan dengan cara mengoreksi sumber yang telah dikumpulkan untuk diketahui apakah sumber yang telah dikumpulkan itu benar-benar otentik dan kredibel, sehingga relevan dengan peristiwa yang akan disusun.
c. Interpretasi
Pada tahapan ini maka langkah yang digunakan adalah mensintesa data yang diperoleh oleh penulis. Penulis mensintesa data yang di verifikasi untuk dapat menetapkan fakta dan mencapai kesimpulan. Dalam interpretasi ini penulis menitikberatkan pemikiran deduktif, yaitu dengan mengungkapkan situasi negara RI pada masa Reformasi dan organsiasi kemasyarakatan sebagai gejala umum, untuk kemudian mencari korelasi dengan munculnya perilaku politik Muhammadiyah pada masa yang sama sebagai gejala yang khusus.
d. Histografi
Dalam tahapan ini penulis menyajikan sintesa yang diperoleh dari data-data yang telah diolah kedalam bentuk penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam pemaparan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan politik untuk melihat kondisi politik negara pada masa Reformasi. Kedua, pendekatan historis untuk membuat laporan penelitian ini secara kronologis dengan maksud untuk menentukan peristiwa-peristiwa menurut dimensi waktu dan tempat.[10]

Sistematika Pembahasan

Dalam skripsi ini terdiri atas lima bab yaitu :
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II Memuat tentang gambaran umum Muhammadiyah. Dalam bab ini terdiri dari dua sub, yaitu latar belakang lahirnya Muhammadiyah dan paradigma atau kerangka berpikir perjuangan Muhammadiyah.
Bab III berisi politik Muhammadiyah pada masa Orde Baru. Bab ini akan menguraikan tentang kebijakan-kebijakan politiik pemerintah Orde Baru atau tahun 1996-1998, dan hubungan Muhammadiyah dengan pemerintahan Orde Baru.
Bab IV yang merupakan pokok dalam penulisan skripsi ini terdiri atas lima sub, yaitu : manuver sosio-politik Muhammadiyah (strategi kultural), hancurnya kekuatan Orde Lama (strategi mobilisasi sosial), kebijakan politik pemerintah era reformasi, Muhammadiyah dan fenomena Partai Amanat Nasional (PAN) strategi struktural.
Bab V Penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
GAMBARAN  UMUM MUHAMMADIYAH

Latar Belakang Lahirnya Muhammadiyah

Pandangan yang umum yang diterima  para sarjana menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi keagamaan yang didirikan untuk menjawab tantangan berkaitan  dengan situasi modern di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan (1868- 1923) di Yogyakarta pada tahun 1912, sebagai respon  terhadap berbagai saran kolega dan murid-muridnya untuk mendirikan sebuah lembaga yang permanen.[11]
            Ahmad Dahlan merupakan anak keempat, lahir pada 1868 dari sebuah keluarga muslim tradisional yang berdomisili di Kauman, sebuah kampung yang sangat terkenal religius di Yogyakarta. Kampung ini terletak persis disamping Istana Sultan Yogyakarta dan sangat dikenal sebagai kampung yang dihuni oleh keluarga Muslim yang kuat rasa keagamaannya. Kampung ini menjadi tempat kediaman Ahmad Dahlan sepanjang hayatnya dan tempat kelahiran Muhammadiyah  yang dibidaninya.[12]
            Ahmad Dahlan pada waktu kecil bernama Muhammad Darwis. Ayahnya bernama Kiai Haji Abu Bakar, seorang khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya bernama Siti Aminah, anak seorang penghulu besar di Yogyakarta.[13]Berdasarkan silsilah keturunannya, terlihat bahawa K.H. Ahmad Dahlan berasal dari keluarga yang  keislamannya kental. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ahmad Dahlan lahir dan dibesarkan dalam suatu lingkungan Islam yang  kuat. Begitu juga dengan kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad  Darwis dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis dikemudian hari.
Gerakan Islam ini diberi  Muhammadiyah, diambil dari nama nabi dan rasul yang terakhir, yaitu Muhammad SAW. Muhammadiyah berarti umat “Muhammad SAW” atau “pengikut Muhammad SAW“. Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan  pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M di Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya di maksudkan untuk bertafa’ulatau berpengharapan baik dengan mencontoh dan meladani jejak perjuangan nabi Muhammad SAW.[14]
Berkaitan dengan faktor-faktor  yang menjadi latar belakang lahirnya Muhammadiyah maka banyak ahli yang memiliki berbagai pandangan. Haji Abdul Karim Malik Amrullah (Hamka) sebagaimana dikutip oleh A. Syafii Ma’arif mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah. Pertama, keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia pada hampir semua aspek kehidupan.. Kedua, kemiskinan yang parah yang diderita umat Islam justru dalam negeri yang kaya seperti Indonesia. Ketiga, keadaan pendidikan Islam yang sudah kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren.[15]
 Sementara itu Solichin Salam menyebut adanya faktor intern dan ekstern yang mendorong lahirnya Muhammadiyah.[16]Adapun yang dimaksud dengan faktor intern adalah:
  1. Kehidupan beragama tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadis, karena merajalelanya perbuatan syirik, bid’ah dan khurafat yang menyebabkan Islam menjadi beku.
  2. Keadaan bangsa Indonesia serta umat Islam yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan, kekolotan, dan kemunduran.
  3. Tidak terwujudnya semangat ukhuwah islamiyah dan tidak adanya organisasi Islam yang kuat.
  4. Lembaga pendidikan Islam tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik dan sistem pesantren yang sudah sangat kuno.
Adapun faktor-faktor ekstern terdiri atas :
  1. Adanya kolonialisme Belanda di Indonesia.
  2. Kegiatan serta kemajuan yang dicapai oleh golongan Kristen dan Katolik di Indonesia.
  3. Sikap sebagian intelektual Indonesia yang memandang Islam sebagai agama yang telah ketinggalan zaman.
  4. Adanya rencana politik Kristenisasi dari pemerintah Belanda demi kepentingan politik kolonialnya.
Musthafa Kamal Pasha dan A. Adaby  Darban menyatakan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua faktor  yaitu :
1.                  Faktor  subyektif , yaitu faktor yang berasal dari pendalaman KHA. Dahlan terhadap al-Quran, terutama surat Ali Imron 104 yang artinya :  “Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Berdasarkan ayat ini KHA. Dahlan tergerak hatinya untuk membangu sebuah organisasi untuk melaksanakan misi dakwah amar makruf nahi minkar di masyarakat.
2.                  Faktor obyektif yang terdiri atas faktor yang berasal dari umat Islam atau faktor internal dan faktor yang berasal dari luar umat Islam atau faktor eksternal.
Faktor obyektif yang bersifat internal ini terdiri atas :
1.            ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Quran dan Hadis sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
2.   Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “ khalifah Allah diatas bumi “.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal , yaitu :
1.      Semakin meningkatnya gerakan Kristenisasi di tengah –tengah masyarakat Indonesia.
2.      Penetrasi bangsa-bangsa eropa, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
3.      Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam.[17]
Berdasarkan atas berbagai pandangan diatas maka ada tiga faktor yang dominan yang menjadi latar belakang lahirnya Muhammadiyah, Yaitu :
a.       Kondisi Islam di Jawa.
b.       Pengaruh gerakan modernis Islam di  Timur Tengah.
c.       Politik Islam pemerintah Belanda.
Faktor-faktor tersebut akan diuraikan secara rinci dalam bagian-bagian berikut :
a. Kondisi  Islam di Jawa
            Sebagaimana diketahui, penduduk pulau Jawa sebelum datangnya Islam adalah pemeluk agama Hindu, Budha dan ada yang tetap mempercayai animisme dan dinamisme. Oleh karena itu, ketika Islam datang di Jawa dan dipeluk oleh masyarakat yang terjadi adalah bercampurnya ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan masyarakat sebelumnya.
            Para ahli sejarah masih belum mempunyai kesimpulan yang pasti kapan Islam pertama kali datang di pulau Jawa, khususnya Jawa bagian tengah dan timur. Namun demikian, secara umum diakui bahwa catatan tertua tentang masuknya Islam di Jawa diperoleh melalui penemuan makam Fathimah binti Maimun yang terdapat di Leran, Gresik. Pada nisan makam tersebut terdapat tulisan yang menyatakan bahwa Fathimah meninggal pada tahun 475 H atau 495 H (1082 M atau 1102 M). Hal ini berarti bahwa sekitar tahun 1080-an telah ada penganut agama Islam yang mendiami pulau Jawa.[18]
            Islam datang ke Jawa ketika Hindu telah berhasil menancapkan akar-akarnya yang kukuh di bumi nusantara ini, baik dalam bidang material yang terwujud dalam candi-candi, maupun dalam bidang spiritual yang terungkap dalam pola pikir serta gagasan yang kini masih berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jawa.
            Secara historis, kondisi kehidupan keagamaan kaum muslimin Jawa tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang sejarah penyebaran Islam di negeri ini. Pada waktu Islam datang ke Jawa, kehidupan keagamaan yang nampak adalah campuran antara kepercayaan tradisional yang telah menjelma menjadi adat kebiasaan dengan bentuk mistik yang  dijiwai oleh agama Hindu dan Budha. Dalam perkembangannya kepercayaan tersebut tercermin dalam falsafah hidup yang meskipun dipengaruhi oleh nilai-nilai kerohanian Islam, namun kepercayaan tradisional Jawa tetap hidup dan mempengaruhi bentuk kehidupan keagamaannya.
            Berdasarkan hal tersebut di atas maka Clifford Geertz, menyatakan bahwa “ peradaban Indonesia yang klasik pada instansi pertama bukan Islam melainkan Hindu “.[19]Dengan mencoba membandingkannya dengan di Maroko, Geertz menyatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-13 atau 14 bukanlah memasuki dunia yang masih kosong ditinjau dari segi kebudayaan, tetapi justru memasuki daerah yang didalamnya dominan unsur politik,estetik, religius, dan sosial yang paling besar di Asia, yakni negara Jawa Hindu-Budha. Akibatnya seperti dikatakan oleh Harry J. Benda ,“agama Islam di Jawa merupakan agama Islam yang lain sifatnya, terdiri dari campuran berbagai unsur kepercayaan ditambah Islam (sinkretis)”.[20]
            Ajaran agama seperti digambarkan diatas itulah yang hidup dan berkembang di Indonesia serta menjadi anutan bagi mereka yang memeluknya. Semua itu mengakibatkan tidak utuh dan tidak murni lagi paham dan praktek ajaran Islam di Indonesia. Akibat lebih lanjut adalah Islam dan ajaran-ajarannya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kehilangan pamor dan daya tariknya.
            Kondisi historis inilah yang mendorong KH. Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah dengan tujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam yang ada di masyarakat.Tujuan didirikan Muhammadiyah adalah berjuang memperbaiki pengamalan ajaran agama Islam yang ada di Indonesia khususnya di Jawa yang penuh dengan takhayul, bid’ah dan khurafat.
b. Pengaruh Gerakan Modernis Islam dari Timur Tengah
            Lahirnya gerakan pembahruan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh tokoh-tokoh gerakan modernis Islam di Timur Tengah, khususnya Muhammad Abduh ( 1849-1905 M ) serta muridnya yang terkenal, Rasyid Ridha ( 1865 –1935 M ). Dalam hal ini Deliar Noer mengatakan bahwa gerakan reformasi Islam di Indonesia, sebagian karena terpengaruh oleh perkembangan dan ide dari luar Indonesia, terutama Timur Tengah, yakni Mekah dan Kairo yang menjadi pusat studi Islam.[21]Pengaruh ini sampai di Indonesia melalui orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Pada waktu itu di Mekah mereka mempelajari dan memperdalam berbagai aspek ajaran Islam, terutama Figh. Untuk maksud ini para jamaah haji Indonesia biasanya tinggal di Mekkah untuk beberapa lama. Dalam masa itulah mereka terpengaruh oleh gerakan pembaharuan di Timur Tengah.
            Sementara itu di Kairo Mesir, ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh telah menyebar ke hampir seluruh negara Islam melalui majalah Al-Manar. Di antara pembaca Al-Manar yang cukup aktif adalah KH. Ahmad Dahlan. Ia menerima majalah itu dari kawannya yang ada di Jami’at al-Khair (organisasi masyarakat keturunan Arab yang ada di Jakarta) dan biasanya ia mendiskusikan isi majalah tersebut dengan teman-temannya.
            Kepergian Ahmad Dahlan untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1890, lalu kembali lagi ke Mekkah pada tahun 1903 dan 1905 menjadikan ia terbiasa dengan ide pembaharuan. Pengamatan langsung terhadap daerah pusat Islam yang banyak terpengaruh oleh ide pembaharuan ini mendorong Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Intensitasnya dalam membaca majalah Al-Manar yang banyak memuat ide-ide Muhammad Abduh memberikan pengaruh kuat pada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912.
c.             Politik Islam Pemerintah Belanda
Dalam mempertahankan kekuasaannya, setiap bentuk pemerintah kolonial sedapat mungkin berusaha memahami adat kebiasaan penduduk pribumi di wilayah jajahannya. Hal ini berguna untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan penjajah.
            Belanda menyadari sepenuhnya bahwa mayoritas penduduk pribumi menganut agama Islam. Kenyataan ini memerlukan sikap dan pendekatan yang hati-hati, justru karena agama ini selalu menyadarkan para pemeluknya bahwa mereka sedang berada dalam penjajahan, dimana disisi yang lainnya ajaran Islam menyatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Sikap yang hati-hati dari pemerintah Belanda dianggap penting oleh karena adanya pengalaman bahwa semangat keagamaan yang tinggi beberapa kali menyulut api pemberontakan terhadap Belanda, misalnya perang Banten pada pertengahan abad ke-18, perang Cirebon 1802-1806, perang Diponegoro 1825-1830 dan perang Aceh 1873 –1903 .[22]
            Sampai jangka waktu yang cukup lama politik Belanda terhadap Islam tidak terumuskan. Hal ini disebabkan karena Belanda tidak memiliki pengetahuan yang yang tepat tentang Islam itu sendiri. Kebijakan terhadap Islam hanya dilakukan dengan semangat rasa takut serta pengharapan yang berlebihan. Rasa takut terhadap Islam sebagai kekuatan yang fanatik dan punya hubungan dengan gerakan internasional. Pengharapan yang sangat optimistik bahwa dengan berhasilnya Kristenisasi maka pengaruh Islam akan hilang dengan sendirinya.
            Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah pemerintah  Belanda mempunyai kebijakan yang jelas terhadap Islam. Snouck Hurgronje adalah seorang ahli bahasa Arab, ahli agama Islam, dan pernah tinggal di Mekah dan berhasil dalam membantu Belanda pada peristiwa perang Aceh. Ia memberikan informasi yang jelas kepada pemerintah Belanda tentang agama Islam, antara lain  bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan seperti yang ada dalam dalam Kristen, ulama bukanlah bagian dari hierarki Konstantinopel, dan mereka tidak boleh dinilai secara apriori sebagai fanatik dan harus dimusuhi.[23]
            Dengan memahami kondisi Islam di Indonesia pada waktu itu dan berbekal pengalaman dan pergaulannya dengan dunia Islam, Snouck Hurgronje memberikan pandangan kepada pemerintah dalam rangka menetapkan politik Islam. Menurut Hurgronje Islam harus dibedakan dalam tiga kategori, yakni pertama Islam sebagai ajaran agama, kedua, Islam sebagai ajaran sosial kemasyarakatan, dan ketiga, Islam sebagai bagian politik. Menurutnya orang Islam akan bangkit melawan penjajah, jika mereka mengalami hambatan dalam menjalankan ajaran agamanya. Oleh karena itu pemerintah Belanda harus harus memberikan kebebasan kepada mereka untuk menjalankan ajaran agama Islam, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
            Demikian juga dalam lapangan sosial kemasyarakatan, pemerintah dapat memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku di lingkungan mereka sendiri bahkan pemerintah Belanda harus membantu. Namun dalam kehidupan politik, pemerintah Belanda harus bersikap hati-hati, bahkan harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kearah kesadaran bahwa mereka sedang dijajah, sehingga akan melahirkan fanatisme dan pan-Islamisme.[24]
            Sebagai tindak lanjut untuk menghambat pelaksanaan politik Islam, pemerintah Belanda memperlancar gerakan Kristenisasi dengan memberikan dana yang besar bagi penyebaran agama tersebut. Di samping itu, pemerintah Belanda juga mengupayakan agar penduduk pribumi tidak mendapatkan pendidikan yang layak, kecuali bagi minoritas kelompok bangsawan. Kondisi ini ikut mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Ahmad Dahlan cukup antisipatif, karena inti ajarannya adalah menekankan agar umat Islam kembali ke Al-Quran dan Hadis untuk menjaga kesucian agama. Selain itu Ahmad Dahlan juga menyerukan dakwah untuk menjaga iman dari rongrongan agama lain serta pendidikan agar masyarakat pribumi berkesempatan memperoleh pengetahuan tanpa ada diskriminasi.
            Dalam konteks ini maka cukup relevan pernyataan Fachry Ali dan Bachtiar Effendy yang menyatakan bahwa secara sosio-kultural, proses pembaharuan Islam di Indonesia, termasuk yang dilakukan oleh Muhammadiyah, lebih dimatangkan oleh adanya pengaruh-pengaruh asing, baik  tantangan maupun dorongan.[25] Pengaruh budaya Barat yang dilancarkan secara berkala oleh Belanda telah membuat para pemuka Islam bersikap hati-hati, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk gerakan- gerakan seperti Boedi Oetomo, Syarikat Islam, Muhammadiyah dan lain-lainnya.           

Paradigma Perjuangan Muhammadiyah

Paradigma atau kerangka berfikir mempunyai peran yang penting bagi seseorang atau organisasi dalam pelaksanaan aktifitasnya. Paradigma juga bisa menunjukkan jati dirinya. Bagi sebuah organisasi seperti  Muhammadiyah yang memfokuskan kegiatannya dalam bidang sosial kemasyarakatan, paradigma perjuangan yang dimilikinya bisa mengalami perubahan atau perkembangan. Hal dapat dilihat sebagai suatu upaya yang serius dari Muhammadiyah untuk dapat memberikan partisipasi secara maksimal bagi kehidupan umatnya.
            Dilihat dari orientasi perjuangannya, Muhammadiyah memiliki jati diri ideologis organisasi yang unik. Keunikan ini terlihat bahwa organisasi ini sangat modern di bidang tehnik pengembangan program, tetapi sangat fundamental pada bidang agama dalam pengertian terbatas. Dalam bidang agama atau disebut juga bidang teologis, pegangan pokok  Muhammaduyah adalah al-Qur’an dan Hadis dan orientasinya menyerupai kaum Wahabi di Arab Saudi. Sesuai dengan pegangan pokok ini Muhammadiyah sangat menekankan kesederhanaan dalam hidup dan sangat mencela simbol-simbol kebudayaan, apalagi yang dianggap bisa mencampuri aqidah keagamaan.
            Jatidiri Muhammadiyah ini disatu sisi mencerminkan bahwa Muhammadiyah merupakan suatu gerakan modern, dalam arti pengelolaan dan orientasi kegiatannya itu sesuai dengan tuntutan zaman. Ini terlihat dari sistem pendidikan yang diterapkan atau program-program lain seperti kesehatan yang dikelola berdasarkan ilmu pengetahuan modern. Disisi lainnya, khususnya bidang aqidah, terlihat Muhammadiyah mengamalkan faham keagamaan secara fundamental. Hal ini terlihat dalam upaya Muhamadiyah untuk memberantas tahayul,bid’ah dan kurafat yang berkembang di tengah masyarakat Islam Indonesia untuk disesuaikan dengan ajaran murni yang berasal dari al-Qur’an dan Hadis.
            Paradigma perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern dapat dilihat pada program-program awalnya, yaitu :
1.      Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan dari Islam.
2.      Reformasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern.
3.      Reformasi ajaran-ajaran pendidikan Islam.
4.      Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan –serangan dari luar,dan
5.      Melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.[26]
Berdasarkan pada program awal perjuangan ini membuat Muhammadiyah itu mempunyai multiwajah, yakni sebagai gerakan pembaharuan keagamaan, agen perubahan sosial dan sebagai kekuatan politik. Sebagai gerakan pembaharuan keagamaan, Muhammadiyah tampil dalam gerakan pemurnian dengan memberantas syirik, tahayul, bid’ah,dan kurafat dikalangan umat Islam. Sebagai agen perubahan sosial, Muhammadiyah melakukan modernisasi sosial dan pendidikan guna memberantas keterbelakangan umat Islam. Sebagai kekuatan politik Muhammadiyah memerankan diri sebagai kelompok kepentingan . Wajah lain dari Muhammadiyah adalah sebagai pembendung paling aktif  terhadap misi-misi kristenisasi di Indonesia.[27]
            Bila ditelusuri, paradigma perjuangan Muhammadiyah agaknya tidak terlepas dari apa yang telah dicontohkan oleh KH. Ahmad Dahlan , karena dasar-dasar pemikiran Muhammadiyah pada masa-masa sesudahnya dapat dikatakan sebagai penjabaran dari pemikirannya yang dikemukakan ketika masih hidup.
Mengenai pandangan keagamaan KH. Ahmad Dahlan, sekalipun tidak anti sufi, tetapi ia cenderung kepada pemurnian ajaran Islam dengan al-Quran dan Hadis sebagai landasan pokoknya. Muhammadiyah juga dikenal sebagai gerakan non-madzhab. KH. Ahmad Dahlan misalnya menolak segala bentuk bid’ah dalam ibadah. Ibadah sebagai bentuk hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan haruslah dijalankan berdasarkan dalil-dalil agama yang kuat. Dengan kata lain, inovasi di bidang ibadah dipandang sebagai perbuatan menambah ajaran agama atau bid’ah. Sebagaimana halnya gerakan modern Islam diseluruh dunia, slogan kembali kepada al-Quran dan hadis begitu kuatnya dikalangan Muhammadiyah dan para simpatisannya.[28]
            Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dijadikan paradigma perjuangan Muhammadiyah, dimana pemikiran tersebut dikembangkan lebih lanjut, yaitu cita-cita untuk menegakkan masyarakan Islam yang sebesar-besarnya. Suatu garis besar cita-cita tentang kemasyarakatan dari Muhammadiyah adalah :
            “ Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebesar-besarnya, dimana kesejahteraan, kebaikan dan kebahagian luas merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqoddimah Anggaran Dasar, yaitu :
1.      Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada Allah.
2.      Hidup manusia bermasyarakat.
3.      Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagian dunia akhirat.
4.      Menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam dalam masyrakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan (berbuat kebaikan) kepada sesama manusia.
5.      Ittiba’ (mengikuti) langkah perjuangan Nabi Muhammad dalam setiap usaha.
6.      Melancarkan  amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.[29]
Dari prinsip-prinsip diatas terlihat bahwa bagi Muhammadiyah segala aktifitas organisasi harus didasarkan kepada semangat pengabdian kepada Allah. Dengan demikian, perwujudan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dilakukan dengan cara melakukan amal usaha yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Nilai sebuah amal usaha bukan hanya dilihat dari manfaat yang diberikannya secara lahiriah, tetapi lebih dari itu amal usaha itu juga harus menimbulkan pengaruh positif  bagi rohani. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa dalam Muhammadiyah  prinsip keseimbangan hidup antara jasmani dan ruhani atau antara duniawi dan ukhrowi  itu ada keseimbangan.
            Berdasarkan paradigma inilah maka menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang menekankan kepada amal usaha nyata terwujud dalam usaha mendirikan sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, panti asuhan, dan sebagainya. Hal inilah yang menjadikan Muhammadiyah menggunakan  “berlomba-lomba dalam kebaikan “ sebagai semboyan gerakan. Semboyan gerakan ini sangat relevan dengan orientasi Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam yang bergerak untuk berpartisipasi dalam pembangunan umat, bangsa, dan negara.
Berdasarkan paradigma perjuangannya juga, maka Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang nyata bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peran dan partisipasi Muhammadiyah bagi masyarakat yang luas, yang dikalangan Muhammadiyah disebut dengan istilah “amal usaha Muhammadiyah”  merupakan hal yang fundamen bagi gerakan ini, apalagi jika ditinjau dari latar belakang kelahiran Muhammadiyah itu sendiri.
BAB III
SIKAP POLITIK MUHAMMADIYAH
MASA ORDE BARU ( 1966-1998 )

Kebijakan Politik Pemerintah Orde Baru

Orde Baru merupakan sebuah babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang muncul sebagai antitesis terhadap Orde Lama.[30]Orde Lama ini dipersepsikan sebagai era penyelewenagan , penyimpangan dan berbagai bentuk kezaliman yang tidak hanya secara formal menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi secara substansial telah meruntuhkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai antitesis dari Orde Lama, maka Orde Baru dianggap sebagai era kebangkitan kembali bangsa Indonesia untuk melangsungkan suatu proses modernisasi dan pembangunan sebagai pegamalan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
            Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru ketika mulai memegang tampuk kekuasaan adalah birokrasi yang tidak bertanggungjawab dan kekuasaan otoriter warisan Orde Lama  yang dianggap telah membawa kemerosotan parah bagi ekonomi rakyat.[31]Berdasarkan  hal ini maka Orde Baru disamping bertekad melaksanaan reformasi ekonomi secara radikal, juga mengusahakan terlaksananya program pemerintah diseluruh wilayah negara agar berfungsi secara efektif dan fungsional serta tidak diselewengkan oleh aparat birokrasi. Agar pemerintah baru ini berfungsi , terutama dalam menangani program pembangunan ekonomi maka diperlukan birokrasi yang efektif dan tanggap.[32]
            Pada masa Orde Baru ini pembangunan merupakan pilihan strategis sebagai pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pilihan ini paling tidak mempunyai dua implikasi praktis yang saling berkaitan. Pertama, pemerintah Orde Baru dengan demikian mempunyai basis “ideologi” yang kuat dan langsung menyentuh hajat orang banyak, karena mereka akan memberikan dukungan dan partisipasi politik. Kedua, dukungan dan partisipasi politik masyarakat pada gilirannya akan mendukung kelangsungan proses pembangunan dan memgukuhkan posisi pemerintah Orde Baru itu sendiri. Dari sini diharapkan terjadi interaksi dinamis antar partisipasi politik dengan pelembagaan politik dalam proses rekayasa politik sebagai agenda pembangunan politik Orde Baru.
            Dalam rangka melaksanakan pembangunan serta mewujudkan pemerintahan yang stabil dan kuat, pemerintah Orde Baru kemudian melebarkan fungsinya dengan menjadi “mesin politik” yang tangguh dalam merekayasa kehidupan sosial politik masyarakat. Disamping menjadi alat administrasi pemerintah, birokrasi Orde Baru telah berkembang menjadi wadah kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan “status quo”  dan melaksanakan suksesi terencana diantara jaringan kekuasaan yang mengitarinya.[33]
            Ciri pokok pemerintah Orde Baru adalah pengembangan politik Pancasila dan perencanaan perubahan masyarakat secara bertahap sesuai dengan GBHN yang merupakan landasan pembangunan nasional. Orde Baru diawali dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai landasan formal kepemimpinan Soeharto.[34]Secara berangsur-angsur Orde Baru merencanakan perubahan kehidupan sosial politik dengan landasan ideal dan konstitusional Pancasila dan UUD 1945.
            Selanjutnya pemerintah menempatkan faktor stabilitas nasional , stabilitas politik dalam bentuk penyederhanaan partai, tanggungjawab dan displin nasional serta keamanan nasional sebgai faktor terpenting dalam pembangunan nasional yang disusun, dirumuskan dan dilaksanakan berdasarkan ideologi Pancasila.[35]Dalam salah satu ketetapan MPRS 1966 dinyatakan bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber  hukum.[36]Sebagai pelaksanan dan operasionalisasi konsep dasar pembangunan nasional tersebut maka disusunlah kebijaksanaan politik yang merupakan suatu proses pengaturan dan penyusunan perkembangan masyarakat dan pencapaian stabilitas nasional dan politik. Secara umum kebijaksanaan pemerintah tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan.[37]
            Adapun tujuan dari kebijaksaan tersebut adalah dicapainya suatu tata kehidupan politik, cara berfikir dan mental politik yang mendukung  tercapainya pembangunan dan partisipasi seluruh rakyat dalam pembangunan nasional.[38] Dengan demikian diharapkan rakyat serta organisasi sosial dan politik dapat diatur dan ditata untuk berpartisipasi langsung dalam kehidupan ketatanegaraan.
            Mengingat hal tersebut diatas, maka asas utama dari kebijaksanaan politik pemeritah Orde Baru adalah asas kemanunggalan antara ABRI dan rakyat dan integrasi nasional yang diusahakan secara terus menerus.[39]Dengan demikian usaha tersebut diharapkan akan mewujudkan budaya nasional sebagai integrasi dan identitas nasional, solidaritas, kehormatan , dan kebanggaan serta kesetian bangsa.
            Usaha untuk mencapai dan melaksanakan kosep dasar pembangunan masyarakat pada umumnya  dilakukan dengan : pertama, menghilangkan perbedaan ideologis dari berbagai kelompok masyarakat, kedua, tindakan politik rakyat diarahkan kepada prinsip loyalitas seluruh kekuatan politik kepada ideologi Pancasila.[40]Aparat negara dikembangkan sebagai satu kekuatan manunggal yang hanya di benarkan loyal kepada struktur negara dan bangsa. Sebagai jaminan pelaksanaan strategi politik nasional dijalankan  melalui pembangunan politik yang diatur dan ditetapkan dalam satu perundang-undangan nasional yang resmi. Dengan demikian kebijaksanaan politik merupakan kerangka landasan penyelenggaraan fungsi politik negara dengan berbagai aturan dan sanksi  hukum.
            Berbagai kebijaksanaan politik yang bersangkutan dengan kehidupan umat Islam dapat disebutkan antara  lain adalah dengan dilegalisirnya Partai Muslimin Indonesia ( Parmusi ) pada tanggal 20 Februari 1968. selanjutnya seluruh partai Islam diarahkan untuk melakukan fusi ( NU, Perti, PSII, Parmusi ) kedalam satu partai politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Usaha ini dilakukan dengan mengelompokkan partai-partai tersebut kedalam kelompok persatuan pembangunan tanggal 13 Maret 1970. Fusi partai Islam ini dilakukan pada tahun 1973 menjadi Partai Persatuan pembangunan. Akhirnya diterbitkan UU No. 3 tahun 1975 sebagai landasan hukum penyederhanaan partai politik  kedalam PPP, PDI, dan Golkar.[41]
            Bagi pemerintah dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut diharapkan agar partai-partai politik dan Golkar benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan. Ketiga kekuatan sosial politik ini memiliki asas, tujuan serta hak dan kewajian yang sama. Dengan demikian ruang gerak ketiga organisasi sosial politik ini dipolakan dari atas sesuai dengan konsideran undang-undang tersebut.
            Dari proses kelahirannya terlihat adanya usaha dari pemerintah untuk mengatur partai politik sampai begitu jauh, sehingga menimbulkan kesan bahwa seakan-akan partai tidak lagi mempunyai kedaulatan. Partai serba diatur yang akhirnya mengurangi arti kebebasan bagi partai politik. Pengembangan ideologi sosial dan politik kemudian diarahkan kepada ideologi tunggal Pancasila  sebagai sumber dari segala sumber hukum ( TAP MPRS No. ll / 1978 ).  Selain itu Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan sosial dan politik pada tahun 1983, yang dilanjutkan dngan penetapan UU No. 3 dan No. 8 tahun 1985 tentang asas tunggal.
            Disamping pembinaan kelembagaan politik diatas , kehidupan masyarakat diatur dan diarahkan atas landasan dan strategi kebijaksanaan yang serupa. Oleh karena, maka seluruh kekuatan aparatur negara dikelompokkan dalam satu wadah yang hanya loyal kepada negara. Kemudian dibentuklah Korps Pegawai Repubilk Indonesia ( KORPRI ) sebagai satu-satunya wadah bagi pegawai negeri pada tahun 1971 melalui keputusan Presiden No. 82/ 1971.[42]disamping hal tersebut, kehidupan rakyat dirahkan untuk tidak terlibat langsung dalam mekanisme kehidupan politik melalui proses depolitisasi dan deparpolisasi pedesaan melalui kebijaksanaan “ massa mengambang “.[43]
            Dalam upaya mengarahkan kehidupan masyarakat yang luas khususnya berkaitan dengan kehidupan sosial umat Islam maka dibentuk berbagai badan sosial. Badan tersebut antara lain Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) tahun 1975.[44]Selain itu sebelumnya juga sudah dibentuk Dewan Masjid Indonesia tahun 1972 dan Pendidikan Tinggi dakwah Islam  Indonesia tahun 1969. [45]  Interaksi antar umat beragama diarahkan dalam suatu wadah forum dialog sebagai wadah pengembangan kerukunan dan toleransi kehidupan beragam. Pemerintah melalui Departemen Agama juga mengeluarkan beberapa peraturan khusus yang menyangkut bidang pendidikan, hukum dan penyelenggaraan ibadah haji. Disamping hal-hal tersebut diatas, interaksi sosial umat khususnya komunikasi dan sosialisasi ajaran Islam seperti kegiatan ceramah, khutbah, pengajian-pengajian diatur dan diarahkan untuk tidak menjadikan masalah politik sebagai pokok pembahasan. Pengaturan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agama No. 44 ahun 1978, No. 70 tahun 1978, dan No. 7 tahun 1978.[46]
            Kebijaksanaan lain dari pemerintah Orde Baru dan dimensi yang terpenting adalah komitmen mereka terhadap modernisasi. Pada dasarnya komitmen kepada modernisasi ini disamping merupakan pilihan yang dianggap strategis, juga sengaja dirancang untuk mendapatkan dukungan  dan legitimasi politik rakyat. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai upaya menarik dukungan negara-negara barat atau investor asing untuk memberikan bantuan bagi pelaksanaan pembangunan di masa awal Orde Baru.
            Belajar dari kegagalan Orde Lama yang sangat mengutamakan orientasi ideologis bagi pembangunan. Orde Baru menempuh pendekatan yang berorientasi pada program. Ketidakstabilan politik yang menyebabkan kehancuran ekonomi di masa Orde Lama , dianggap sebagai dampak dari pertantangan ideologis yang lahir dari kebijaksanaan politik sebagai panglima. Akibatnya semua aspek non-politik, seperti pembangunan ekonomi, industrialisasi atau pemenuhan kebutuhan rakyat terabaikan.[47]
            Untuk itu pemerintah Orde Baru berusaha meyakinkan rakyat dan para pendukungnya bahwa masa depan Indonesia haruslah bebas dari politik yang berdasarkan pada ideologi. Konflik ideologi dianggap sebagai warian masa lalu yang harus disingkirkan. Sebagai gantinya aparat birokrasi dan intelektual yang mendukung Orde  Baru  mengajukan argumen tetang perlunya pembentukan suatu masyarakat yang bebas dari konflik ideologis dan memprioritaskan pembangunan ekonomi.      
            Bila ditelusuri dari berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah Orde Baru sejak memegang kendali pemerintah, maka dapat diketahui bahwa penekanan pada stabilitas nasional merupakan ciri khasnya. Pelembagaan politik dalam dalam hal ini merefleksikan pendekatan keamanan dan kecenderungan monolitik. Sebagai akibatnya, terjadi pelemahan tingkat partisipasi politik  dari rakyat, terutama karena partai politik sebagai jalur penyaluran aspirasi politik kurang dapat mengartikulasikan kepentingan politik rakyat. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan partai politik kurang begitu efektif dan partai politik sering dilanda konflik. Ketidak-efektifan kepemimpinan dan sering terjadinya konflik internal merupakan akibat dari kompetisi elit partai yang mencari dukungan dari pemerintah.  Rekayasa politik yang menampilkan pendekatan keamanan dan kecenderungan monolitis selama  Orde Baru telah menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya sumber legitimasi.
            Dengan melemahnya peranan partai politik , masyarakat kurang mempunyai akses kedalam arena pengambilan keputusan baik di lembaga legeslatif maupun eksekutif. Kebutuhan masyarakat akan demokrasi akhirnya tidak tersalurkan dengan baik. Masyarakat hanya menjadi obyek dari pemerintah yang tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan kepentingannya.  Harapan masyarakat untuk menyalurkan kepentingannya yang  tersumbat melalui partai politik ini membuat organisasi kemasyarakatan merupakan salah alternatif  bagi  rakyat untuk mengarikulasikan kepentingannya. Organisasi kemasyarakatan  mempunyai peranan yang penting dalam memperjuangkan kepentingan dari umat.

Hubungan Muhammadiyah Dengan Pemerintah Orde Baru

Sejak pembersihan terhadap PKI yang melakukan pemberontakan pada tanggal 30  September 1966, pemerintah Orde Baru segera mengembangkan birokrasi dan menyusun rencana perancanaan pembangunan 25 tahun secara bertahap yang terbagi dalam mekanisme lima tahunan. Konsep pembangunan ini dikenal dengan pembangunan nasional  sebagai koreksi terhadap pola pembangunan pemerintah sebelumnya. Dalam perkembangannya birokrasi pemerintah secara efektif mengendalikan semua sektor kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan.
            Konsep dasar pembangunan nasional menempatkan ekonomi sebagai prioritas utama dengan titik berat pembangunan pertanian dan industri. Stabilitas politik merupakan kerangka utama pembangunan seperti yang tertuang adalam GBHN. Oleh karena itu , sepanjang pemerintahan Orde Baru, penataan infra-struktur politik menempati posisi utama gerak pembangunan. Stabilitas politik merupakan bangunan dasar pembangunan bidang lainnya, sehingga seluruh kegiatan pembangunan dapat diarahkan untuk terciptanya stabilitas politik tersebut. Dengan demikian politik diharapkan dapat dicapai stabiltas nasional dan terjaminnya keamanan bangsa.
            Untuk mencapai maksud tersebut, maka pemerintah menetapkan garis kebijaksanaan politik. Prioritas utama kebijaksanaan tersebut adalah menghapuskan pertentangan ideologi sosial dan politik. Dalam menghadapi pemberdayaan ideologi Pancasila. Dalam usaha memasyarakatkan budaya politik yang sesuai dengan demokrasi Pancasila, pemerintah bersama ABRI menciptakan sesuatu kekuatan politik diluar partai politik yang ada. Golkar ditempatkan sebagai tatanan sipil pemerintah Orde Baru bersama ABRI sebagai modal dasar pembangunan politik.[48]
            Sebagaimana terjadi dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, sejak masa kemerdekaan telah timbul konflik ideologi sosial politik antara pemerintah dan umat Islam serta beberapa kekuatan  sosial politik lainnya. Konflik tersebut menyangkut masalah dasar  negara. Dalam perkembangannya terjadi konflik ideologi antara Islam dengan Pancasila.
            Umat Islam disamping merupakan komunitas sosial yang paling besar, juga mempunyai ideologi sosial dengan kemampuan potensial menggerakkan umat secara efektif. Pemerintah Orde Baru setelah hancurnya PKI, kemudian menetapkan umat Islam, khususnya partai politik dan organisasi Islam, sebagai sasaran utama pembinaan dan pengarahan pembangunan politik.[49]
            Peralihan dari Orde Lama ke Ode Baru ini menjadikan umat Islam terutama dari golongan modernis yang notabene orang Muhammadiyah yang selama demokrasi terpimpin mengalami marginalisasi akibat politik Nasakom yang dijalankan  presiden Soekarno berusaha untuk memunculkan kembali partai politik. Peran serta umat Islam secara umum dan Muhammadiyah khususnya dalam menumbangkan Orde Lama menjadi dasar bagi tokoh-tokoh Muhammadiyah untuk memunculkan partai  Masyumi.
            Usaha untuk membentuk partai politik Islam yang baru dikalangan muslim modernis ini datang dari Muljadi Djojomartono, mantan  menteri urusan sosial, dan beberapa  pemimpin Muhammadiyah, termasuk Lukman Harun. Mereka mencoba menghidupkan lagi  Partai Islam Indonesia (PII), yang pernah didirikan oleh pemimpin Muhammadiyah pada tahun 1938. Usaha dari Muljadi Djojomartono ini mengalami kegagalan karena ada desakan dari kelompok modernis lainnya yang berusaha menuntuk rehailitas politik bagi partai Masyumi. Usaha merehabilitasi  Masyumi ini dilakukan oleh sejumlah pemimpin Masyumi setelah dibebaskan dari penjara oleh rezim Orde Baru.[50]
            Sejak Masyumi dibubarkan pada tahun 1960 hingga runtuhnya demokrasi terpimpin, Muhammadiyah pada khususnya dan kalangan umat Islam modernis pada umumnya kehilangan saluran politik formal  yang menampung aspirasi kepentingan mereka. Muhammadiyah dihadapkan pada tiga pilihan pada awal Orde Baru, yaitu : pertama, melanjutkan perjuangan merehabiltasi Masyumi, kedua, berubah menjadi patai politik, dan ketiga, membentuk partai Islam baru yang memiliki kesamaan orietasi ideologi seperti Masyumi. Akhirnya Muhammadiyah memilih alternatif ketiga dengan ikut membidani lahirnya Partai Muslimin Indonesia ( Parmusi ) pada tanggal 7 April 1967.  Piagam pembentukan Parmusi ditandatangani oleh 16 oganisasi Islam yang tergabung dalam Badan Koordinasi Amal Muslim ( BKAM ), Muhammadiyah termasuk didalamnya. Pemerintah melalui SK Presiden Soeharto No. 70 tahun 1968, menyetujui Parmusi yang dipimpin oleh Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun ( keduanya dari  Muhammadiyah) yang masing-masing sebagai ketua dan sekretaris.[51]
            Pilihan Muhammadiyah untuk membentuk partai Islam baru ini setelah usaha untuk merehabilitasi partai Masyumi  mengalami penolakan dari pemerintah. Penolakan pemerintah untuk merehabilitasi Masyumi karena pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa sejumlah pemimpin Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI pada tahun 1958. Alasan lainnya untuk menolak  merehabilitasi  Masyumi adalah dengan disetujuinya rehabilitasi bagi Masyumi maka berarti menghidupkan gerakan masyumi baru, dimana gerakan politik ini akan menjadi ancaman yang serius bagi politik pemerintah Orde  Baru.
            Parmusi berkembang pesat karena banyak aktivis politik Muhammadiyah yang mulanya aktif  di Sekber Golkar berpindah ke Parmusi. Pada tanggal 2-7 November Parmusi mengadakan muktamar di Malang, Jawa Timur. Dalam muktamar ini Mohammad Roem ( tokoh Masyumi ) terpilih sebagai ketua umum Parmusi, dengan mengabaikan saran pemerintah agar jangan menampilkan tokoh Masyumi  sebagai pimpinan partai. Akhirnya pemerintah menolak untuk mengangkat Mohammad Roem sebagai ketua umum Parmusi. Muktamar Parmusi ini akhirnya memilih Djarnawi Hadikusumo dan Lukman  Harun sebagai ketua dan sekretaris umum Parmusi seperti SK Presiden No. 70/ 1968.[52]
            Pada tanggal 5 Oktober 1970 terjadi kudeta terhadap yang Parmusi pimpinan Djarnawi Hadikusumo ini  oleh J. Naro dan Imron Kadir . Mereka mengumumkan pimpinan Parmusi tandingan dengan J. Naro sebagai ketua umum dan Imron Kadir sebagai sekretaris. Kudeta yang dilakukan oleh Naro ini dengan alasan pimpinan Parmusi terlibat dalam oposisi menentang pemerintah. Kudeta kepemimpinan Parmusi oleh Naro yang ikut direkayasa oleh pemerintah membuahkan kemelut di tubuh Parmusi.[53]
            Kemelut dalam tubuh Parmusi  yang berlarur-larut ini mengakibatkan pemerintah campur tangan dengan menerbitkan SK presiden no. 77 tahun 1970 tertanggal 10 November 1970 yang menetapkan pimpinan baru Parmusi dibawah ketua umum H.M.S. Mintareja dan sekretaris Sulastomo.[54]Pimpinan Parmusi yang baru ini akhirnya merecal Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun dari DPRGR/ MPRS pada bulan Januari 1971. Atas dasar konflik kepentingan seperti inilah yang kemudian membuat Muhammadiyah memutuskan untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun, melalui muktamar ke-38 Ujung Pandang pada 1971.
            Muktamar Muhammadiyah ke-38 ini memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak mau terlibat lagi dalam politik praktis, bersikap netral dan tidak berhubungan  dengan parpol manapun. Dengan keputusan ini maka Muhammadiyah kembali ke khittah awalnya sebagai gerakan sosial keagamaan yang berbasis pada strategi kultural. Perubahan ini nampak jelas karena adanya trauma yang dialami oleh Muhammadiyah sebagai akibat dari keterlibatannya dalam politik praktis melalui Masyumi dan Parmusi.
            Alasan lainnya yang mendorong perubahan orientasi Muhammadiyah untuk tidak terjun ke poltik praktis adalah keluarnya Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 6 tahun 1970 sebagai implementasi dari undang- undang ( UU ) No. 2 tahun 1970 mengenai kewajiban Pegawai Negeri Sipil  ( PNS ) untuk hanya memiliki loyalitas tunggal. Terbitnya PP ini jelas mempersempit ruang gerak anggota Muhammadiyah yang aktif di partai politik, khususnya Parmusi dan kemudian Partai Persatuan Pembangunan ( PPP ) setelah adanya fusi empat partai politik Islam pada tahun 1973.[55]   Sejak tahun 1971 inilah Muhammadiyah secara perlahan tapi pasti meninggalkan panggung politik dan berubah orientasi dengan pengelolaan amal usaha dan dakwah kemasyarakatan. Kerjasama  Muhammadiyah dengan pemerintah semakin terjalin dengan akrab. Perkembangan ini membantu Muhammadiyah dalam perluasan gerakan sosial-keagamaannya dengan orientasi  gerakan amaliah yang cukup meluas dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Hal ini dilakukan oleh Muhammadiyah berdasarkan kenyataan pada waktu itu, yakni terjadinya berbagai perubahan sosial, ekonomi dan politik yang cukup rumit yang berkaitan dengan faktor eksternal berupa kebijakan pemerintah Orde Baru yang cenderung merugikan umat Islam.
            Pasca Muktamar ke-38 ini , Muhammadiyah lebih banyak menggunakan forum lobi dengan pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan umat. Beberapa kasus kontroversi Racangan Undang-unadang ( RUU ) yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam adalah RUU Perkawinan 1973, RUU Ormas 1985, RUU Sistem Pendidikan Nasional 1988, dan RUU peradilan 1989. Pada tahun 1973 pemerintah mengajukan RUU perkawinan yang memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat. RUU ini mendapat reaksi keras dari umat Islam karena dinilai sebagian isinya bertentangan dengan ajaran Islam seperti sahnya perkawinan lewat kantor catatan sipil dan bolehnya perkawinan diantara pasangan yang berbeda agama.[56]Setelah ada penentangan dari umat Islam , termasuk Muhammadiyah didalamnya, akhirnya DPR mengesah RUU Perkawinan  menjadi UU perkawinan pada Desember 1973 dengan menghapus semua pasal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam.
            Rancangan Undang-undang organisasi kemasyarakatan diajukan pemerintah kepada DPR tahun 1982 dan baru berhasil disahkan pada tahun 1985 menjadi UU No.8  tahun 1985 setelah terjadi perdebatan yang sengit dikalangan masyarakat. Inti dari UU ini adalah semua organisasi sosial politik dan kemasyarakatan harus menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal. Hubungan antara Muhammadiyah dengan pemerintah terjadi ketegangan berkaitan dengan pemberlakuan Undang-undang keormasan ini. Muhammadiyah termasuk organisasi Islam yang alot untuk menerima asas Pancasila, dibanding organisasi Islam lainnya seperti NU yang telah menerima asas tunggal pada tahun 1984.
            Muhammadiyah menjadi  agak radikal dalam melakukan tawar menawar politik berkaitan dengan asas Pancasila. Muhammadiyah akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada Muktamar ke –41 di Surakarta tahun 1985 setelah melalui proses politik yang panjang dan melelahkan. Pada muktamar ke –41 ini  Muhammadiyah menerima asas Pancasila untuk dimasukkan dalam asas organisasi dengan catatan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa dipahami sebagai tauhid.[57]Amien Rais  yang dalam muktamar tersebut terpilih sebagai ketua  majelis Tabligh  PP Muhammadiyah mengibaratkan Indonesia sebagai bus dan Pancasila sebagai tiketnya. Muhammadiyah tidak mungkin naik bus Indoesia kalau tidak mempunyai tiket Pancasila.[58]
            Setelah Muhammadiyah menerima asas Pancasila, hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah Orde Baru kembali lancar. Pasca pemberlakuan asas tuggal ini hubungan pemerintah dengan umat Islam secara umum dan dengan Muhammadiyah khususnya mengalami perubahan menuju hubungan yang saling pengertian timbal balik  serta pemahaman diantara kedua belah pihak. Pemerintah semakin menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang tidak bisa di kesampingkan dan pemerintah menyadari bahwa upaya membatasi peran Islam dalam kebijakan pembangunan merupakan tindakan yang kontra produktif.
            Dinamika politik pada akhir 80-an membawa implikasi bagi terjadinya perubahan politik umat Islam. Penerimaan asas Pancasila dan tampilnya “ Islam kultural ‘’ yang ditopang oleh kelas menengah neo-santri  menampilkan fenomena politik yang berbeda dengan masa sebelumnya. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka penghadapan dan kompetisi ideologis antara pancasila dengan Islam mulai berakhir.  Penerimaan ini juga telah menutup peluang untuk menampilkan gagasan “ negara Islam” . Dengan asas Pancasila ini juga semakin meminggirkan “ Islam  politik “ , yakni komitmen perjuangan yang mementingkan simbol-simbol Islam , seperti negara Islam, dasar negara Islam , dan partai politik Islam.
            Hubungan pemerintah dengan umat Islam mengalami perubahan dari antagonis pada awal pemerintah Orde Baru menjadi akomodatif pada akhir tahun 80-an. Perubahan kebijakan politik pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam ini semakin nyata dengan lahirnya ICMI pada bulan Desember 1990. kelahiran ICMI ini oleh banyak pengamat sebagai peristiwa monumental perubahan sikap pemerintah yang akomodatif.[59]Sejak tahun 1990 inilah hubungan antara umat Islam dengan pemerintah Orde Baru makin mesra dan merupakan era “ bulan madu” antar umat Islam dengan pemerintah Orde Baru.
            Muhammadiyah termasuk salah satu organisasi yang ikut berada dalam paradigma akomodasi Islam dengan penguasa Orde Baru. Muhammadiyah sangat mendukung terbentuknya ICMI.  Hal ini seperti diungkapkan oleh wakil ketua PP Muhammadiyah, Lukman Harun. Dia menyatakan , “ Muhammadiyah mendukung sepenuhnya. Kalau ada anggota Muhammadiyah yang yng masuk dalam ICMI , itu urusan mereka masing-masing “.[60]Dalam struktur keanggotaan ICMI  terlihat jelas bahwa kalangan Islam modernis lebih mendominasi dibanding kalangan Islam tradisionlis. Di kalangan Islam modernis , tentu saja Muhammadiyah yang paling mendominasi.
            Muhammadiyah termasuk kelompok Islam yang akomodatif terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru, dimana Muhammadiyah menjalin hubungan yang sangat erat dengan pemerintah. Banyaknya tokoh Muhammadiyah yang menjadi pegawai negeri dan aktif di Golkar, menurut Haedar Nashir menjadi fakta bahwa Muhammadiyah bersikap akomodatif dan sulit mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah.[61]Pada masa kepemimpinan K. H. A.R. Fachruddin dan K. H. A. Azhar Basyir , Muhammadiyah bersikap koopertif-akomodatif.
            Sikap Muhammadiyah yang kooperatif-akomodatif ini pada perkembangannya bahkan cenderung subordinat ketika berhadapan dengan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat ketika pada Maret 1992, delegasi PP Muhammadiyah yang berjumlah delapan orang menghadap presiden Soeharto di Istana Bina Graha. Delegasi PP Muhammadiyah dipimpin oleh K.h. A. Azhar Basyir ( ketua PP Muhammadiyah ) yang didampingi oleh tujuh fungsionaris, yaitu : Ismail Suny ( wakil ketua ), M. Amien Rais (wakil ketua ), A. Watik Pratiknya (sekretaris), Ramli Thaha ( sekretaris), Prodjokusumo ( bendahara), Sutrisno Muhdam ( ketua bidang pendidikan ), dan A. R, Fachruddin ( pembantu umum ). Mereka menghadap presiden dalam rangka silaturahmi dan melaporkan hasil-hasil sidang Tanwir 1992 yang hasilnya antara lain menyukseskan pemilu 1992 untuk menghadapi SU MPR 1992. Dalam pertemuan ini Muhammadiyah juga menyampaikan keinginan untuk mencalonkan kembali presiden Soeharto dalam masa jabatan 1993-1998.[62]

Manuver – Manuver Sosio-Politik Muhammadiyah

Muhammadiyah mulai menunjukkan kecenderungan kearah politik ( highly politized) sejak Amien Rais menjadi ketua PP Muhammadiayah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh tanggal 6-10 Juli 1995.  Dalam Muktamar ini Amien Rais memperoleh suara lebih dari 90 %. Sebelum jadi ketua PP Muhammadiayah , Amien Rais sebenarnya telah ditetapkan sebagai pejabat ketua PP pada sidang Pleno Muhammadiyah di Jakarta pada bulan Juli 1994. Sidang pleno ini dilakukan berkenaan dengan wafatnya ketua PP Muhammadiyah Ahmad Azhar Basyir pada tanggal 28 Juni 1994. Pada sidang Tanwir Muhammadiyah di Surakarta 29-31 Desember 1994, Amien Rais dikukuhkan sebagai ketua definitif PP Muhammadiyah hingga diselenggarakannya Muktamar Muhamammdiyah di Banda Aceh Juli 1995.[63]
            Tampilnya Amien Rais sebagai ketua PP Muhammdadiyah sejak Muktamar ke-43 di Banda Aceh ini membawa pergeseran orientasi Muhammadiyah dari sosial ke politik, walaupun Muhammadiyah masih berada dalam jalur strategi kultural. Pergeseran orientasi Muhammadiyah ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terutama dipengaruhi oleh pribadi dari ketua PP Muhammadiyah yang konsern dengan permasalahan nasional, khususnya soal ketidakadilan dan kesenjangan yang menimpa rakyat kecil, maka Amien Rais banyak melakukan kritik sosial kepada pemerintah. Merebaknya peristiwa korupsi, kolusi, dan nepotisme ( KKN ) yang banyak merugikan rakyat kecil menjadi kritik Amien Rais terhadap pemerintah. Kritik sosial dan ide yang cemerlang yang selalu didengungkan oleh Amien Rais misalnya masalah suksesi kepemimpinan nasional, skandal nasional, tobat nasional dan lain-lainnya. Meskipun tidak mengatasnamakan Muhammadiyah, segala ide Amien Rais tersebut mendapat respon yang baik dari orang Muhammadiyah maupun orang Indonesia lainnya.
            Perbedaan orientasi selama masa kepemimpinan Amien Rais ini dari masa sebelumnya dipengaruhi oleh gaya kepemimpinana dan latar belakang dari Amien Rais sebagai seorang ahli ilmu politik. Latar belakang pribadinya  sebagai figur yang terbuka ( inklusif ), vokal, dan mempunyai pandangan keluar ( outward looking ) telah membawa Muhammadiyah cenderung lebih berpolitik dibanding masa sebelumnya. Amien Rais terkenal sebagai tokoh yang terbuka dan terus terang. Apa yang ia katakan maka itulah yang ia yakini sebagai kebenaran.[64]Tugas intelektual menurutnya adalah selalu berfikir dan selalu punya kepedulian kepada masyarakat, sehingga harus selalu menegakkan kebenaran dan keadilan.
            Faktor eksternal yang mempengaruhi berubahnya orientasi Muhamamdiyh adalah sikap dan kebijakan pemerintah Orde Baru  yang semakin akomodatif  terhadap umat Islam sejak awal 1990-an. Kelahiran ICMI pada tahun 1990 yang dipimpin oleh Menristek B. J. Habibie, yaitu orang kepercayaan Presiden Soeharto , dan berangkatnya presiden Soeharto bersama keluarganya untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1991 menjadi tanda membaiknya hubungan antara penguasa Orde Baru dengan umat Islam.
            Budaya politik yang dikembangkan oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya dan masih relevan adalah doktrin amar ma’ruf nahi munkar. Berdasarkan doktrin ini maka selama kepemimpinan Amien Rais, Muhammadiyah lebih condong mengartikulasikan kesisi nahi munkarnya. Amien Rais lebih mengedepankan sikap nahi munkar dengan memberikan kritik kritik pada pemerintah, terutama berbagai kebijakan yang merugikan rakyat kecil. Dalam bidang ekonomi misalnya Amien Rais melakukan kritik keras berkaitan dengan Busang dan Freeport. Dalam bidang politik , Amien Rais berbicara tentang suksesi kepemimpinan nasional, kritik keras terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat. Bentuk lain dari politik yang dilakukan oleh Amien Rais adalah kesiapannya untuk dicalonkan sebagai presiden dalam proses sosialisasi ide “ suksesi 1998 : suatu keharusan “. Amien mengulirkan sebuah ide “ keharusan suksesi “, dimana terdapatnya suatu calon alternatif sebagai presiden dan ia merasa layak sebagai calon alternatif presiden.[65]
            Dalam perjuangan berkaitan dengan kepentingan umat Islam, Muhammadiyah menggunakan tauhid sebagai filosofinya. Muhammadiyah memegang teguh tauhid  sebagai doktrin sentral. Seluruh gerakan dan kehidupan Muhammadiyah harus berdasarkan pada tauhid. Kalimat tauhid yang tercantum dalam bendera Muhammadiyah menjadi sumber kehidupan Muhammadiyah . Menurut Amien Rais, selain harus tetap memegang teguh tauhid aqidah, Muhammadiyah harus memepertajam tauhid sosialnya.[66]Tauhid sosial yang digulirkan oleh Amien Rais pada masa orde Baru tersebut terutama keadaan masa itu penuh dengan dengan monopoli, konglomerasi yang cenderung bertentangan dengan keadilan sosial, dan adanya jarak yang tajam antara lapisan kaya dan miskin di masyarakat.
            Dalam menjalankan doktrin tauhid sosial ini menurut Amien Rais yang pertama dilakukan adalah menegakkan keadilan. Muhammadiyah harus menjadi kekuatan bangsa yang terus berupaya melenyapkan setiap fenomena ketidakadilan sosial. Implementasi atau “ pembumian “ tauhid sosial harus didukung oleh empat doktrin yang juga hidup dikalangan warga Muhammadiyah. Keempat doktrin tersebut adalah : pertama, pencerahan umat yakni Muhammadiyah harus membebaskan umatnya dari kebodohan dan keterbelakangan. Kedua, menggembirakan amal salih yakni Muhammdiyah harus memobilisasi umat untuk melakukan amal salih. Ketiga, kerjasama untuk kebajikanya. Muhammadiyah boleh bekerja sama dengan semua pihak demi tercapainya tujuan baik bersama, terutama untuk menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran. Keempat, tidak berpolitik praktis yaitu Muhammadiyah tidak mengambil jalan pintas mengikuti politik praktis dengan membangun kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.[67]Alasan Muhammadiyah tidak berpolitik praktis karena berdasarkan pengalaman menunjukkan bila kepentingan politik masuk kedalam sebuah organisasi non-politik , maka organisasi tersebut menjadi rawan perpecahan.
            Berkaitan dengan Muhammadiyah tidak berpolitik praktis ini, maka ada gagasan dari Amien Rais agar Muhammadiyah melakukan politik kualitas tinggi (high politic ) bukan politik kualitas rendah ( low politics ). Definisi high politics ini menurut Amien Rais mempunyai tiga ciri, yaitu : pertama, setiap jabatan politik merupakan amanah dari masyarakat yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Kedua, setiap jabatan politik harus dipertanggungjawabkan, dan ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan dengan prinsip ukhuwwah ( brotherhood), yaitu persamaan diantara umat manusia  yang melampui batas-batas etnik, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan, dan sebagainya. Lawan dari high politics adalah low politics yang oleh Amein Rais diberi contoh “ politik Machiavellis “ dengan konotasi politik yang tidak sehat, penuh hipokrisis, kelicikan, dan sebagainya. Dalam buku The Prince karya Machiavelli menurut Amien Rais terdapat gagasan yang jauh dari ciri-ciri high politics, yaitu  1) kekerasan, brutalitas, dan kekejaman merupakan cara-cara yang perlu diambil oleh penguasa, 2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak. Musuh tidak boleh diberi kesempatan untuk bangkit. 3) dalam menjalankan kehidupan plitik seorang penguasa harus dapat bermain seperti binatang buas, terutama seperti singa dan anjing pemburu.[68] Menurut Amien Rais hanya politik kualitas tinggi yang dapat berjalan paralel dan harmonis dengan tujuan besar dakwah. Politik kualitas tinggi  inilah yang dikehendaki oleh Islam.[69]
            Pada perkembangannya definisi high politics ini oleh Amien Rais disebut sebagai politik yang luhur, adiluhung dan berdimensi moral secara etis. Sedangkan low politicsmerupakan politik yang terlalu praktis dan cenderung nista. Contoh high politics menurut Amien Rais adalah sikap yang tegas  terhadap segala bentuk korupsi, mengajak masyarakat untuk memerangi ketidakadilan, menghimbau pemerintah untuk mengelindingkan proses demokrasi dan keterbukan. Muhammadiyah harus memainkanhigh politics agar keputusan-keputusan politik nasional bermuatan moral dan etis.[70]
            High politics ini kemudian menjadi landasan Muhammadiyah dalam berperilaku politik dan menjalankan manuver-manuver sosial-politiknya. Manuver sosial politik Muhammadiyah, dalam hal ini adalah yang dikeluarkan oleh organisasi (PP Muhammdiyah ) secara kolegial atau kolektif maupun manuver yang dilakukan oleh elit ketua PP Muhammadiyah yaitu Amien Rais, selama manuver tersebut tidak bertentangan dengan kepribadian Muhammadiyah dan dapat diterima oleh sebagian besar warga Muhammadiyah. Segala pandangan, ucapan, dan tindakan Amien Rais sebagai ketua PP Muhammadiyah dapat dianggap sebagai reprsentasi Muhammadiyah secara umum.
            Perkembangan hubungan Muhammadiyah dalam politik dimulai ketika Amien masih menjadi wakil ketua PP Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Ahmad Azhar Basyir. Dalam sidang tanwir Muhammadiyah di Surabaya bulan Desember 1993 Amien Rais menyampaikan gagasan suksesi kepemimpinan nasional 1998. Walaupun tidak sampai menjadi keputusan sidang tanwir, isu suksesi telah membuat Muhammadiyah semakin dikenal luas. Hal ini disebabkan oleh isu suksesi ini dipublikasikan oleh beberapa media massa nasional seperti Jawa Pos, Kompas, dan Republika, disamping media massa lokal seperti Kedaulatan  Rakyat dan Suara Merdeka. Isu suksesi menjadi wacana publik yang hangat pada waktu itu, sehingga ada beberapa seminar atau diskusi ilmiah yang membahas tentang isu suksesi teresebut, contohnya dialog pembangunan politik di Jakarta pada tanggal 9 Februari yang menghadirkan Amien Rais , seminar “ Arus bawah dan implikasinya terhadap kehidupan politik nasional “ di UMY tanggal 10 Februari dengan pembicara Amien Rais, dan ceramah umum Sri Bintang Pamungkas di Universitas Nasional ( Unas ) Jakarta pada tanggal 7 April 1994 dengan tema  “ peluang demokratisasi dalam menghadapi suksesi nasional : perspektif terhadap kekuatan poitik di Indonesia”.[71]
            Manuver sosial- politik Muhammadiyah semakin tegas, berani, dan keras terhadap pemerintah Orde Baru sejak tahun 1996. Pada 1 September 1996  Muhammadiyah mengadakan tabligh akbar Komando Kesiapan Angkatan Muda Muhammadiyah  ( KOKAM ) di Surabaya yang dihadiri lebih dari 100.000 warga dan simpatisan Muhammadiyah. Dalam tabligh akbar ini Amien Rais sebagai ketua PP Muhammadiyah menyampaikan pernyataan yang isinya Muhammadiyah mengakui bahwa pemerintah Orde Baru berhasil membangun dan mengisi kemerdekaan, tetapi masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Muhammadiyah berharap pemerintah Orde Baru berjalan lurus, berorientasi pada kepentinagan rakyat, dan mampu memberantas kolusi dan korupsi. Apabila pemerintah Orde Baru komitmen melaksanakan semuanya itu, maka Muhammadiyah akan terus mendukung Orde Baru, tetapi bila pemerintah Orde Baru tidak melaksanakan semua komitmen tersebut maka Muhammadiyah hanya mendoakan mudah-mudahan Pemerintah Orde Baru dilindungi oleh Allah SWT.[72]
            Memasuki tahun 1997 manuver-manuver sosial-politik Muhammadiyah lebih banyak dilakukan oleh elit Muhammadiyah, terutama ketua PP Muhammadiyah Amien Rais. Manuver sosial- politik Amien Rais ini bahkan telah mengarah pada politik praktis dan bersinggungan dengan kekuasaan, misalnya kritik pada kasus Busang dan Freeport yang isinya banyak merugikan bangsa Indonesia oleh perusahaan asing tersebut. Kritik Amien Rais ini berakibat pada pengunduran dirinya dari jabatan ketua dewan pakar ICMI  dalam bulan Februari 1997.[73]Pada bulan September 1997, Amien Rais melakukan dua manuver politik, yaitu ide dialog nasional yang berisi ajakan pada anggota DPR/ MPR yang akan dilantik pada 1 Oktober 1997 agar lebih terbuka menampung aspirasi rakyat, terutama dalam rangka menjaring dan menyaring calon presiden masa bakti 1998-2003. Kedua, ketika diskusi di YLBHI Oktober 1997 Amien Rais membuat pernyataan yang menghebohkan, yaitu siap dicalonkan sebagai presiden RI. Pernyataan yang merupakan polititical accident ini mempunyai dampak yang luas.[74]Hal ini terjadi karena Amien Rais merupakan representasi dari Muhammadiyah, sebuah organisasi keagamaan dengan massa yang banyak atau besar. Selain itu Amien Rais juga sudah menjadi tokoh nasional yang tidak saja milik Muhammadiyah.
            Mulai tahun 1998, melalui manuver ketua PP Muhammadiyah maupun pernyataan dan himbauan kelembagaan, Muhammadiyah semakin memperkuat tuntutan kepada pemerintah agar melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter  serta krisis kepercayaan yang melanda sebgaian besar Asia, termasuk Indonesia pada tahun 1998 ini, maka Amien Rais mengusulkan dua langkah reformasi. Pertama, reformasi jangka pendek, yaitu penanganan krisis misalnya pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter dalam rangka memulihkan rupiah dan kepercayaan para investor terhadap Indonesia. Pemerintah juga harus menyediakan keperluan pokok dengan harga terjangkau  oleh masyarakat dan menghentikan segala kolusi, korupsi dalam kebijakan ekonomi  Indonesia. Kedua, reformasi jangka panjang berupa pembinaan daya tanggap dan fleksibilitas ekonomi dan politik jangka panjang dengan pengembangan sumber daya manusia.[75]
            Manuver Muhammadiyah secara kelembagaan terjadi pada tanggal 15 Februari, yakni pada tabligh akbar  dan apel KOKAM yang diselenggarakan oleh gerakan pemuda Muhammadiyah wilayah Yogyakarta di stadion Mandala  Krida. Dalam acara tersebut Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais menyampaikan pidato politik yang berisi harapan, himbauan dan pesan kepad 1000 anggota DPR /MPR . Inti dari harapan, himbauan, dan pesan Amien Rais adalah reformasi atau perubahan.-perubahan yang jelas, konkrit dan sunguh-sungguh untuk memperbaiki kebobrokan. Arah yang dituju dari reformasi adalah reformasi politik berupa pimpinan nasional hasil SU MPR RI 1998 dengan harapan terciptanya pemerintah yang bersih dan berwibawa.[76]
            Pada 19 April 1998, PP Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan yang ditanda tangani oleh Amien Rais dan Watik Pratiknya selaku ketua dan sekretaris PP Muhammadiyah.  Pernyataan tersebut dapat diringkas dalam tujuh poin, yaitu : pertama, prihatin bahwa krisis moral dan keteladanan telah berkembang menjadi krisis moneter dan ekonomi serta krisis kepercayaan terhadap penyelengaraan negara masih terus berlangsung. Kedua, upaya reformasi politik, ekonomi dan hukum secara konstitusional, gradual dan damai harus terus dilakukan . Ketiga, cita-cita terwujudnya pemerintah yang bersih dan berwibawa perlu diupayakan dengan langkah reformasi yang substantif untuk memebersihkan penyakit kronis berupa KKN. Keempat, seruan kepada pemerintah untuk menangani krisi multi-dimensi dengan upaya pemecahan yang konkrit, pasti dan mendasar. Kelima, harapan agar ABRI bersikap positif, kreatif, dan mendukng upaya-upaya reformasi . Keenam, seruan agar seluruh lapisan masyarakat tawakkal dan berdoa kepada Tuhan, dan ketujuh,  seruan agar keluarga besar  Muhammadiyah tetap melaksanakan tugas-tugas dakwah amar ma’ruf nahi munkar.[77]
            Pada hari-hari menjelang jatuhnya kekeuasaan presiden Soeharto, secara kelembagaan Muhammadiyah bergabung dalam wadah Badan Koordianasi Umat Islam ( BKUI ) yang ikut menghimbau agar presiden Soeharto mundur demi kemaslahatan umat. Selain itu, elit dan massa Muhammadiyah yang dimotori oleh ketua PP Muhammadiyah, terlibat secara langsung dalam people’s power mahasiswa yang menumbangkan presiden Soeharto dari kekuasaannya. Amien Rais secara pribadi menjadi tokoh oposisi nasional yang efektif  melalui majelis amanat rakyat atau MARA yang dibentuk beberapa hari sebelum tumbangnya Soeharto. Amien Rais selaku juru bicara Mara melakukan tiga manuver, yaitu : pertama, meminta Soeharto mundur, kedua, meminta agar aparat keamanan tidak menggunakan kekerasan untuk membubarkan demontrasi mahasiswa yang merupakan anak-anak bangsa sendiri. Ketiga, meminta kepada seluruh komponen masyarakat, terutama mahasiswa dan pemuda untuk tidak melakukan hal-hal yang sifatnya kerusuhan.[78]

a. Proses Runtuhnya Kekuasaan Orde Baru (Strategi Mobilisasi Sosial Sosio-Politik Muhammadiyah)

Krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia dan sebagian besar Asia sejak bulan Juli 1997 telah membuat kepercayaan rakyat kepada Orde Baru semakin berkurang. Krisis moneter dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 ini mengakaibatkan kemunduran ekonomi yang negatif dengan tingkat inflasi yang tinggi, ditambah dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang meningkat. Krisis ekonomi yang diawali dengan dengan krisis moneter berupa merosotnya nilai rupiah secara tajam pada bulan Juli 1997 mengakibatkan berbagai dampak yaitu : pertama, stabilitas nilai tukar  rupiah terganggu. Kedua, merosotnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia, padahal investor asing merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia selama masa Orde Baru. Ketiga, besarnya utang swasta yang jatuh tempo, sehingga semakin menekan nilai rupiah terhadap dolar. Keempat, melemahnya kepercayaan para pelaku ekonomi dan masyarakat umum terhadap kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan krisis dengan kebijakan yang tegas. Kelima, meningkatnya inflasi diperparah dengan musim kemarau panjang yang menyebabkan tertundanya panen. Keenam, meningkatnya pengangguran dan memperbesar tingkat kemiskinan masyarakat yang menurut Badan  Pusat Statistik atau BPS  pada bulan Juli 1998 kemiskinan masyarakat Indonesia sampai pada 79, 4 Juta .[79]
            Dalam perkembangannya krisis ekonomi ini menjadi krisis multi dimensi yang dipicu oleh semakin pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Krisis ini berkembang menjadi krisis politik, hukum, sosial, dan budaya. Krisis politik ditandai dengan lemahnya legitimasi terhadap pemerintah Orde Baru, terutama terpilihnya kembali Soeharto dan terbentuknya kabinet pembangunan Vll pada SU MPR bulan Maret 1998. Krisis hukum terutama berkaitan dengan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani kasus yang berkaitan dengan merajalelalnya KKN yang dilakukan oleh para pejabat negara (elit politik), disamping itu krisis sosial-budaya ini juga berkaitan dengan kemiskinan yang semakin meningkat.
            Krisis multidimensi ini telah mendorong munculnya gerakan protes sosial dalam bentuk berbagai demontrasi mahasiswa dan kerusuhan massa yang memberikan tekanan yang kuat pada pemerintah. Gelombang demontrasi mahasiswa mulai marak pada bulan Maret 1998, bersamaan dengan diadakannya SU MPR 1998. terpilihnya Soeharto dan terbentuknya Kabinet Pembangunan VII yang penuh dengan KKN semakin memperlemah legitimasi pemerintah Orde Baru. Pembentukan kabinet yang penuh dengam nuansa KKN ini dapat dilihat dengan munculnya nama orang- orang yang dekat dengan Soeharto, seperti Siti Hardianti Rukmana ( Tutut ), Bob Hasan, dan R. Hartono. Harapan agar pemerintah membentuk kabinet yang jujur, bersih, dan tidak korup semakin jauh dari kenyataan dan menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat, terutama mahasiswa dan para cendekiawan.
            Amien Rais yang menjadi tokoh utama dalam proses reformasi ini memberi tenggang waktu enam bulan bagi Kabinet Pembangunan VII untuk mengatasi krisis. Ada lima kriteria yang ditawarkan oleh Amien Rais untuk mengukur kinerja kabinet mampu mengatasi krisis, yaitu : pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar, kedua, harga beras dan sembilan bahan kebutuhan pokok ( sembako ), ketiga, tingkat inflasi, keempat, angka pengangguran atau pemutusan hubungan kerja ( PHK ), dan kelima, frekuensi gejolak-gejolak sosial. Menurut Amien Rais jika dalam waktu enam bulan kelima kriteria tadi naik atau meningkat gawat, maka pemerintah harus menyerahkan mandatnya kembali kepada MPR.[80]
            Masyarakat yang sudah jenuh dengan kepemimpinan Soeharto dan menginginkan pergantian kepemimpinan nasional ini tidak didengar oleh MPR pada SU MPR 1998, bahkan pada SU  1998 ini, MPR kembali memilih Soeharto untuk menjadi presiden. Presiden Soeharto salah dalam membaca “ tanda-tanda jaman “, bahwa ia telah terlalu lama berkuasa, sehingga mengalami kelelahan yang luar biasa. Soeharto tidak mau menerima masukan dari 19 peneliti LIPI pada Januari 1998 yang dalam penelitiannya menunjukkan bahwa rakyat membutuhkan pemimpin yang baru.[81] Menurut Amien Rais  pimpinan nasional yang telah menguras tenaga dan pikiran sejak 1967, secara alami pada tahun 1998 tersebut sudah exhausted  ( sangat lelah ), ibarat kendaran sudah harus turun mesin. Bila terus memaksa pimpinan nasional sampai 2003, menurut Amien Rais maka bangsa  Indonesia telah berbuat aniaya atau dalam bahasa agama disebut sebagai dzalim, sehingga pada tahun 1998 harus ada suksesi.[82]
            Rakyat yang menginginkan pergantian nasional dalam SU MPR 1998 tidak didengar oleh parlemen. Anggota MPR yang banyak diisi oleh keluarga pejabat tidak dapat menyentuh ”nurani” aspirasi rakyat. Akibat suara rakyat tidak didengar oleh anggota parlemen ini, akhirnya rakyat melancarkan gerakan ekstraparlemen. Berbagai gelombang demontrasi rakyat, khususnya mahasiswa, terus dilakukan. Gelombang demontrasi ini dimulai sejak menjelang SU MPR Maret 1998.
            Memasuki Mei 1998 gelombang demontrasi mahasiswa senakin marak. Dukungan terhadap gerakan reformasi mahasiswa ini terus mengalir dari berbagai kalangan mulai dari buruh, dosen, dan berbagai tokoh masyarakat. Gelombang demontrasi mahasiswa terjadi diberbagai kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, Bogor, Lampung, dan Yogyakarta. Gelombang demontrasi yang awalnya sebagai kekuatan moral  atau moral force  berubah menjadi gerakan dengan kekuatan rakyat atau people’s power.
            Gelombang demontrasi akhirnya mengakumulasi setelah empat mahasiswa Trisakti gugur pada demontrasi tanggal 12 Mei 1998.  Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulia , Heri  Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan yang gugur akibat ditembak oleh oknum aparat keamanan. Tragedi Trisakti ini kemudian disusul dengan timbulnya kerusushan massa selama dua hari berturut-turut ( 13 dan 14 Mei 1998 ) di Jakarta, Medan, dan Solo. Masyarakat menjarah simbol-simbol KKN yang dikonotasikan dengan harta benda milik keturunan Tionghoa. Masyarakat menganggap bahwa keturunan Tionghoa, terutama konglomeratnya banyak diuntungkan oleh kebijakan ekonomi Orde Baru. Dalam kerusuhan di Jakarta ini mengakibatkan kerugian fisik senilai kira-kira Rp. 2,5 trilyun dan korban yang tewas sekitar 288 jiwa serta luka traumatik yang menimpa warga keturunan Tionghoa.[83]
            Pasca tragedi Trisakti ini gerakan mahasiswa semakin menguat dan mencapai puncak dengan menduduki gedung DPR/ MPR mulai tanggal 18 Mei 1998.  Gedung DPR / MPR  “ diduduki “ oleh beberapa elemen organisasi mahasiswa dengan tujuan menuntut  Presiden Soeharto turun dari kursi Kepresidennya. Aksi pendudukan gedung DPR/ MPR oleh mahasiswa didukung oleh berbagai kalangan masyarakat seperti aktivis HAM dan LSM serta beberpa pengusaha. Adanya aksi pendudukan gedung DPR / MPR ini menjadikan dukungan elit politik yang selama ini menjadi orang kepercayaan Presiden Soeharto semakin berkurang. Pada tanggal itu juga ketua DPR/ MPR Harmoko dan didampingi oleh seluruh wakil ketua DPR/MPR menyampaikan pernyataan : “ demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR baik ketua maupun para wakil ketua, mengharapkan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana”.[84]
            Pada hari Selasa 19 Mei 1998, Presiden Soeharto bertemu dengan beberapa tokoh utama dan cendekiawan Islam, yaitu Abdurrahman Wahid (ketua  umum PBNU), Emha Ainun Nadjib (budayawan),Nurcholish Madjid (direktur yayasan Paramadina), Ali Yafei (ketua MUI), M. Malik Fadjar dan Sumarsono  (Muhammadiyah), Yusril Ihya Mahendra (ahli Hukum Tatanegara UI), Cholil Badawi (MI), dan Ma’ruf  Amin serta Ahmad Bagdja (PBNU). Dalam pertemuan dengan eberapa ulama dan tokoh masyarakat serta pimpinan ABRI ini Presiden Soeharto menyatakan tidak akan mundur sampai terpilih presiden baru hasil SU MPR. Pernyataan Soeharto ini disampaikan sebagai reaksi atas pernyataan Ketua DPR/MPR  Harmoko yang meminta dirinya untuk mundur. Dalam pertemuan tersebut Pak Harto juga menyatakan akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas untuk menyusun UU Pemilu, UU Kepartaian, Susunan  dan Kedudukan DPR/MPR dan DPRD, UU Anti monopoli, UU anti Korupsi, dll yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Presiden juga menyatakan akan melaksanakan pemilu secepatnya berdasarkan UU pemilu yang baru , melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VII diganti dengan Kabinet Reformasi, dan meminta ABRI agar menjaga keselamatan dan kewaspadaan nasional serta menjaga keamanan dan ketertiban.[85]
            Rencana Soeharto untuk membentuk Komite Reformasi mengalami kegagalan setelah kurang mendapat tanggapan dari beberapa tokoh yang diminta duduk di komite tersebut. Peristiwa yang lebih menyakitkan lagi bagi Soeharto adalah pernyataan dari 14 menteri  Kabinet Pembangunan VII yang intinya menolak ikut serta dalam kabinet baru hasil resuffle. Keempat belas menteri tersebut adalah : Akbar Tandjung, A. M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita. Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawardaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng.[86]Pernyataan dari keempat belas menteri ini semakin memperkuat bahwa Soeharto mulai ditinggal oleh orang kepercayaannya.
            Pada 20 Mei 1998 sekitar pukul 21.00 WIB, Nurcholis Madjid yang diminta Soeharto untuk menjadi ketua Komisi Reformasi menolak tawaran tersebut. Penolakan Nurcholis Madjid ini semakin mempersulit keadaan Soeharto, sehingga ia pasrah dan akan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Soeharto menyatakan bahwa, “kalau Cak Nur  yang moderat saja tak mau, tak ada pilihan kecuali saya mundur“.[87]Soeharto benar-benar merasakan sudah tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga mengundurkan diri merupakan langkah yang terbaik yang harus ia lakukan.
            Hari Kamis tanggal 21 Mei 1998, sekitar pukul 08.30 WIB presiden Soeharto menerima seluruh pimpinan DPR di Istana Negara. Presiden Soeharto akan memenuhi saran dari pimpinan dan fraksi-fraksi DPR untuk mengundurkan diri. Peristiwa yang sangat bersejarah bagi kehidupan perpolitikan Indonesiapun terjadi pada tangggal 21 Mei 1998 ini. Sekitar pukul 09. 05 WIB, Soeharto menyatakan pemberhentian dirinya sebagai presiden, selanjutnya dilakukan pengambilan sumpah Wakil Presiden B. J. Habibie sebagai Presiden RI ke-3 mengantikan kedudukan Soeharto.[88]
            Dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini menjadi tanda bagi hancurnya rezim Orde Baru  yang telah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Habibie menjadi pemimpin masa transisi menuju terbentuknya pemerintah baru hasil pemilu 1999. Habibie diberi waktu sampai Desember 1999 untuk mempersiapkan pemilu 1999 untuk mendapatkan pemerintah yang baru yang mendapat legitimasi dari rakyat.
BAB IV
POTRET POLITIK MUHAMMDIYAH
 MASA REFORMASI ( 1998- 2000 )

Manuver Sosio-Politik Muhammadiyah Di Akhir Era Orde Baru (Strategi Kultural Sosio-Politik Muhammadiyah).

 Muhammadiyah mulai menunjukkan kecenderungan kearah politik (hihgly politized) sejak Amin Rais ketua PP Muhammadiyah dalam Mukhtamar Muhammadiyah Ke-43 di Banda Aceh, tanggal 6-10 Juli 1995. Dalam Mukhtamar ini Amin Rais memperoleh suara  lebih dari 90%. Sebelum menjadi ketua PP Muhammadiyah, Amin rais sebenarnya telah ditetapkan sebagai pejabat ketua PP pada sidang pleno Muhammadiyah di Jakarta pada bulan Juli 1994. Sidang pleno ini dilakukan berkenaan dengan wafatnya ketua PP Muhammadiyah Ahmad Azhar Basyir pada tanggal 28 Juni 1994. Pada sidang Tanwir Muhammadiyah di Surakarta tanggal 29-31 Desember 1994, Amin Rais dikukuhkan sebagai ketua definitif PP Muhammadiyah hingga diselenggarakannya Mukhtamar Muhammadiyah di Banda Aceh Juli 1995.34
Tampilnya Amin Reafis sebagai ketua  Muhammadiyah sejak Mukhtamar ke-43 di Banda Aceh ini membawa pergeseran  orientasi    Muhammadiyah      dari sosial ke politik, walaupun Muhammadiyah masih berada dalam  jalur strategi kultural. Pergeseran orientasi Muhammadiyah ini dipengaruhi oleh   faktor internal dan eksternal. Faktor internal terutama dipengaruhi oleh        pribadi dari ketua PP Muhamadiyah yang konsen dengan permasalahan    nasional, khususnya oleh ketidakaadilan dan kesenjangan  yang  menimpa  rakyat
Pada tanggal 21 Mei 1998 sejarah perpolitikan Indonesia mengalami perubahan dari Orde Baru ke Reformasi. Presiden Soeharto yang baru dua bulan mengucapkan sumpah dihadapan MPR sebagai Presiden RI periode 1998- 2003, pada tanggal 21 Mei 1998 ini meletakkan jabatannya setelah didesak oleh masyarakat, terutama mahasiswa. Setelah Soeharto dengan tegas menyatakan dirinya berhenti menjadi Presiden, maka Habibie sebagai Wapres langsung naik menggantikannya sebagai Presiden. Ternyata naikknya Habibie sebagai Presiden mengundang banyak kontroversi dikalangan masyarakat luas, yaitu ada yang setuju dan ada pula yang tidak.
            Dukungan terhadap Habibie datang dari dalam dan luar negeri. Abdurrahman Wahid  yang selama ini berseberangan dengan Habibie menyatakan dukungannya. Amien Rais, Nurcholish Madjid  dan Emil Salim bersikap bijaksana. Mereka memberikan kesempatan kepada Pemerintahan Habibie sebagai pemerintah transisi yang bertugas mengantarkan kepada terbentuknya pemerintahan yang baru. Dari luar negeri pemerintah Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Habibie dan merasa lega dengan peralihan kekuasaan di Indonesia yang berlangsung damai, walaupun sebelumnya sempat terjadi berbagai kerusuhan.
            Pada sisi lainnya ada masyarakat yang tidak setuju dengan pemerintahan Habibie, terutama mahasiswa dan beberapa tokoh masyarakat seperti Kemal Idris dan kawan-kawannya yang tergabung dalPlease do not use illegal software…am Barisan Nasional atau Barnas. Ribuan mahasiswa tetap bertahan di gedung DPR/ MPR dengan mengumandangkan yel-yel anti pemerintah Habibie. Mereka menuntut reformasi total dan mendesak sidang istimewa ( SI ) MPR untuk memilih Presiden dan wakilnya. Di tempat yang lainnya penolakan terhadap pemerintah Habibie datang dari berbagai tokoh nasional. Lewat pernyataan keprihatinan 21 Mei 1998 yang ditandatangani oleh Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, dan kawan-kawanya menuntut reformasi paripurna. Meraka menganggap pelantikan Habibie pada tanggal 21 Mei 1998 oleh Mahkamah Agung di Istana Negara tersebut dinilai tidak konstitusional.[89]
            Keabsahan pemerintah Habibie yang banyak dipersoalkan oleh banyak kalangan ini tidak menyurutkan semangat Habibie. Dari awal masa pemerintahannya ia mencoba untuk meyakinkan masyarakat bahwa dirinya benar-benar akan melakukan reformasi sebagaimana tuntutan dari masyarakat. Dalam pidato pertamanya sebagai Presiden ia menyampaikan komitmennya pada aspirasi masyarakat untuk melakukan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang dengan memulihkan kehidupan social ekonomi, meningkatkan kehidupan politik yang demokratis, mengikuti tuntutan jaman generasinya, dan menegakkan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.[90]
            Langkah- langkah politik yang diambil oleh Habibie untuk menunjukkan komitmennya terhadap reformasi di mulai dengan memasukkan orang-orang dari berbagai kalangan seperti mantan aktivis, organisasi sosial politik, praktisi dan intelektual ke dalam kabinet reformasi yang dibentuknya. Dalam rangka reformasi dibidang hukum Habibie mulai dengan memberikan amnesti dan abolisi kepada sejumlah tahanan politik Orde Baru.[91]Kebijakan dari Habibie lainnya adalah mencabut Permenpen no. 1 tahun 1984 tentang SIUPP. Dalam keputusan tersebut Menpen Yunus Yosfiah menyatakan bahwa SIUPP tetap ada, akan tetapi proses penerbitannya lebih sederhana dan pencabutan SIUPP ditiadakan. Keputusan Menpen yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juni 1998 ini bertujuan untuk menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat, terutama melalui media.
            Masa reformasi merupakan angin segar bagi kehidupan perpolitikan Indonesia. Kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan dari rasa takut mulai berkurang. Angin keterbukaan itu semakin berhembus kencang ketika Habibie mengunjungi Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mengalami sakit di rumahnya di Ciganjur Jakarta Selatan pada tanggal 3 Juni 1998. pada kesempatan ini Habibie memberi peluang kepada semua pihak untuk berkiprah dalam dunia politik. Ia menyatakan, “ semua pihak boleh mendirikan partai  politik baru asalkan tetap berasaskan Pancasila dan UUD 1945, dan tidak mempersoalkan  suku, agama , ras,dan antar golongan atau SARA”.[92]
            Setelah Habibie memberikan berbagai kebijakan politik terutama dalam hal kebebasan mendirikan partai politik , maka di Indonesia seperti terserang epidemi partai politik. Beberapa organisasi yang sebelumnya bernaung dibawah organisasi politik masa Orde Baru berubah menjadi partai politik  seperti Partai Majelis Kerja Gotong Royong ( MKGR ), Partai Kristen Indonesia ( Parkindo ), dan Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ). Banyak partai baru berdiri seperti Partai Pekerja  Indonesia ( PPI ), Partai Nasional Indonesia ( PNI ), Partai Perempuan Indonesia ( PPI ), Partai Daulat Rakyat ( PDR ), dan lain-lainnya.[93]
            Dalam tubuh umat Islam pun muncul banyak partai politik. Pada tanggal 23 Juli 1998 di rumah Gus Dur di Ciganjur dideklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa  atau PKB yang berbasiskan massa NU. Pada tanggal 26 Juli 1998 dideklarasikan Partai Bulan Bintang atau PBB di halaman Masjid agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Partai lainnya yang berbasis massa Islam antara lain Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia atau SUNI pimpinan Abu Hasan, Partai Masyumi Baru pimpinan Ridwan Saidi, Partai Umat Islam atau PUI pimpinan Deliar Noer, Partai Keadilan atau PK dengan tokohnya Nur Mahmudi dan Hidayat Nurwahid, dan Partai Amanat Nasional atau PAN yang didirikan oleh Amien Rais pada tanggal 23 Agustus 1998.
            Setelah Habibie memberikan kebijakan-kebijakan politiknya tersebut, banyak orang mempertanyakan apakah dia menginginkan kekuasaanya bisa bertahan sampai 2003 atau benar-benar tulus untuk memenuhi tuntutan rakyat untuk sesegera mungkin melaksanakan pemilu secara jurdil. Walaupun Habibie sudah memberikan kebijakan politik yang reformis masyarakat tetap menuntut terbentuknya pemerintah baru. Masyarakat menuntut diadakannya Sidang Istimewa ( SI ) MPR untuk memilih Presiden yang baru, sehingga ada yang pro dan kontra dengan usulan adanya Sidang Istimewa.
            Mengenai kesempatan yang diberikan kepada Habibie untuk mengantarkan bangsa Indonesia menuju pemerintahan yang bebas KKN, menurut Amien Rais cukup enam bulan atau paling lama satu tahun. Dalam tenggang waktu tersebut Pemerintahan Habibie dan DPR supaya bekerja keras untuk menyiapkan UU politik mengenai kepartaian yang baru, susunan dan kedudukan DPR/ MPR yang baru, serta menyelenggarakan pemilu secepatnya. Senada dengan Amien Rais, Nurcholish Madjid  memberikan kesempatan kepada Habibie agar dalam waktu enam bulan sudah bisa menyelenggarakan pemilu yang jurdil.[94]Pernyataan dari kedua tokoh nasional ini diberikan dalam menanggapi tuntutan dari berbagai elemen masyarakat yang menghendaki diadakannya SI MPR untuk memperoleh pemerintahan yang baru.
            Dalam susasana tarik menarik antara yang pro dan kontra diadakannya SI MPR, akhirnya SI MPR 1998 jadi dilaksanakan pada tanggal 10 samapai 13 November 1998. Amien Rais dan Nurcholish Madjid yang sebelumnya tidak seteju dengan adanya SI MPR ini akhirnya menerima SI. Keduanya mendukung diadakannya SI MPR, jika dalam sidang tersebut mengagendakan mekanisme pemilu 1999 yang dipercepat dan dengan jaminan pemilu yang demokratis. Tap MPR yang dihasilkan hanya akan mengatur soal perubahan jadwal pemilu dari 2002 menjadi Mei 1999, tanpa memasuki substansi RUU pemilu yang masih dalam pembahasan publik, sehingga SI MPR tidak menjadi ajang pemaksaan kehendak terhadap proses pembahasan RUU tersebut. Dalam SI MPR yang banyak menguras tenaga dan mengorbankan banyak nyawa ini ditutup Presiden Habibie pada tanggal 13 November 1998. Sidang Istimewa ini menghasilkan beberapa ketetapan diantaranya adalah : 1) TAP MPR No. VIII /1998 tentang pencabutan TAP MPR No. IV/ 1984 tentang referendum yang membentengi UUD 1945 dari orang -orang yang ingin merubahnya , 2) TAP MPR No. XVII/1998 tentang pencabutan TAP MPR No. II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P4 ) dan penetapan tentang penegasan Pancasila sebagai dasar negara, 3) TAP MPR No. XIII/ 1998 pembatasan masa jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua kali, 4) TAP MPR NO. XI/ 1998 tentang penyelengaraan negara yang bersih dan bebas KKN.[95]
Dalam SI MPR ini juga menghasilkan TAP MPR NO. XIV/1998 tentang perubahan dan tambahan TAP MPR NO. III/1998 tentang pemilu. Berdasarkan TAP MPR NO. XIV ini terjadi perubahan jadwal pemilu dari tahun 2002 menjadi bulan Mei  atau selambat-lambatnya bulan Juni 1999, sehingga tugas Habibie adalah menyelengarakan pemilu secepatnya yaitu tahun 1999 untuk memperoleh pemerintah yang baru sesuai dengan semangat reformasi.
Pemilu pada masa reformasi diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 dan dalam pemilu 1999 ini diikuti oleh 48 partai politik. Secara umum penyelenggaraan pemilu 1999 berjalan dengan baik. Tidak terdapat gangguan yang berarti dalam proses pelaksanaan pemilu, meskipun waktu yang tersedia untuk persiapan pemilu hanyalah empat bulan terhitung mulai akhir Januari sampai dengan pencoblosan pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu 1999 berjalan relatif baik, bahkan lebih baik dibanding masa Orde baru. Tidak ada ketegangan pada saat pencoblosan dan penghitungan suara disetiap  Tempat Pemungutan Suara ( TPS ).[96]Pemilu 1999 yang semula diperkirakan penuh dengan kekacauan dan kekerasan akibat banyaknya partai politik yang menjadi peserta pemilu, akhirnya berjalan secara damai.
Agenda nasional pasca pemilu 1999 adalah Sidang Umum MPR yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober 1999. Sidang Umum 1999 ini dibagi dalam beberapa bagian. Tahap pertama yaitu 1-4 Oktober 1999 membahas tentang tata tertib, pembentukan fraksi dan pemilihan pimpinan MPR. Tahap berikutnya berlangsung mulai 6 sampai 14 Oktober 1999 yang membahas tentang amandemen UUD 1945 ,GBHN, dan ketetapan-ketetapan MPR oleh badan pekerja MPR. SU kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan pertanggungjawaban Presiden Habibie dan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden  pada tanggal 20 Oktober 1999. Sidang Umum MPR 1999 ditutup pada tanggal 21 Oktober 1999 dengan acara pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih.[97]
Dalam SU MPR ini Amien Rais terpilih sebagai ketua MPR setelah dalam pemilihan mengalahkan Matori Abdul Djalil. Selain itu dalam SU MPR ini Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua DPR setelah mengalahkan Soetardjo Soerjogoeritno dari fraksi PDIP.  Dalam pemilihan presiden, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI masa jabatan 1999-2004 melalui voting tertutup mengalahkan Megawati. Dari 691 anggota MPR yang hadir 373 memilih Gus Dur dan 313 memilih Megawati, sedangkan yang yang abstain sebanyak 5 suara. Langkah Gus Dur ini semakin terbuka setelah pidato pertanggungjawaban Habibie yang dibacakan di depan SU MPR pada tanggal 14 Oktober 1999 mendapat reaksi keras . Beberapa  fraksi yang menolak pertanggungjawaban Habibie adalah FPDIP, FKB, FKKI, dan FDKB, sedangkan yang menerima pertanggungjawaban Habibie adalah Fraksi Daulat Umat ( FDU ),FTNI/Polri dan F Golkar, sedangkan  fraksi lainnya seperti Fraksi Reformasi tidak jelas sikapnya. Dalam voting pertanggungajawaban Presiden Habibie ini, dari 690 anggota MPR yang hadir, 355 menolak dan 322 menerima, sedangkan yang lainnya abstain  dan tidak sah suaranya.[98]Setelah pertanggungjawabannya ditolak ini Habibie berkata :  “ sebagai seorang demokrat, saya harus menghargai aspirasi terbanyak. Tak ada alasan maju kembali, “. Seperti ditirukan oleh Akbar Tandjung. Habibie khawatir, kalau terus maju, gelombang demontrasi akan bertambah besar.[99]
Mundurnya Habibie dari kompetisi memperebutkan jabatan Presiden ini telah membuka peluang Gus Dur. Posisi Megawati pun menjadi lemah karena sebagian besar anggota FKB menyalurkan suaranya ke Gus Dur. Tampilnya Gus Dur sebagai Presiden ini tidak lepas dari peran Amien Rais yang telah mempelopori terbentuknya “ poros tengah “ dan mencalonkan Gus Dur sebagai Presiden. Gerakan Amien Rais ini mendapat dukungan dari partai berbasis massa Islam seperti PPP, PKB, PBB, PAN, dan PK. Dengan terpilihnya Gus Dur ini maka berakhirlah masa jabatan dari Presiden Habibie sebagai masa transisi.
B. Politik Muhammadiyah Masa Reformasi : Fenomena Dalam Partai Amanat Nasional
Habibie yang dilantik sebagai Presiden setelah pengunduran diri Soeharto dinyatakan sebagai Presiden masa tansisi. Pada masa Habibie ini banyak perubahan dilakukan seperti membebaskan tapol dan napol, memberi kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai politik, dan mempersiapkan Pemilu 1999. Pada masa Habibie dengan diberikannya kebebasan untuk mendirikan partai politik membuat banyak partai politik baru bermunculan, dan salah satu partai yang muncul tersebut adalah Partai Amanat Nasional ( PAN ).
         Kelahiran dan perkembangan PAN menunjukkan dinamika baru, terutama hubungan yang bersifat personal dan secara tidak langsung ada kaitannya dengan Muhammadiyah. Pada kasus PAN ini terjadi kontroversi karena ketua umum PAN adalah Amien Rais yang sebelumnya adalah ketua PP Muhammadiyah hasil Muktamar ke- 43 tahun 1995 di Banda Aceh.
         Kelahiran PAN meskipun tidak keluar langsung dari organisasi Muhammadiyah , tetapi secara moral dan kesejarahan terkait dengan ijtihad politik hasil Tanwir Muhammadiyah bulan Juli 1998 di Semarang. Pada waktu menjelang dan selama sidang tanwir di Semarang ini terdapat dua isu yang merupakan kenyataan sosiologis yang ada dalam Muhammadiyah.[100]Pertama, Amien Rais yang waktu itu sebagai ketua PP Muhammadiyah telah muncul menjadi tokoh utama gerakan reformasi yang memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden  pada tanggal 21 Mei 1998. Amien Rais bahkan dinobatkan sebagai bapak reformasi Indonesia, setelah sejak tahun 1993 isu suksesi dan berbagai kritik serta langkah politiknya menimbulkan perubahan peta politik Orde Baru sampai akhirnya menimbulkan gerakan reformasi. Amien Rais merupakan tokoh nasional pertama yang berani menyatakan perlunya suksesi pada pemerintah Orde Baru ketika Orde Baru masih kuat, yaitu sejak tahun 1993.
         Isu yang kedua yang ada sesuai dengan kenyataan sosiologi yang ada dalam Muhammadiyah pada waktu itu adalah sebagai tindak lanjut untuk mendorong kereta reformasi ke arena yang lebih konkret dalam memasuki era baru pasca Orde Baru yang memerlukan pemerintah baru yang memperoleh legitimasi rakyat. Sejumlah tokoh Muhammadiyah dari berbagai wilayah di Indonesia menghendaki ketua PP Muhammadiyah itu agar mendirikan partai politik baru dan kemudian memproyeksikan tokoh ini untuk menjadi salah calon presiden Indonesia ke-4. Dukungan yang luas dari elit dan warga Muhammadiyah ini mencerminkan tanggungjawab Muhammadiyah terhadap gerakan reformasi.
         Dalam perkembangannya setelah melalui berbagai proses politik yang berliku-liku, akhirnya Amien Rais sampai pada ketetapan untuk mendirikan partai politik yang baru, yaitu Partai Amanat Nasional. Berdasarkan hal tersebut, maka pada pleno PP Muhammadiyah bersama ketua- ketua pimpinan wilayah Muahammadiyah se Indonesia di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1998 diputuskan untuk memberi izin kepada Amien Rais untuk melepaskan jabatan ketua PP Muhammadiyah dan selanjutnya memimpin PAN. Ketua PP Muhammadiyah kemudian dijabat oleh A. Syafi’I Maarif, sedangkan Amien Rais masih tetap di kepengurusan  sebagai anggota PP Muhammadiyah dan ketua Majelis Hikmah PP Muhammadiyah.[101]
         Walaupun PAN tidak lahir langsung dari organisasi Muhammadiyah, namun PAN tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan antara langkah Amien Rais  sebagai ketua PP Muhammadiyah dalam gerakan reformasi dengan dukungan sidang tanwir Muhammadiyah di Semarang dan sidang pleno  PP Muhammadiyah tanggal 22 Agustus 1998 di Jakarta. Secara de facto , mayoritas elit pimpinan Muhammadiyah hampir di seluruh tingkatan kepimpinan terlibat menjadi inisiator dan pengurus PAN dan sebagian besar warga Muhammadiyah menjadi basis pendukung utama PAN. Keberadaan PAN terkait dengan dinamika gerakan Muhammadiyah , sehingga berdasarkan kenyataan sosiologis ini maka ada kecenderungan kedekatan antara PAN dan Muhammadiyah dan membedakan dengan partai politik yang lainnya yang ada pada masa reformasi, walaupun secara organisasi Muhammadiyah tetap menjaga jarak yang sama dengan partai politik.
         Kedekatan antara PAN dengan Muhammadiyah dapat dilihat dari komposisi kepengurusan DPP PAN, dimana dalam kepengurusan DPP PAN tersebut banyak tokoh Muhammadiyah masuk didalamnya. Tokoh Muhammadiyah yang menjadi pengurus PAN antara lain Dawam Rahardjo, Sutrisno Muhdam, Imam Addaruqutni, Yahya Muhaimin, Abdurrahim Noer, Abu Su’ud, dan A. M. Fatwa.[102]Berdasarkan susunan kepengurusan DPP PAN ini dapat dilihat bahwa antara PAN dan Muhammadiyah terdapat suatu ikatan yang erat.
         Partai yang embrionya berawal dari Majelis Amanat Rakyat ( MARA ), sebuah perkumpulan dari kaum reformis dari berbagai latar belakang agama dan profesi pada bulan Mei 1998  yang menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Partai ini sebelumnya direncanakan diberi nama Partai Amanat Bangsa ( PAB ) dan akan dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998. Pergantian nama dari PAB ke PAN ini terjadi setelah dalam voting nama Partai Amanat Nasional ( PAN ) lebih banyak dibanding nama Partai Amanat Bangsa dan Partai Amanat Rakyat. Menurut Samsurizal Panggabean ( salah seorang yang ikut mengodok PAN ), kata Nasional lebih dapat mencerminkan berbagai segmen masyarakat yang berada dibalik gerakan reformasi, dibandingkan dengan kata rakyat atau bangsa yang terlalu umum.[103]
         PAN dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Istora Senayan yang dihadiri sekitar 10.000 massa. Amien Rais yang baru saja melepaskan jabatannya sebagai ketua PP Muahammadiyah akhirnya terpilih sebagai  ketua umum PAN. Pada deklarasi PAN ini dihadiri oleh banyak simpatisan PAN dan sejumlah tokoh nasional yang ikit mendukung kelahiran PAN seperti Emil Salim, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Faisal Basri, A.M. Fatwa, Th. Sumartana, Frans M. Suseno, dan Dawam Rahardjo. Dalam deklarasi ini seakan-akan senayan milik Amien Rais, mulai dari pelataran Parkir Timur sampai dalam gedung bertebaran  bendera, ikat kepala, dan spanduk PAN serta potret dan buku tentang Amien Rais. Dalam pidato politiknya, Amien Rais  menegaskan kembali sikap partainya yang terbuka untuk semua golongan agama atau ras serta beberapa hal yang berkaitan dengan persoalan bangsa.[104]
         Dalam menghadapi hadirnya PAN ini dikalangan Muhammadiyah terdapat beberapa Pandangan dan sikap.[105] Beberapa pandangan dan sikap dari warga dan elit Muhammadiyah tersebut adalah : pertama, pandangan dan sikap warga  Muhammadiyah yang penuh semangat atau antusias untuk terlibat dalam partai politik ini. Pada umumnya warga dan elit Muhammadiyah diseluruh tingkatan mendukung, bahkan terlibat dalam kepenguruan PAN. Partispasi politik warga dan elit Muhammadiyah  yang tinggi pada waktu itu merupakan hal penting dalam dinamika politik. Hal ini terjadi karena reformasi menuntut konsolidasi demokrasi yang konkret melalui pelibatan diri dalam kegiatan politik. Pandangan dan sikap dari kelompok pertama ini diwakili oleh beberapa elit Muhammadiyah yang menjadi pengurus PAN seperti Sutrisno Muhdam, Abdurrahim Noer, Abu su’ud, dan Yahya Muhaimin.
         Kedua, pandangan dan sikap yang cenderung alergi atau phobia politik, yang menunjukkan kesan bahwa politik itu, lebih-lebih partai politik sebagai “ barang najis “ yang harus dijauhi dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang “ kotor “ dan memiliki ambisi kekuasaan yang berlebihan. Pihak yang kedua ini memiliki kesan penuh khawatir apabila Muhammadiyah bersentuhan dengan politik maka Muhammadiyah akan merugi, suram, dan terancam. Kelompok kedua ini pasif dalam menyikapi kehadiran PAN, baik  menyetujui namun tidak ingin secara terbuka atau mungkin cenderung menolak dengan diam atau menolak secra terbuka. Golongan kedua ini tumbuh karena memandang organisasi Muhammadiyah sebagai segala-galanya dan dianggap perlu diselamatkan dari kontaminasi politik yang kemungkinan dibawa PAN. Dalam kelompok kedua ini terdapat beberapa  orang yang lebih mendukung atau simpati terhadap partai lain diluar PAN. Pandangan dan sikap dari kelompok kedua ini diwakili oleh Dien Syamsuddin  dan  Lukman Harun.
         Ketiga, pandangan dan sikap yang cenderung moderat yang mencoba berdiri diantara sikap protagonis dan antagonis dari dua kutub pemikiran diatas. Bagi kelompok ketiga ini, baik turun ke partai politik maupun tetap di Muhammadiyah, keduanya tidak menjadi masalah. Hal yang paling penting bagi Muhammadiyah, baik yang di partai politik maupun tetap di Muhammadiyah adalah senantiasa menunjukkan atau memiliki keprihatinan, komitmen, dan keterpanggilan untuk memikirkan dan ikut menentukan jalan perkembangan politik sebagai wujud tanggungjawab kebangsaan. Adapun saluran dan pola yang dapat diambil Muhammadiyah untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik itu dapat dipilih dalam berbagai corak tanpa harus menjadi dan terlibat dalam partai politik. Politik sebagaimana bidang yang lainnya merupakan sesuatu yang sama-sama pentingnya dalam kehidupan ini. Orang mengurusi politik belum tentu baik, atau sebaliknya, semuanya tergantung pada niat, komitmen, tanggung jawab, cara dan out put yang dihasilkan dari proses keterlibatan yang dijalani tersebut. Pandangan dan sikap dari kelompok ketiga ini diwakili oleh A. Syafi’I Ma’arif.
         Dengan fenomena kehadiran PAN dan partai-partai politik pada era reformasi, Muhammadiyah kembali dihadapkan pada dilema organisasi sosial- keagamaan selama ini, yaitu terlibat secara langsung dalam dunia politik atau tidak. Dalam hubungannya dengan partai politik, terutama dengan PAN, Muhammadiyah terjebak dalam hubungan yang dilematis atau ambivalen. Di satu sisi, Muhammadiyah menyatakan secara legal organisatoris tidak ada hubungan sama sekali antara Muhammadiyah dengan PAN, namun disisi lain, ada hubungan kental yang bersifat emosional-psikologis. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengurus Muhammadiyah baik yang di pusat maupun di daerah yang terjun dalam PAN. Kelahiran PAN yang tidak terlalu jauh dengan diselenggarakannya sidang  Tanwir Muhammadiyah di Semarang tanggal 5-7 Juli 1998, dimana salah satu keputusannya adalah mengamanatkan PP Muhammadiyah untuk melakukan ijtihat politik demi kepentingan umat dan bangsa dengan mendirikan partai politik. A.M. Fatwa menyebut PAN sebagai hasil dari proses ijtihat politik dari tanwir Muhammadiyah yang merupakan forum musyawarah tertinggi dibawah muktamar.[106]
         Hubungan antara Muhammadiyah dengan PAN bersifat informal ketimbang formal. Hal ini sesuai dengan khittah Ujung Pandang 1971 yang menjaga jarak yang sama dengan organisasi politik manapun. Muhammadiyah tidak mensubordinasikan diri dengan PAN dan relatif bebas dari kontaminasi konflik yang keras dalam proses politik nasional. Tidak ada hubungan organisatoris atau struktural sama sekali antara Muhammadiyah dengan PAN. Walaupun demikian orang akan merasa kesulitan untuk menghilangkan kesan bahwa PAN itu sebagai “ partai Muhammadiyah “ . Hal ini terutama didasarkan pada sebuah realita bahwa SDM, sarana, dan prasarana, elit serta massa Muhammadiyah banyak yang terlibat dalam PAN.
         Patut disayangkan dalam Pemilu 1999 nasib PAN tidak terlalu baik. Berdasarkan hasil Pemilu 1999, PAN hanya menempati urutan ke-5 dengan memperoleh suara sekitar 7, 12 % dibawah PDIP,  Partai Golkar, PKB,dan PPP. Dalam Pemilu 1999 ini partisipasi warga Muhammadiyah sebagian besar suara diberikan kepada PAN, dan hanya sebagian kecil yang diberikan pada partai lainnya seperti PPP, Golakar, PBB, dan PK. Berdasarkan hal ini maka PAN bisa dianggap sebagai “ eksperimen politik “ dari Muhammadiyah.[107]  Walaupun dalam hal ini masih bisa dibantah oleh sebagian warga Muhammadiyah.
         Hasil Pemilu 1999 yang diumumkan KPU pada tanggal 26 Juli 1999 menunjukkan bahwa tidak ada mayoritas dalam Pemilu 1999. Sebagai pemenangnya adalah PDIP yang meraih 35,7 juta suara ( 33,74 %) dengan perolehan kursi 153. Partai Golkar memperoleh 23,7 juta suara ( 22, 44 % ) dengan memperoleh 120 kursi. PKB dengan13,3 juta suara ( 12, 61 % ) mendapatkan 51 kursi. PPP memperoleh 11,3 juta suara ( 10,71 % 0  mendapatkan 58 kursi, sedangkan PAN yang memperoleh 7,5 juta suara ( 7,12 % ) mendapatkan 34 kursi . Hasil Pemilu 1999 ini tidak ada kejutan yang berarti, kecuali tampilnya PDIP sebagai partai yang memperoleh suara terbesar dan kedudukan PAN sebagai partai terkecil dari lima besar. Meskipun PAN didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah , ternyata PAN tidak berhasil mengajak para anggota Muhammadiyah untuk memilih PAN dalam Pemilu 1999.[108]
         Hasil yang kurang memuaskan yang diperoleh PAN ini membuat beberapa agenda dan strategi politik yang sudah tersusun rapi harus ditinjau ulang. Amien Rais kemudian melakukan berbagai manuver politik agar tetap diperhitungkan sebagai pemeran utama. Manuver  Amien Rais dimulai sebelum SU MPR digelar, yaitu dengan mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh politik seperti Akbar Tandjung, Hamzah Haz, Alwi Shihab, Wiranto, dan B. J. Habibie. Menurut Amien Rais pertemuan dengan berbagai tokoh ini bukan untuk mengemis kursi buat PAN, melainkan agar dapat mengambil “ langkah- langkah yang tepat “. Langkah- langkah yang diambil oleh PAN diwujudkan dalam keputusan rapat pleno yaitu : pertama, PAN tidak akan mengambil inisiatif untuk mencalonkan Amien Rais sebagai presiden, kedua, calon presiden dalam SU MPR 1999 harus lebih dari satu orang, ketiga, tidak akan berkoalisi dengan partai manapun hingga SU MPR. PAN akan mengembangkan politik oposisi fungsional, yaitu berperan dalam parlemen meneruskan semangat reformasi.[109]
         Menjelang SU MPR digelar manuver politik Amien Rais adalah melakukan pertemuan dengan pimpinan PPP di Jakarta pada tanggal 16 Juli 1999. Dalam pertemuan ini disepakati untuk membentuk fraksi reformasi yang ditopang oleh partai- partai yang berbasis massa Islam seperti PPP, PAN, PBB, PK, PSII. Fraksi Reformasi atau oleh Amien Rais disebut sebagai poros tengah ini mencalonkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden. Pencalonan Gus Dur ini oleh Amien Rais disebut sebagai calon alternatif agar pertentangan politik agak mencair. Pencalonan Gus Dur ini menurut Amien Rais terjadi karena dalam SU MPR 1999 di khawatirkan akan terjadi kebuntuan politik akibat adanya dua kubu yang bersaing keras memperebutkan kursi Presiden, yaitu kubu Megawati dan kubu Habibie.
         Amien Rais menyatakan bahwa pencalonan Gus Dur ini merupakan jalan tengah akibat adanya pertentangan antar kedua kubu tersebut. Kedua kubu baik Megawati maupun Habibie menurut Amien Rais mengandung banyak masalah. Kubu Mega kurang disenangi oleh umat Islam, sedangkan kubu Habibie dianggap sebagai representasi dari status quo. Menurut Amien Rais dengan adanya poros tengah ini diharapkan kedua kubu segera sadar masih ada kekuatan lainnya yang lebih besar dari keduanya.[110] Poros tengah ini menurut Amien Rais muncul karena ada dua kekhawatiran , yaitu ; pertama, terjadinya penajaman polarisasi kubu Habibie dan Mega yang semakin muncul kepermukaan. Kedua, menjamin agar agenda reformasi berjalan dengan baik.[111]
         Kekompakan poros tengah dimulai ketika mereka menyelenggarakan pertemuan di  Ciganjur dua minggu sebelum SU MPR digelar. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh dari poros tengah seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Yusril Ihya Mahendra, Nur Mahmudi Ismail, dan Hamzah Haz. Dalam pertemuan ini juga mengundang tokoh dari PKB, Partai Golkar, dan PDIP, tetapi wakil PDIP tidak datang. Pertemuan di Ciganjur ini diteruskan dalam pertemuan di Apartemen Plaza Senayan, beberapa hari menjelang SU MPR di gelar.
         Beberapa tokoh yamg hadir dalam pertemuan diatas adalah ketua umum partai Golkar Akbar Tandjung, ketua umum PAN Amien Rais, deklarator PKB Abdurrahman Wahid, ketua umum PBB Yusril Ihya Mahendra, dan Presiden PK Nur Mahmudi Ismail. Ketua umum PPP dalam pertemuan ini tidak hadir, dan diwakilkan pada Zarkasih Nur, Faisal Baasir, dan Tosari Widjaya, sedangkan ketua umum PDIP juga tidak hadir dan diwakilkan kepada Syaifullah Yusuf, calon legeslatif dari PDIP. Selesai  pertemuan , Akbar Tandjung yang ditunjuk sebagai juru bicara menjelaskan bahwa pertemuan ini merupakan kelanjutan dari pertemuan di rumah Gus Dur. Dalam pertemuan di rumah Gus Dur tujuh pimpinan partai politik sepakat membentuk tim kecil yang beranggotakan tujuh belas orang, yang dikenal sebagai tim tujuh. Tugas tim tujuh ini adalah merancang perubahan peraturan tata tertib, tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden, serta menyusun agenda dalam SU MPR. Tim kecil yang merupakan gagasan dari Gus Dur ini sebagai antisipasi terhadap keributan yang akan mengakibatkan deadlock SU MPR, akibat adanya perseteruan antara kubu Habibie dan kubu Megawati.[112]
         Poros tengah yang semula tidak diperhitungkan oleh partai politik lainnya, terutama oleh Partai Golkar dan PDIP, akhirnya menjadi kekuatan  yang mampu mewarnai SU MPR. Kekuatan poros tengah semakin diperhitungkan setelah dalam beberapa voting mampu mengalahkan kubu Megawati. Dalam pemilihan ketua DPR yang sebelumnya sudah disepakati oleh pimpinan fraksi dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, akhirnya dipilih melalui mekanisme voting. Salah satu tokoh poros tengah Hartono Mardjono menolak kesepakatan pimpinan fraksi karena hasil kesepakatan itu tidak bisa dianggap sebagai hasil musyawarah seluruh anggota DPR. Dengan digunakannya mekanisme voting bisa membuktikan pada masyarakat umum bahwa PDIP bekerja sama dengan Golkar, karena dalam voting tersebut sebagian besar suara PDIP dialihkan ke Akbar Tandjung. Akbar Tanjung terpilih sebagai ketua DPR dengan memperoleh suara 411, jauh diatas Sutardjo Soerjoguritno dari PDIP yang hanya memperoleh 54 suara. Dalam hal ini kesepakatan Partai Golkar dan PDIP dengan mekanisme musyawarah dan mufakat dikalahkan oleh lobi politik dari poros tengah yang menghendaki mekanisme voting dalam pemilihan ketua DPR.
         Voting dipakai poros tengah sebagai media perang urat syaraf. Mereka menggunakan voting untuk menunjukkan bahwa mereka bisa lebih besar dari PDIP. Mereka ingin memberi tahu kepada rakyat, tidak boleh ada kelompok yang telanjur merasa menang tanpa memperdulikan kelompok yang lainnya. Melalui voting ini poros tengah mampu memperkuat posisi tawarnya, terutama kepada PDIP dan Golkar. Melalui voting ini poros tengah memperoleh “ kemenangan” beruntun dalam sidang MPR dan DPR ini. Bukti nyata solidnya kekuatan poros tengah dalam voting terlihat dalan pemilihan ketua MPR. Dalam pemilihan ketua MPR ini Amien Rais yang didukung oleh poros tengah dan Golkar berhasil mengalahkan Matori Abdul Djalil yang didukung oleh PDIP dan PKB. Dalam voting Amien Rais mampu memperoleh 305 suara, sedangkan Matori Abdul Djalil memperoleh 279 suara.[113]
         Solidnya poros tengah kembali dibuktikan dalam pemilihan Presiden. Abdurrahman Wahid yang dicalonkan oleh poros tengah mampu mengalahkan Megawati dengan perolehan suara 373 banding 313. Kemenangan  Gus Dur ini tidak lepas dari lobi politik yang dilakukan poros tengah kepada Partai Golkar dan TNI/ Polri. Kemenangan ini juga tidak terlepas dengan strategi poros tengah, terutama ketua umum PBB, Yusril Ihya Mahendra yang mengundurkan diri beberapa menit menjelang pemilihan Presiden berlangsung. Dengan mundurnya Yusril ini maka suara poros tengah tidak terpecah pada Gus Dur dan Yusril. Menurut Yusril Ia mundur agar persatuan umat Islam bisa terjaga dan ia merasa bahwa partainya merupakan partai yang kecil.[114]Terpilihnya Gus Dur  ini membuktikan bahwa strategi yang dilakukan poros tengah, terutama Amien Rais  yang melakukan lobi ke berbagai pihak baik itu ke partai Golkar, TNI / Polri, dan PKB berhasil. Amien membuktikan kepiwaiannya selama SU MPR ini berlangsung. Amien Rais mempunyai peranan yang penting dalam menentukan berbagai kebijakan yang diambil oleh poros  tengah.
         Pasca SU MPR ini peranan penting lainnya yang dimainkan oleh Amien  Rais adalah dalam penentuan anggota Kabinet Persatuan Nasional. Dalam penentuan kabinet ini Gus Dur melibatkan Amien Rais, Akbar Tandjung, Wiranto, dan Megawati. Semua kekuatan terakomodasi dalam Kabinet Persatuan Nasional ini, dimana menteri yang terpilih dalam kabinet ini merupakan referensi dan garansi dari tokoh-tokoh tersebut. Dengan pembentukan kabinet yang penuh warna- warni ini diharapkan semua kekuatan terakomodasi daam kabinet dan bisa mewakili berbagai unsur yang ada di Indonesia.
         Kabinet Persatuan Nasional yang diumumkan oleh Megawati pada tanggal 26 Oktober 1999 terdiri atas 32 menteri dan tiga pejabat negara setingkat menteri. Dalam Kabinet Persatuan Nasional ini Amien Rais memberi garansi beberapa tokoh PAN untuk menjadi menteri dalam kabinet tersebut. Menteri yang berasal dari PAN yaitu ; Bambang Sudibyo yang menjadi Menteri Keuangan, Yahya A. Muhaimin yang Menteri Pendidikan Nasional, Hasbalah M. Saad yang menjadi Menteri Negara urusan HAM, dan Al-Hilal Hamdi yang Menjadi Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan.[115] Dari susunan kabinet ini membuktikan bahwa PAN yang hanya menduduki urutan ke-5 dalam Pemilu 1999, tetapi dalam percaturan politik selalu diperhitungkan oleh lawan politiknya. Semuanya ini tidak terlepas dari manuver-manuver yang dilakukan oleh ketua umum PAN Amien Rais pasca Pemilu 1999.  

C. Agenda Muhammadiyah Dalam Poltik Baru

Dalam menghadapi dinamika kehidupan nasional  perkembangan dunia yang makin global dan penuh pertarungan kepentingan yang keras antar kelompok dan golongan dalam masyarakat, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia dituntut untuk memainkan perannya secara signifika. Demikian juga dalam ehidupan politik, Muhammadiyah dituntut untuk menghadapi perkembangan yang makin dinamik itu secara cerdas dan tepat sasaran, yang memerlukan pemikiran-pemikiran dan langkah-langkah yang strategis.
            Muhammadiyah perlu melakukan identifikasi atas pesoalan-persoalan penting dan strategis khususnya dalam kehidupan politik nasional, agar dalam melangkah tidak bersifat reaktif semata. Dalam kepentingan ini Muhammadiyah perlu menyusun agenda-agenda strategis khususnya dalam politik , sehingga Muhammadiyah menjadi kekuatan yang memiliki kesiapan yang matang dan sistemik dalam memasuki masa depan yang penuh tantangan. Muhammadiyah bisa melakukannya tanpa harus terlibat langsung dalam politik praktis. Langkah-langkah strategis dalam menghadapi dinamika kehidupan politik yang penuh tantangan itu seharusnya dibangun diatas landasan dan orientasi gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar sebagai misi utama dari Muhammadiyah.
            Dalam konteks kehidupan politik nasional dapat dicermati bagaimana perkembangan sosiologi politik umat Islam. Muhammadiyah perlu mengambil peran aktif dalam percaturan naional sesuai dengan karakternya sebagai organisasi sosial- keagamaan, sehingga dapat memberikan penguatan bagi proses politik umat Islam di Indonesia. Muhammadiyah dituntut untuk berperan dalam percaturan politik nasional yang melibatkan kekuatan-kekuatan umat Islam yang tidak jarang harus berbenturan antar umat Islam  itu sendiri, selain dengan kekuatan politik lainnya. Muhammadiyah dituntut untuk memposisikan diri dan ikut berperan aktif dalam percaturan umat Islam, agar dapat memberikan penguatan bagi plitik umat Islam khususnya dan politik nasional pada umumnya.[116]
            Perkembangan politik umat Islam maupun plitik nasional mengalami perubahan yang sangat cepat ketika datang gelombang gerakan reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru. Munculnya era Reformasi menggantikan Orde Baru  walaupun belum sepenuhnya berhasil membongkar tatanan politik yang lama, tetapi telah merubah konfigurasi perpolitikan nasional  yang telah ada. Kekuatan- kekuatan Islam terpecah belah dalam berbagai faksi politik. Ledakan partisipasi politik dengan mendirikan partai politik  baru di era reformasi untuk bertanding di Pemilu 1999 telah melahirkan konfigurasi politik baru, sehingga bermunculan partai politik yang membawa aspirasi umat Islam, baik itu yang memakai asas formal Islam maupun yang membawa kepentingan umat Islam. Fenomena politik baru di lingkungan umat Islam ini menunjukkan secara terbuka bahwa umat Islam bukanlah merupakan satu entitas politik yang utuh.
            Dalam menyikapi fenomena politik baru di lingkungan umat Islam ini, maka Muhammadiyah harus merumuskan agenda-agenda strategis mengenai politik baik yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran maupun dalam mempermainkan fungsi-fungsi politik sesuai dengan identitas dan garis-garis perjuangan yang membingkainya sebagai wujud pertanggungjawaban dalam pencerahan kehidupan bermasyarakt, berbangsa, dan bernegara. Muhammadiyah harus mempunyai agenda-agenda politik sebagai kerangka secara sistemis yang berkaitan dengan pertanggungjawaban atau amanat Muhammadiyah dalam ikut serta melakukan pembangunan politik di Indonesia. Agenda –agenda strategis Muhammadiyah itu antara lain :
            Pertama, merumuskan konsep pandangan Muhammadiyah tentang politik, yaitu Muhammadiyah dituntut untuk menyususn suatu konsep yang komprehensif dan sistemik mengenai politik yang berabgkat dari pandangan- pandangan keagamaan dan elaborasi pemikiran ijtihad yang menjadi metode pemahaman Islam dalam Muhammadiyah. Konsep politik ini dapat dianggap sebagai pandangan Muhammadiyah tentang politik. Konsep ini berfungsi sebagai landasan pemikiran dan perilaku politik Muhammadiyah maupun orang-orang  Muhammadiyah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mencerminkan pertanggungjawaban dakwah  amar ma’ruf nahi munkar  dari Muhammadiyah. Konsep ini dapat diarahkan pada ijtihat politik Muhammadiyah dalam dunia pemikiran mengenai politik.
            Kedua, mensistemasikan ulang pemikiran-pemikiran formal Muhammadiyah, yaitu Muhammadiyah dituntut untuk menata kembali pemikiran-pemikiran formal Muhammadiayah yang dimilikinya untuk menyusun konsep baru yang lebih artikulatif mengenai strategi perjuangan Muhammadiyah dala kehiduan politik. Perumusan strategi perjuangan Muhammadiyah ini akan  memberikan wawasan dan acuan yang lebih cerdas dan dinamis dalam kehidupan politik nasional yang makin kompleks. Konsep ini diharapkan dapat menjadi panduan yang fleksibel dan memberikan visi yang luas mengenai politik dalam menghadapi perkembangan politik yang baru, tanpa harus kehilangan identitas diri sebagai organisasi sosial-keagamaan yang non-politik praktis.
            Ketiga, mengfungsikan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan ( interest groups ) sebagai bentuk dari partisispasi langsung dengan memberikan sumbangan-sumbangan berharga bagi demokratisasi dan pencerahan politik nasional menuju kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan yang dicita-citakan. Fungsi kelompok kepentingan ini dapat berupa lobi-lobi politik, penciptan opini publik, memeberikan dukungan  atau penentangan atas kebijakan-kebijakan publik, atau kegiatan-kegiatan politik lainnya yang memberikan sasaran pada mempengaruhi proses politik tanpa harus melakukan politik praktis. Peranan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentinagn ini akan memberikan bobot bagi gerakan dakwah Muhammadiyah  dan menempatkan Muhammadiyah dalam posisi yang diperhitungkan dalam percaturan kehidupan politik nasional.
            Keempat, menyusun agenda pendidikan politik, yakni Muhammadiyah perlu menyusun dan melakukan program pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan pendidikan politik ini diharapkan mampu memberdayakan politik rakyat, sehingga masyarakat semakin mengerti akan pentingnya partisipasi dalam penentuan kebijakan politik pemerintah. Dalam era reformasi yang makin demokratis dan terbuka maka diperlukan rakyat yang berdaya secara rasional, pendidikan , ekonomi, dan kesadaran akan hak-hak politiknya, sehingga suara rakyat benar-benar otonom dan dapat dipertanggungjawabkan bagi masa depan demokrasi. Pendidikan politik bagi masyarakat ini bagi Muhammadiyah merupakan suatu paket yang tidak terpisahkan dari perjuangan membentuk masyarakat Islam yang dicita-citakan, atau dalam wacana kontemporer identik dngan cita-cita mewujudkan masyarakat madani.[117]
            Di sepanjang sejarahnya, Muhammadiyah memang belum pernah menjadi partai politik, namun usulan agar Muhammadiyah mengembangkan diri menjadi partai politik atau sekurang-kurangnya mendirikan partai politik sudah muncul sejak tahun 1920-an dan akan terus muncul kembali. Gagasan agar Muhammadiyah mendirikan partai politik muncul kembali pada masa reformasi, dimana banyak orang ramai mendirikan partai politik. Hal ini tampak pada saat sidang Tanwir Muhammadiyah pada tanggal 5-7 Juli 1998 di Semarang. Dalam Tanwir tersebut merekomondasikan agar Muhammadiyah mempersiapkan partai politik baru.  Walaupun akhirnya PP Muhammadiyah tidak mendirikan partai politik, tetapi kehadiran PAN tidak lepas dari proses ijtihat politik dari Tanwir Muhammadiyah di Semarang
            Dalam melihat politik, kekuasaan ataupun negara Muhammadiayah meletakkannya sebagai produk dari  dinamika sosial kemasyarakatan dan kebudayaan, yang kemudian dikenal sebagai “ gerakan dakwah. Bagi Muhammadiyah , politik baik itu partai politik ataupun negara adalah sub-sistem dari gerakan dakwah. Dari sinilah maka terlihat bahwa hubungan antara Muhammadiyah dengan partai politik tidak konsisten, selalu berubah dan tidak pernah bersifat struktural. Muhammadiyah diletakkan diatas basis yang lebih besar dan lebih kultural daripada dinamika politik kenegaraan. Hal ini cenderung bersiakap pragmatis atau akomodatif  Muhammadiyah dalam politik , tetapi juga berarti peletakan sistem dan tata sosial-politik kenegaraan diatas dasar nilai-nilai etik.[118]
            Sejak berdiri tahun 1912, Muhammadiyah belum pernah menjadi partai politik, namun selalu terlibat perpolitikan nasional, langsung maupun melalui aktivitas elit Muhammadiyah. Dalam situasi politik kenegaraan mengalami krisis, seperti masa-masa menjelang kemerdekaan, awal pembentukan negara merdeka pasca G-30 S/ PKI  dan era reformasi ini, aktivis Muhammadiyah hampir selalu terlibat dalam dinamika politik praktis ( partai politik ). Menjelang Muktamar ke- 44 di Jakarta tahun 2000, tarikan keterlibatan politik praktis kembali nampak mengejala. Politik praktis yang pada pertengahan tagun 1990-an dianggap sebagai “ politik rendahan “ oleh aktivis Muhammadiyah, pada masa reformasi ini terlihat mulai ada perubahan, dimana beberapa aktivis Muhammadiyah mulai memasuki gelanggang politik praktis baik itu menjadi pengurus partai politik maupun menjadi anggota DPR/MPR maupun DPRD.
            Tampilnya elit Muhammadiyah dalam dinamika politik nasional mempengaruhi posisi Muhammadiyah dalam pentas nasional pasca pemerintah Orde Baru. Menurut Abdul Munir Mulkan meskipun mantan ketua PP Muhammadiayh  berhasil menduduki kursi ketua MPR melalui PAN, namun elit Muhammadiyah pada masa akan datang akan mengalami kesulitan untuk memasuki pusat kekuasaan seperti pada masa sekarang, jika tidak menyegarkan kembali pembaharuan Islam-nya. Muhammadiyah menurut Abdul Munir Mulkan akan cenderung kian jauh dari dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan mayoritas umat Islam yang masih miskin seperti petani dan buruh.[119]
            Agenda masa depan Muhammadiyah dibidang sosial-politik ditentukan atas kemampuannya menyelesaian beberapa agenda besar. Pertama, memaksimalkan peran SDM potensial, struktur dan fasilitas kelembagaan bagi pengembangan gagasan sosial dan budaya ( ekonomi dan plitik ) bagi penyelesaian masalah di negeri ini. Kedua, mengubah dakwah ritual formal syariah  fikih  ke dakwah kebudayaan. Ketiga, mengembangkan kegiatan sosial yang benar-benar bisa dinikmati fungsinya oleh mayoritas umat yang masih miskin seperti petani dan buruh . Ketiga agenda besar ini bisa dilaksanakan jika Muhammadiayah berhasil meneguhkan kembali jati dirinya sebagai “ gerakan pembaharuan Islam “ dengan mengembangkan gagasan segar dan kegiatan sosial yang dibutuhkan umat untuk membebaskan diri dari kemiskinan, kebodohan, ketertindasan,dan perlakuan tidak adil.[120]
            Selama masa kepemimpinan Amien Rais dalam menjalankan high politics cenderung bergerak secara single fighter sehingga Majelis Hikmah yang berfungsi sebagai thing tankuntuk persoalan sosial-politik menjadi amburadul. Pada masa akan datang Majelis Hikmah atau lembaga pengkajian masalah sosial –politik Muhammadiyah atau apapun namanya yang dijadikan sebagai thing tank Muhammadiyah dalam masalah-masalah sosial-politik perlu direvitalisasi tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya.[121]Muhammadiyah perlu memberdayakan Majelis Hikmah kembali, sehingga berbagai kebijakan Muhammadiyah dalam persoalan sosial-politik dapat dirumuskan dari lembaga ini.
            Berbagai kelalaian yang berkaitan dengan masalah sosial-politik yang dilakukan Muhammadiayh adalah kelalaian dalam mengembangkan wacana baru menyangkut negara dan politik, ketidak seriusan dalam menghadapi masalah negara dan politik, tidak adanya think tankuntuk merumuskan strategi dan kebijakan publik, serta rencana- rencana sistemis untuk mengekspresikan tujuan-tujuan  politik jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Azyumardi Azra  berdasarkan kelemahan-kelemahan Muhammadiyah tersebut dan dikaitkan dengan situasi masa kini, maka Muhammadiayh perlu merumuskan kembali paradigma dan praksis politiknya. Politik alokatif ( allocative politics ) yang menjadi paradigma dan praksis politik Muhammadiyah pada masa Orde Baru, akan kehilangan relevansi untuk masa sekarang.[122]
            Dalam Muktamar ke- 44 pada tanggal 8- 11 Juli 200 di Jakarta, Muhammadiyah kembali menetapkan Islam sebagi asas tunggal. Dalam Muktamar ini juga diputuskan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan akan menjaga jarak yang sama denagn semua partai politik. Para pengurus Muhammadiyah dilarang melakukan rangkap jabatan dengan semua partai politik.[123] Menurut A. Syafi’i Maarif yang terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah  periode 2000-2005, Muhammadiyah tetap menjaga jarak yang sama kepada semua kekuatan politik, sedangkan kader-kader Muhammadiyah yang memiliki bakat politik diberi kebebasan seluas-luasnya, dimana mereka harus tetap membawa misi Muhammadiyah. Mereka harus tampil meyakinkan di panggung politik nasional dengan membawa pesan-pesan moral Muhammadiyah.[124]
            Dalam Muktamar ke –44 ini ditegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang tidak bergerak dalam dunia politik praktis ( riil politics ), seperti partai politik, tetapi mengembangkan fungsi sebagai kelompok kepentingan  (  interest groups ) yang efektif melalui berbagai saluran, media untuk memainkan peranan politik secara aktif dan strategis sesuai dengan prinsip dakwah Islam  amar ma’ruf nahi munkar.  Muhammadiyah tidak menarik diri dan cenderung alergi terhadap politik yang pada akhirnya proses dan sistem kehidupan politik ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain yang dimungkinkan tidak sejalan dengan kepentingan umat Islam.[125]
            Muhammadiyah menurut A. Syafii Ma’arif perlu memperjelas dan mempertegas posisinya dalam hubungannya dengan negara. Negara tidak lain dari pada salah satu alat penting untuk mencapai tujuan dakwah Islam berupa terciptanya suatu masyarakat utama atau masyarakat Islami dalam koridor keridhaan Illahi. Masyarakat itu haruslah adil, terbuka dan menghargai pluralisme pandangan hidup dan aspirasi politik. Semua pihak wajib tunduk kepada ketentuan konstitusi yang telah disepakati bersama. Bermain diluar konstitusi pasti mengandung anarkisme dan konflik berkepanjangan yang dapat melumpuhkan masyarakat secara keseluruhan. Dalam menggagas sebuah sistem politik Muhammmadiyah menurut A. Syafii Ma’arif seharusnya lebih mengutamakan substansi dibanding bentuk dan merek.[126]
            Dengan berbagai agenda diatas diharapkan Muhammadiayah tidak ketinggalan  dalam dinamika politik nasional. Mengambil posisi dan peran sebagai organisasi sosial-keagamaan yng non-politik bagi Muhammadiyah tidak berarti harus alergi politik dan kehilangan artikulasi dalam memainkan fungsi politik sebagai kelompok kepentingan dengan misi moral  keagamaan. Muhammadiyah perlu menumbuhkan kesadaran yang positif dikalangan elit dan warganya, bahwa politik itu penting dan strategis serta memiliki keterkaitan dengan pejuangan untuk membentuk masyarakat utama (  civil society  ), seperti yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah.
BAB V
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Dalam penelitian mengenai kiprah Muhammadiyah di era reformasi dari pembahasan yang penulis lakukan, maka penelitian ini menghasilkan kesimpulan :
       1.       Era Reformasi adalah era baru perpolitikan di Indonesia yang dimulai runtuhnya kepemimpinan Orde Baru yaitu pada tanggal 21 Mei 1998.
       2.       Kebijakan-kebijakan pemerintah era reformasi diantaranya adalah mewujudkan kehidupan politik yang demokratis dengan membuat undang-undang politik baru, menegakan kepastian hukum yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945, menyelenggarakan SI MPR yag menghasilkan beberapa keputusan politik di antaranya pencabutan TAP MPR No. 11/1978 tentang P4 dan penegasan kembali Pancasila sebagai dasar negara, mengganti peraturan kebebasan mendirikan partai politik. Dalam bidang hukum berusaha menegakan kepastian hukum, memberikan amnesti dan abolisi kepada tahanan politik Orde Baru serta penghapusan Dwi Fungsi ABRI.
       3.       Perilaku politik Muhammadiyah era Reformasi memakai strategi, pertama : Strategi sosio religius kultural, yaitu dengan sumbangan moral bagi pembangunan politik, kedua : Strategi mobilisasi sosial, yaitu melakukan aksi penguasaan untuk merubah kebijakan pemerintah dan kepemimpinan, ketiga : Strategi struktural, yaitu melakukan eksperimen politik Muhammadiyah melalui Partai Amat Nasional, yang secara organisasi tidak ada hubungan, namun secara sosiologis dan emosional erat hubungan dengan Muhammadiyah.
       4.       Perubahan sikap politik Muhammadiyah lebih dipengaruhi oleh kebijakan politik Pemerintah. Kepempinan Muhammadiyah dan situasi kehidupan bangsa Indonesia membutuhkan wacana dan sikap baru dari semua elemen bangsa.
B.     Saran-Saran
Peran politik bagi warga negara baik secara individu maupun kelompok adalah suatu keharusan, karena sebagai warga negara mempunyai hak untuk berpolitik. Dalam skripsi ini penulis berusaha untuk menganalisa peran politik organisasi sosial Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhamadiyah pada era reformasi. Dimana organisasi sosial Islam ini sangat mewarnai corak politik pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru..
Diharapkan Muhammadiyah minimalnya mempertahankan sikap politiknya dan lebih banyak ditingkatkan. Karena di era kebebasan ini kita dituntut untuk mengoptimalkan peran yang tujuannya untuk pembangunan politik bangsa menuju kehidupan demokratis. Begitu juga sebagai pertanggung jawaban atas pesan moral nya yang tidak sebatas berucap tapi bertindak untuk menjadi tauladan bangsa…amiin.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali,Mukti . Interpretasi Amalan Muhammadiyah. Jakarta : Harapan Melati,1985 ).
Ali,Fachry dan Bachtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam, Rekontruksi  Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung : Mizan, 1990 ).
Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta : Paramadina, 1995).
Asrofie,M. Yusron. KHA. Dahlan Dalam Pemikiran dan Kepemimpinan. Yogyakarta : Yogyakarta Offset, 1983.
Azra, Azyumardi. “Muhammadiyah dan Negara : Tinjauan Teologis-Historis”, dalam Edi Suandi Hamid, M. Dasron Hamid, dan Sjafri Sairin ( penyunting ).  Rekontruksi Gerakan Muhammadiyah Pada Era Multiperadaban.  Yogyakarta : UII Press, 2000 .
Benda,  Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit.  Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta : Pustaka Jaya , 1980.
Dokumentasi Depag RI. Pedoman Pembinaan Masjid. Jakarta; Depag RI, 1981.
Geertz,Clifford. Islam yang Saya Amati. Terjemahan Hasan Basri.  Jakarta  : Yayasan Ilmu Sosial, 1982 .
Gotschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terjemahan  Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press,1986.
Haris, Syamsuddin. PPP dan Orde Baru.  Jakarta : Grasindo, 1991.
Hasyim, Mustafa W. (ed.), DR H. M. Amien Rais : “ Demi Pendidikan Politik Saya Siap Jadi Calon Presiden “.  Yogyakarta : Titian Illahi Press, 1997.
Husaini, Adian. Habibie , Soeharto, dan Islam.  Jakarta :  Gema Insani Press, 1998.
Ismail , Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama.  Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999 ).
Karim,M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia : Sebuah Pasang Surut.  Jakarta : Rajawali Press, 1993 .
Kartodirjo,Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah.  Jakarta :Gramedia Pustaka Utama,1993.
Kelompok Studi Lingkaran (ed). Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru.   Bandung : Mizan , 1995 .
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transental. Bandung : Mizan, 2000).
Kuntowijoyo.  Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Bandung :Mizan, 1995.
Ma’arif ,A. Syafii.Islam dan Masalah Kenegaraan , Studi  Tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta : LP3ES, 1987).
Maarif ,A. Syafi’i. “Hubungan Muhammadiyah dan Negara : Tinjauan Teologis”,  dalam Edy Suandi Hamid, M. Dasron Hamid, dan Sjafri Sairin (penyunting). Rekontruksi Gerakan Muhammadiyah Pada Era Multiperadaban. Yogyakarta : UII Press, 2000.
Machmud, Amir. Pembangunan Politik dalam Negara Indonesia. Jakarta : Gramedia , 1986).
Mashad,  Dhurorudin. Korupsi Politik, Pemilu, dan Legitimasi Pasca Orde Baru. Jakarta :Pustaka Cidesindo, 1999 .
Mas’oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971.  Jakarta: LP3ES, 1986 ).
Moertopo, Ali. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta : CSIS, !981).
Morgan ,Kennet W. Islam Jalan Lurus.  Jakarta : Pustaka Jaya, 1986 .
Mulkhan, Abdul Munir. Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis. Jakarta : Rajawali Press, 1989 .
Mulkhan,Abdul Munir. Pemikiran KHA. Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta :Bina Aksara, 1990.
Mulkhan, Abdul Munir. Menggugat Muhammadiyah.   Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2000.
Najib, Muhammad dan K. S. Himmaty (penyusun).  Amien Rais : Dari Yogya Ke Bina Graha.  Jakarta : Gema Insani Press, 1999 .
Nashir, Haedar. Dinamika Politik Muhammadiyah. Yogyakarta : Bigraf Publishing, 2000).
Noer, Deliar. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press, 1983 .
Noer,Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES, 1985).
Prawiranegara, A. Ratu. Muhammadiyah dalam Islam dan Pembangunan Politik Indonesia . Jakarta: CV. Haji Mas Agung MCM LXXXVI.
Pasha,Musthafa  Kamal  dan  Ahmad   Adaby  Darban.  Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam.  Yogyakarta : LPPI UMY , 2000.
R. ,Sutipyo dan Asmawi (ed.). PAN Titian Amien Rais Menuju Istana.  Yogyakarta : Titian Illahi Press, 1999.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta.   Bandung : Mizan , 1987 .
Rais, M. Amien. Membangun Politik Adiluhung : Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dalam Idi Subandy Ibrahim(ed.).  Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998.
Rais, M. Amien.  Moralitas Politik Muhammadiyah. dalam Ahmad Bahar (ed.). Yogyakarta : Dinamika, 1995.
Rais,  M. Amien. Kearifan dalam Ketegasan : Renungan Indonesia Baru.  penyunting Sunaryo Purwo Sumitro,  Yogyakarta : Bigraf Publishing, 1999.
Rauf ,Maswadi.Evaluasi Pemilu 1999”, dalam Juri Ardiantoro F. (Penyunting), Transisi Demokrasi : Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999,  Jakarta : KIPP, 1999 .
Saim, Weinata. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Salam,Solichin. Muhammadiyah dan Kebangunan di Indonesia.  Jakarta : NV Mega, 1956 ).
Salam,Solichin.  KHA. Dahlan : Tjita-tjita dan Perjuangannya. Jakarta : Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1962 .
Samego, Indria. “Politik Massa Mengambang Antara Harapan dan Kenyataan”, dalam Syarofin Arba Mf ( ed. ). Demitologisasi Politik Indonesia, Mengusung Elitisme Dalam Orde Baru.  Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1998).
Syaifullah. Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1997.
Syamsuddin, M. Din. Muhammadiyah Kini dan Esok. Jakarta : Pustaka Panji Masyarakat, 1990.
Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994.
Sukidi. Menimbang Amien Rais Menjadi Presiden”, dalam Abd. Rahim Ghazali (ed.). “Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah.   Bandung : Mizan, 1998 .
Sukriyanto, dan Abdul Munir Mulkhan. Pergumulan Pemikiran dalam Muhammadiyah. Yogyakarta : Sipress, 1990.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES, 1985 .
Susilo, Djoko.“ Langkah Amien ,Langkah Pendidikan Politik “, dalam Abd. Rohim Ghazali (ed.). Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah.  Bandung : Mizan , 1998 .
Suwarno. Muhammadiyah Sebagai Oposisi. Yogyakarta : UII Press, 2001
Wahyudi, Andi. Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Yogyakarta : Media Presindo, 1999 .

Artikel

Fatwa, A. M.,”Merangkai Sejarah PAN”, Kompas, 15 Juli 1999.
Mulkhan, Abdul Munir, “Muhammadiyah , Politik, dan Presiden”, Kompas , 6 Juli 2000.
Pranowo, M. Bambang,Islam dan Pancasila : Dinamika Politik Islam di Indonesia, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. I, Thn. 1992.

Surat Kabar dan Majalah

Kompas Tanggal 19 Mei 1998 dan 27 Oktober 1999.
Forum Keadilan No. 5, 15 Juni 1998 ; No. 17, 1 Agustus 1999; No. 20, 22 Agustus 1999.
Gatra No. 27, 23 Mei 1998; No. 28, 30 Mei 1998; No. 29, 6 Juni 1998; No. 1, 9 oktober 1998; No. 47, 9 Oktober 1999;No. 32 , 26 Juni 1999; No. 6, 2 Oktober 1999; No. 48, 10 Oktober 1999.
Suara Muhammadiyah No. 09, 1- 15 mei 1998; No. 14, 16- 31 Juli 2000;No. 15, 1-15 Agustus 2000.
Tempo no. 41, 8 Desember 1990
Dokumen Tentang Muhammadiyah
Anggaran Dasar Muhammadiyah. PP Muhammadiyah Yogyakarta. 10 Agustus 2000
Keputusan Tanwir Muhammadiyah Semarang, 1998.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………i
HALAMAN NOTA DINAS………………………………………………….ii
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………v
DAFTAR ISI………………………………………………………………….vii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….1
  1. Latar Belakang…………………………………………………………1
  2. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………………….5
  3. Tujuan dan Kegunaan…………………………………………………6
  4. Tinjauan Pustaka………………………………………………………6
  5. Landasan Teori…………………………………………………………8
  6. Metode Penelitian………………………………………………………9
  7. Sistematika Pembahasan………………………………………………11
BAB II GAMBARAN UMUM MUHAMMADIYAH……………………….13
  1. LATAR BELAKANG LAHIRNYA MUHAMMADIYAH………….13
    1. Kondisi Islam di Jawa…………………………………………17
    2. Pengaruh Gerakan Modernis Islam di Timur Tengah…………19
    3. Politik Islam Pemerintah Belanda……………………………..20
  2. PARADIGMA PERJUANGAN MUHAMMADIYAH………………23
BAB III SIKAP POLITIK MUHAMMADIYAH MASA ORDE BARU
( 1966- 1998 )…………………………………………………………………29
  1. Kebijakan Politik Pemerintah Orde Baru …………………………….29
  2. Hubungan Muhammadiyah dengan Pemerintah Orde Baru…………..37
  3. Manuver- manuver Sosio-Politik Muhammadiyah……………………47
BAB IV PRILAKU POLITIK MUHAMMADIYAH ERA REFORMASI
 ( 1998- 2000 )…………………………………………………………………65
  1. Manuver sosio-politik Muhammadiyah(Strategi kultural)……………………………65
  2. a.Hancurnya kekuasaan Orde Baru (strategi mobolisasi sosial)……………………………………………………73
b.Kebijakan politik Pemerintah Orde Baru
  1. Muhammadiyah dan Fenomena Partai Amanat Nasional (PAN)  (strategi struktural)………………………….86
  2. Agwnda Muhammadiyah dalam politik baru
BAB V PENUTUP…………………………………………………………….96
  1. Kesimpulan…………………………………………………………….96
  2. Saran- saran…………………………………………………………….96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN- LAMPIRAN

[1]Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, (Yogyakarta UII Press, 2001), hlm. 17
[2]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta : LP3ES, 1985), hlm. 84
[3]Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 44
[4]Abul Munir Mulkhan, Pemikiran KH.A. Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perpektif Perubahan Sosial,  (Jakarta : Bima Aksara, 1990), hlm. 17.
[5]Amien Rais, Kearifan dalam Ketegasan, Renungan untuk Indonesia Baru, (Yogyakarta : Bigraf Publishing, 1999), hlm. 50.
[6]Amien Rais, Membangun Pilitik Adiluhung. (Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 104
[7]Kuntowijoyo,  Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transedental, (Bandung : Mizan, 2000), hlm. 112-114.
[8]Louis Gotschalk, Mengerti Sejarah, diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 32
[9]Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 2. 
[10] Ibid, hlm. 4.
[11]Deliar Noer, Gerakan Modern dalam Islam di Indonesia 1900-1942,(Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 84.
[12] Solichin Salam,  KHA. Dahlan : Tjita-tjita dan Perjuangannya,(Jakarta : Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1962), hlm.5-6.
[13]M. Yusron Asrofie, KHA. Dahlan dalam Pemikiran dan Kepemimpinan,(Yogyakarta : Yogyakarta Offset, 1983), hlm. 21.
[14]Musthafa  Kamal  Pasha dan  Ahmad   Adaby  Darban,  Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,(Yogyakarta : LPPI UMY , 2000), hlm. 70-71.
[15]A. Syafii Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan , Studi  Tentang Percaturan dalam Konstituante,(Jakarta : LP3ES, 1987 ), hlm. 71.
[16]Solichin Salam, Muhammadiyah dan Kebangunan di Indonesia,(Jakarta : NV Mega, 1956 ), hlm 55-56.
[17]Musthafa Kamal Pasha dan A. Adaby Darban,  Muhammadiyah sebagai, hlm. 71-77.
[18]Kennet W. Morgan, Islam Jalan Lurus, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1986), hlm. 422.
[19]Clifford Geertz, Islam yang Saya Amati, Terjemahan Hasan Basri, (Jakarta  : Yayasan Ilmu Sosial, 1982), hlm. 6
[20]Harry J. Benda,  Bulan Sabit dan Matahari Terbit ,Terjemahan Daniel Dhakidae  (Jakarta : Pustaka Jaya , 1980 ) hlm. 28.
[21]Deliar Noer, Gerakan Modern,hlm.317.
[22]Harry J. Benda,  Bulan Sabit , hlm. 36.
[23]Ibid, hlm. 41.
[24]Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta : LP3ES, 1985), hlm. 41.
[25]Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekontruksi  Pemikiran Islam Masa Orde Baru,(Bandung : Mizan, 1990),hlm. 65.
[26]Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, (Yogyakarta : UII Press, 2001), hlm. 74.
[27]Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhammadiyah, (Yogyakarta : Bigraf Publishing, 2000), hlm.2.
[28]A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante,  (Jakarta; LP3ES, 1987 ), hlm. 71
[29]Musthafa Kamal Pasha dan A. Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai, hlm.181-182.
[30]Baca Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, ( Jakarta : Grasindo, 1991 ), hlm. 3, selain itu baca juga M. Rusli Karim , Perjalanan Partai Politik di Indonesia : Sebuah Pasang Surut, ( Jakarta : Rajawali Press, 1993 ), hlm. 158.
[31]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, ( Jakarta : Paramadina, 1995), hlm. 17.
[32]Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, ( Jakarta: LP3ES, 1986 ), hlm. 150.
[33]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Aksi…, hlm. 18
[34]M. Rusli  Karim, Perjalanan Partai…., hlm. 153.
[35]Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, ( Jakarta : CSIS, 1981), hlm. 86.
[36]Ali Moertopo, Ibid, hlm. 8
[37] Ibid, hlm. 56-60.
[38] Ibid, hlm. 95-96.
[39]Amir Machmud, Pembangunan Politik dalam negara Indonesia, ( Jakarta : Gramedia , 1986), hlm. 32-33.
[40]Ali Moertopo, Strategi Pembangunan…, hlm. 97
[41] Ibid, hlm. 194-196.
[42]Ali  Moertopo, Strategi…., hlm. 174.
[43]Indria Samego, Politik Massa Mengambang Antara Harapan dan Kenyataan, dalam Syarofin Arba Mf ( ed. ), Demitologisasi Politik Indonesia , Mengusung Elitisme Dalam Orde Baru, ( Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1998), hlm. 313.
[44]Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, ( Jakarta : Rajawali Press, 1983 ), hlm. 14.
[45]Deliar Noer, Administrasi.. hlm. 135.
[46]Dokumentasi Depag RI, Pedoman Pembinaan Masjid, ( Jakarta; Depag RI, 1981), hlm. 95-97.
[47]Mochtar  Mas’oed, Ekonomi dan…., hlm. 19
[48]Ali Moertopo, Strategi., hlm. 97.
[49]Abdul Munir Mulkhan, Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, (Jakarta : Rajawali Press, 1989), hlm. 123-124.
[50]Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama,  ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999 ), hlm. 121- 123.
[51] Ibid, hlm. 124.
[52]Suwarno,  Muhammadiyah Sebagai Oposisi, ( Yogyakarta : UII Press, 2001), hlm. 40.
[53]Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhammadiyah,  ( Yogyakarta : Bigraf Publishing, 2000 ), hlm. 44.
[54]Andi Wahyudi, Muhammadiyah dalam Gonjang- ganjing Politik, ( Yogyakarta : Media Presindo, 1999 ), hlm. 65.
[55]Suwarno, Muhammadiyah….., hlm. 42.
[56]Andi Wahyudi, Muhammadiyah dalam…,hlm. 69
[57]Haedar Nashir, Dinamika Politik… , hlm. 51.
[58]M. Bambang Pranowo, “ Islam dan Pancasila : Dinamika Politik Islam di Indonesia”,  dalam Jurnal Ulumul Qur’an , Vol. III, No. I ,Th. 1992, hlm. 10
[59]Adian Husaini, Habibie , Soeharto, dan Islam ,  ( Jakarta :  Gema Insani Press, 1998 ), hlm. 13.
[60]Laporan Utama Tempo, “Cendekiawan Muslim : Melangkah dari Malang “,  Tempo No. 41, Th. XX, 8 Desember 1990, hlm. 26.
[61]Haedar Nashir,  Dinamika Politik….,  hlm. 87.
[62]Suwarno, Muhammadiyah ….., hlm. 128
[63] Ibid, hlm. 58.
[64]M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung : Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dalam Idi Subandy Ibrahim  ( ed. ), ( Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998 ), hlm. 74.
[65]Sukidi, “ Menimbang Amien Rais Menjadi Presiden”, dalam Abd. Rahim Ghazali ( ed. ), “Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah,  ( Bandung : Mizan, 1998 ), hlm. 52.
[66]M. Amien Rais, “ Membangun Politik …., hlm. 127.
[67] Ibid, hlm. 128- 132.
[68]M. Amien Rais, Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta,  ( Bandung : Mizan , 1987 ), hlm. 30-33.
[69] Ibid, hlm. 35
[70]Kelompok Studi Lingkaran ( ed. ), Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru,  ( Bandung : Mizan , 1995 ), hlm. 74.
[71]Suwarno, Muhammadiyah…, hlm. 134.
[72] Ibid, hlm. 136-137.
[73]Mustafa W. Hasyim ( ed. ), DR H. M. Amien Rais : “ Demi Pendidikan Politik Saya Siap Jadi Calon Presiden “, ( Yogyakarta : Titian Illahi Press, 1997 0, hlm. 15-16.
[74]Djoko Susilo, “ Langkah Amien ,Langkah Pendidikan Politik “, dalam Abd. Rohim Ghazali ( ed. ), Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah,( Bandung : Mizan , 1998 ), hlm . 46
[75]M. Amien Rais,  Kearifan dalam Ketegasan : Renungan Indonesia Baru,  penyunting Sunaryo Purwo Sumitro, ( Yogyakarta : Bigraf Publishing, 1999 ), hlm. 64- 72.
[76]Suwarno, Muhammadiyah…., hlm. 144
[77]Pernyataan PP Muhammadiyah ini dapat dibaca di Suara Muhammadiyah No. 09, Th. Ke-83, 1- 15 Mei 1998, hlm. 7.
[78]Suwarno, Muhammadiyah,  hlm. 148.
[79]Suwarno, Muhammadiyah, hlm. 159
[80] Ibid, hlm. 162
[81]Dhurorudin Mashad,  Korupsi Politik, Pemilu, dan Legitimasi Pasca Orde Baru,  ( Jakarta :Pustaka Cidesindo, 1999 ), hlm.  75.
[82]M. Amien Rais,  Membangun Politik…… , hlm. 74.
[83]Gatra No. 27, Th. IV, 23 Mei 1998, hlm. 36- 37.
[84]Lihat Kompas, 19 Mei 1998, hlm. 1
[85]Gatra No. 28, Th. IV, 30 Mei 1998, hlm. 28.
[86]Mengenai surat pernyataan mundurnya 14 menteri yang menolak dalam kabinet hasil resuffle ini dapat dibaca di Gatra No. 28, Th. IV, 30 Mei 1998, hlm. 27, baca juga Forum Keadilan No. 5, Th. VII, 15 Juni 1998, hlm. 23.
[87]Gatra No. 28, Th. IV, 30 Mei 1998, hlm.28.
[88] Forum Keadilan No. 5, Th. VII, 15 Juni 1998, hlm. 24.
34 Ibid,hal. 58.
[89]Sutipyo R. dan Asmawi ( ed. ), PAN Titian Amien Rais Menuju Istana, ( Yogyakarta : Titian Illahi Press, 1999 ), hlm. 50.
[90]Gatra No. 28, Th. IV, 30 Mei 1998, hlm. 29.
[91]Tahanan politik yang diberi amnesti dan abolisi antara lain Nuku Sulaiman, Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, dan Karlina Leksono, hal ini dapat dibaca di Gatra No. 29, Th. IV, 6 Juni 1998, hlm. 47.
[92]Sutipyo R. dan Asmawi ( ed. ), PAN Titian…., hlm. 106
[93]Gatra No. 29, Th. IV, 6 Juni 1998, hlm. 36- 37.
[94]Sutipyo R. dan Asmawi ( ed. ), PAN Titian ….., hlm. 55-56.
[95]Gatra No 1, Th. V, 9 Oktober 1998, hlm. 35.
[96]Maswadi Rauf,” Evaluasi Pemilu 1999”, dalam Juri Ardiantoro F. ( Penyunting ), Transisi Demokrasi : Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, ( Jakarta : KIPP, 1999 ), hlm. 154.
[97]Gatra No. 47, Th. V, 9 Oktober 1999, hlm. 26.
[98]Gatra No. 50, Th. 30, 30 Oktober 1999, hlm. 25., baca juga Forum Keadilan No. 30, 31 Oktober 1999, hlm. 14
[99]Gatra No. 50, hlm. 29.
[100]Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhammadiyah,  ( Yogyakarta : Bigraf  Publishing, 2000 ), hlm. 45, baca juga Muhammad Najib dan K. S. Himmaty ( penyusun ),  Amien Rais : Dari Yogya Ke Bina Graha, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1999 ), hlm. 99-100.
[101]Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, ( Yogyakarta : UII Press, 2001 ), hlm. 99.
[102]Muhammad Najib dan K. S. Himmaty ( penyusun ), Amien Rais, Dari Yogya…..,hlm. 162-165.
[103] Ibid, hlm. 69.
[104]Sutipyo R. dan Asmawi ( ed. )_,  PAN Titian Amien Rais …, hlm. 138.
[105]Haedar Nashir, Dinamika Politik…, hlm. 102-105.
[106]A. M. Fatwa, “Merangkai Sejarah PAN “,  Kompas, 15 Juli 1999.
[107]Suwarno, Muhammadiyah….,hlm. 72
[108]Maswadi Rauf, “ Evaluasi Pemilu…., hlm. 160-161.
[109]Gatra No. 32, Th. V, 26 Juni 1999, hlm. 69.
[110]Forum Keadilan No. 17, 1 Agustus 1999, hlm. 84- 85.
[111]Forum Keadilan No. 20, 22 Agustus 1999, hlm. 24.
[112]Gatra No. 46, Th. V, 2 Oktober 1999, hlm. 38, baca juga Forum Keadilan No. 28, 17 Oktober 1999, hlm. 18.
[113]Gatra No. 48, Th. V, 10 Oktober 1999, hlm. 32.
[114]Forum Keadilan No. 30, 31 Oktober 1999, hlm. 17
[115]Kompas, 27 Oktober 1999, hlm. 1.
[116]Haedar Nashir,  Dinamika Politik….¸hlm 126.
[117] Ibid, hlm.143-147.
[118]Abdul Munir Mulkhan, Menggugat Muhammadiyah,  ( Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 115.
[119]Abdul Munir Mulkhan, “Muhammadiyah, Politik, dan Presiden”, dalam Kompas, 6 Juli 2000.
[120]Abdul Munir Mulkhan,  Menggugat Muhammadiyah…,hlm. 131.
[121]Suwarno, Muhammadiyah……, hlm. 194
[122]Azyumardi Azra, “Muhammadiyah dan Negara : Tinjauan Teologis-Historis”, dalam Edi Suandi Hamid, M. Dasron Hamid, dan Sjafri Sairin ( penyunting ),  Rekontruksi Gerakan Muhammadiyah Pada Era Multiperdaban, ( Yogyakarta : UII Press, 2000 ), hlm. 18.
[123]Suara Muhammadiyah, No. 14, Th. Ke-85, 16-31 Juli 2000, hlm. 4.
[124]Suara Muhammadiyah, No. 15, Th. Ke-85, 1- 15 Agustus 2000, hlm. 11.
[125]Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam : Perspektif Historis dan Ideologis, ( Yogyakarta : Lembaga Pengkajian Dan Pengamalan Islam ( LPPI ), hlm. 157.
[126]A. Syafi’I Maarif, Hubungan Muhammadiyah dan Negara : Tinjauan Teologis,  dalam Edy Suandi Hamid, M. Dasron Hamid, dan Sjafri Sairin (penyunting ), Rekontruksi Gerakan….., hlm. 9.
www.web.unmetered.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *