PERANAN HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM (POSITIF LEGALITY) DAN SOSIO KULTUR

PERANAN HAKIM PENGADILAN AGAMA

DALAM  HUKUM ISLAM (POSITIF LEGALITY) DAN SOSIO KULTUR
Oleh Team www.web.unmetered.id
ABSTRAK
            Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik dengan pengadilan itu sendiri. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.  
Berkanaan dengan itu, Hakim, dalam hal ini hakim pengadilan Agama, yang merupakan salah satu unsur dari komponen penegak hukum yang terlibat secara langsung dengan proses hukum akan berhadapan dengan suatu dilema persoalan. Di satu pihak, hakim pengadilan agama harus berpegang teguh pada Perangkat hukum yang berlaku. Sedangkan di lain pihak, hakim pengadilan agama harus memperhitungkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap perangkat hukum tersebut. Selain itu, agar terjaminnya proses penegakan hukum, hakim pengadilan agama juga dihadapkan pada suatu permasalahan yang dilematis. Karena, keterlibatan hakim pengadilan agama terhadap salah satu ekstrema yang dilaksanakan secara berlebihan dapat mengakibatkan penyimpangan terhadap tujuan hukum itu sendiri, yaitu “keadilan”.
Maka penelitian ini mencoba mengungkap sejauh mana dan bagaimana peran yang dilakukan oleh seorang hakim pengadilan agama dalam Hukum Islam (positif legality) yaitu hukum Islam yang dilegalkan dalam bentuk undang-undang yang berlaku pada Pengadilan Agama dan bagaimana peranannya pada kehidupan sosial dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan mengingat perannya yang sangat kompleks, yaitu menyelaraskan antara kapasitasnya sebagai penegak hukum, dan menjalankan perangkat hukum yang ada serta meningkatkan kesadaran hukum pada masyarakat. Penelitian ini sendiri mengambil dari berbagai sumber yang relevan, kemudian data-data tersebut dikumpulkan dan dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif analisis, sehingga didapatkan kesimpulan yang akurat tentang permasalahan yang akan dibahas.
Kesimpulan atau hasil yang didapat dari penelitian ini adalah, bahwa hakim pengadilan agama merupakan bagian integral dari komponen penegak hukum, berperan sebagai alat untuk menjaga keselarasan komponen-komponen hukum yang lainnya, secara fungsional. Dengan kata lain tegaknya Hukum Islam,  ditentukan oleh kemampuan peranan hakim pengadilan agama dalam menyelaraskan perangkat hukum dan kesadaran hukum, sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Hakim pengadilan agama juga dituntut untuk dapat memainkan peranannya, baik sebagai tenaga profesional maupun sebagai perancana sosial; hakim agama sosiokratis.    
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di masa sekarang ini hukum sedang berkembang, dan terus menerus dibangun, sementara pembangunan hukum tidak bisa meninggalkan rasa hukum masyarakatnya, tentu saja hukum Islam menjadi begitu penting peranannya dalam pembinaan Hukum Nasional Indonesia, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.
Indonesia yang termasuk negara yang sedang berkembang, mengawali kehidupannya dengan hasrat yang kuat untuk melaksanakan pembangunan. Yang pada dasarnya, pembangunan adalah kehendak untuk melakukan perubahan terhadap situasi kehidupan yang lebih baik, membina agar lebih maju dan memperbaiki agar lebih teratur.
Pembangunan, sebagaimana dikonsepsikan di atas, mengisyaratkan adanya perubahan terhadap dasar-dasar kemasyarakatan, baik bersifat struktural maupun kultural. Dasar-dasar kemasyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,[1]paling sedikit mencakup: (1) agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu pengetahuan, dan (5) teknologi. Dengan demikian, pembangunan Hukum Islam di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Indonesia.
2.      Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.
3.      Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan efektif.[2]
Sifat khas permasalahan di bidang hukum tersebut terletak pada upaya pemetaan kembali sistem hukum, baik dalam seginya sebagai suatu struktur logis hukum maupun dalam seginya sebagai suatu sarana bagi perencanaan masyarakat  ideal.
Lebih dari itu, terciptanya suatu sistem hukum yang sesuai dengan keadaan sekarang ataupun di dalam menghadapi perkembangan di masa yang akan datang merupakan kebutuhan lain yang mendorong sifat khas permasalahan di atas.
            Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka upaya pembangunan Hukum Islam akan melibatkan tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1) komponen perangkat hukum, (2) komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran hukum.[3]
            Memperhitungkan setiap komponen hukum secara menyeluruh merupakan suatu pembahasan yang lengkap dan tuntas. Akan tetapi, membatasi pembahasan terhadap komponen penegak hukum bukan berarti menganggap komponen-komponen hukum yanng lainnya kurang penting. Dalam tulisan ini, komponen penegak hukum ditempatkan sebagai tema-sentral pembahasan, sambil berusaha melihat kaitannya dengan komponen-komponen lainnya.
            Perangkat hukum, secara intrinsik, merupakan refleksi pembuatnya, yaitu mereka yang mempunyai peluang untuk melaksanakan serta mengawasi kekuasaan, “rulling-class”. Sebab, perangkat hukum, sampai tingkat tertentu, dikondisikan oleh situasi politik yang berlaku. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev,[4]tergantung dari kekuatan dan kekuasaan politik, sedangkan kondisi itu sebaliknya ditentukan oleh berbagai kekuatan lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
            Berkenaan dengan ini, maka Hakim Pengadilan Agama yang terlibat secara langsung dengan proses hukum,[5]akan berhadapan dengan suatu dilema persoalan. Di satu sisi, Hakim Pengadilan Agama harus memegang teguh perangkat hukum yang berlaku dan diberlakukan. Sedangkan di sisi lain, harus memperhitungkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap perangkat hukum tersebut.
            Dilema persoalan tersebut jelas, terutama, jika hukum diartikan sebagai keluaran atau hasil-aktual dari praktek sehari-hari para pejabat hukum, bukan peraturan-peraturan atau perundang-undangan.[6]Meskipun demikian, perangkat hukum tetap dipergunakan. Paling tidak, sebagai pegangan dalam melukiskan proses sesungguhnya dari pembangunan hukum.
            Pada hakikatnya, bagaimanapun hukum didefinisikan, hukum merupakan salah satu aspek budaya. Dalam hal ini hukum merupakan hasil konkritisasi manusia atas nilai-nilai agama dalam mengatur kehidupan manusia itu sendiri.[7]Dengan demikian, hukum dapat dijumpai dalam berbagai lambang atau simbol.
            Di antara lambang-lambang tersebut yang paling tegas dalam mengutarakan isi dan maknamya adalah dalam bentuk tertulis, “perangkat hukum formal”. Dalam hal ini, hukum memperlihatkan sifatnya yang mendua, “ambivalent”. Sebab, bentuk yang demikian menunjukkan adanya kepastian hukum, dan pada saat yang sama, bentuk yang demikian menunjukkan adanya kekuataan hukum.
            Kepastian hukum banyak ditentukan oleh kekakuan di dalam pengaturan. Akan tetapi, pada gilirannya, kekakuan di dalam pengaturan akan menyebabkan keadaan yang lain pula, di antaranya: menciptakan ketimpangan antara bentuk pengaturan oleh perangkat hukum dengan keadaan, hubungan, dan peristiwa-peristiwa dalam masyarakat. Dengan kata lain, terciptanya diskrepansi hukum, yaitu antara komponen perangkat hukum dan komponen kesadaran hukum.
            Pemahaman tersebut bertolak dari anggapan, bahwa apabila hukum merumuskan secara umum situasi kehidupan masyarakat kontemporer biasanya lebih peka terhadap perasaan, harapan dan kecemasan yang merupakan bagian tak terlepaskan dari keterbatasan otak manusia dalam laju perubahan nyata.
            Oleh karena itu, dalam mencari tempat berpijak yang memungkinkan terjaminnya proses pembangunan hukum, Hakim Pengadilan Agama dihadapkan pada suatu persoalan yang bersifat dilematis. Karena, keterlibatan Hakim Pengadilan Agama terhadap salah satu ekstrema yang dilaksanakan secara berlebihan dapat mengakibatkan penyimpamgan terhadap tujuan hukum itu sendiri, “keadilan”. Sebab, di satu pihak, menganggap perangkat hukum (formal) sebagai gejala yang berdiri sendiri berarti mengabaikan situasi umum kehidupan masyarakat. Sama halnya, di lain pihak, memusatkan perhatian terhadap situasi umum kehidupan masyarakat dapat mengabaikan kemungkinan bagi terwujudnya kemajuan dan pembaharuan masyarakat yang diperjuangkan dengan kuat.
            Hubungan antara hukum dan masyarakat bersifat timbal-balik atau dialektis. Hukum memberi penilaian terhadap masyarakat dan juga mengarahkan apa yang seharusnya mereka lakukan mengenai kedudukan mereka dan masyarakat memberikan dasar-dasar sosial. Tetapi yang sering terjadi di dalam masyarakat, ukuran yang diusulkan tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi atau biasa diartikan sebagi masalah sosial.[8]
            Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, permasalahan sosial tersebut berhubungan dengan peran yang dimainkan oleh hakim pengadilan Agama. Hakim pengadilan Agama memberi dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, peranan hakim pengadilan Agama adalah untuk memelihara keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum lainnya.
            Istilah  “Peranan” (role)[9]dipilih karena menyatakan bahwa setiap orang adalah pelaku di dalam masyarakat di mana dia hidup. Dan maksud konsep “peranan” adalah untuk membuat garis batas antara masyarakat dan individu. Dalam batas peranan sosialnya, seorang mempunyai batas kebebasan tertentu.[10]       
Dalam hal ini, hakim pengadilan Agama adalah termasuk pelaku dan mempunyai tingkat kebebasan tertentu dalam menyatakan hasrat untuk diakui serta diperhitungkan pengaruhnya sebagai sesuatu hal yang penting dalam masyarakat. Meskipun demikian, gambaran stereo type mengenai peranan yang harus dilaksanakan senantiasa ada.           
Selain itu, Peranan juga mempunyai arti lebih luas dari pada tugas. Tugas adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan atau sesuatu yang wajib dikerjakan. Tugas seorang hakim agama adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dan fungsinya adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan peran hakim adalah menjalankan semua tugas, fungsi dan tanggung jawab yang diembannya.
B. Pokok Masalah
            Dari uraian latar belakang masalah yang telah penyusun paparkan di atas, penyusun mengambil pokok permasalahan  sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio Kultur?
  2. Usaha-usaha apakah yang harus dilakukan agar Hakim Pengadilan Agama mampu mengoptimalkan peranannya baik sacara struktural maupun kultural ?
C. Tujuan dan Kegunaan
1.      Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan:
a.        Menjelaskan bagaimana peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio Kultur.
b.      Menjelaskan usaha-usaha yang harus dilakukan agar peran itu bisa    seoptimal mungkin dilakukan.                                                                                        
2.      Kegunaan
Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar dapat di peroleh kegunaan dari permasalahan tersebut, yaitu:
a. Secara akademik
Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang favourabel bagi pengembangan ilmu hukum, baik dalam artinya sebagai suatu sarana pengendalian masyarakat maupun dalam artinya sebagai sarana perencanaan masyarakat.
b. Secara praktis
Untuk menyumbangkan hasil pemikiran tentang Hakim Pengadilan             Agama terutama dalam kaitannya dengan peranannya dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosial, serta usaha-usaha untuk memantapkan peranannya.
D. Telaah Pustaka
            Studi mendalam mengenai Pengadilan Agama meredam persepsi awal bahwa lembaga ini tidak lebih dari pada layanan untuk mengantisipasi keseimbangan antara hak individual dan kesadaran hukum.[11]Lebih dari itu lembaga ini adalah sebagai lembaga penegak hukum (law enforcement) dan keadilan. Masalah penegakkan hukum tidak selesai begitu ia telah menjadi rumusan baku dalam pasal undang-undang. Dalam pelaksanaannya, hukum tidak seindah rumusan yang tercantum dalam pasal undang-undang. Pada dasarnya, penegakkan atau pelaksanaan hukum sangat ditentukan oleh berfungsinya pilar-pilar yang menjadi penyangga hukum.
            Peradilan Agama sebagai salah satu wujud pilar penjaga hukum, haruslah benar-benar dapat melakukan fungsi dan tugasnya dengan maksimal dan sebaik-baiknya. Hal ini dapat  terlaksana apabila aparat-aparat yang berada di dalamnya benar-benar berkualitas. Apabila tidak, maka citra dan wibawa Peradilan Agama akan turun di mata masyatakat pencari keadilan.
            Peradilan Agama merupakan salah satu wahana penunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam bidang hukum, sehingga peranan Hakim Pengadilan Agama akan sangat menentukan efektif tidaknya wahana penunjang tersebut.[12]Pada hakikatnya, sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan penegak hukum dan keadilan tersebut, baik atau buruknya tergantung dari manusia-manusia pelaksananya, in casu para hakim.[13]
            Wahyu Affandi S.H. dalam bukunya Hakim dan Penegakkan Hukum, menjelaskan bahwa penegak hukum tidak hanya harus mampu mengatur hukum, melainkan dituntut pula untuk mendisplinkan diri supaya mematuhi hukum, dan adalah sulit untuk dibayangkan berhasilnya usaha untuk menegakkan hukum serta untuk menciptakan kepastian hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat apabila penegak hukum itu sendiri baik dalam tindakannya maupun tingkah lakunya sehari-hari selalu mengabaikan hukum.[14]
            Ahkyar, S.H. mengemukakan pendapat dalam tulisannya yang berjudul Implementasi kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi, bahwa selain adanya berbagai kebebasan, juga ditambah aturan tentang tingkah laku dan kegiatan para hakim, yaitu, semacam code of  conduct. Aturan tentang tingkah laku atau code conduct itu penting, sebab merupakan aturan yang  mengatur tingkah laku para hakim supaya memungkinkan para hakim bersifat responsif terhadap harapan dari masyarakat dan melaksanakan secara konkrit pengaturan yang menggambarkan Who watches the watchmen itu.[15]
            Hakim perupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia”identik” dengan pengadilan itu sendiri. Demikian yang dikatakan Drs. Cik Hasan Bisri, MS. yang dikutip dari bukunya yang berjudul Peradilan Agama Di Indonesia. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa, tuntutan terhadap hakim-sarjana itu lebih besar. Di satu pihak ia dituntut untuk mencerminkan sifat-sifat ke-kyai-an atau ke-ulama-an sebagai tokoh yang arif, yang diharapkan untuk menyelesaikan perkara keluarga yang sangat peka dan mengutamakan perdamaian. Namun di pihak lain ia dituntut untuk menerapkan teknologi pengambilan keputusan hukum, dalam upaya menempatkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai court of law.[16]
            Dari telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, secara lebih jelas yang membedakan dalam pembahasan penelitian ini adalah pada peran seorang hakim pengadilan agama dalam hukum Islam dan sosial serta lingkungan. 
E. Kerangka Teoretik
            Dalam negara hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan hukum, merupakan hal pokok yang  sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tentram, dan tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya adalah Badan Peradilan Agama.[17]        
            Pengadilan adalah lambang kekuasaan. Pengadilan Agama di Indonesia adalah lambang kedudukan Hukum Islam dan kekuatan umat Islam di Indonesia. Sebagai perwujudan dari lembaga peradilan, Pengadilan Agama telah sejak lama ada di Nusantara ini.[18]
            Membicarakan Peradilan Agama di Indonesia erat hubungannya dengan hukum Islam dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama didasarkan pada hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya, hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan telah lama dianut oleh pemeluk agama Islam di Indonesia.[19]
            Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang di bawah Mahkamah Agung, mempunyai wewenang untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman.Yang mempunyai tugas pokok tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya berdasarkan Pancasila.[20]
            Untuk mengembangkan Peradilan Agama, tentunya diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan di berbagai aspek dan sarana, dan sarana kesempurnaan yang paling utama adalah para hakim.[21]Dengan demikian, upaya penegakkan dan pembangunan Hukum Islam diharapkan dapat berhasil secara optimal. Terutama, jika diingat, bahwa Hakim Pengadilan Agama merupakan soko dasar dari upaya tersebut.
            Dalam hukum Islam, para ulama sepakat bahwa seorang hakim boleh menangani kasus yang berkaitan baik itu menyangkut Haqqul Lillah(hak-hak yang menyangkut urusan langsung dengan Allah) maupun Haqqul Adami’(hak-hak yang menyangkut urusan dengan manusia). Mereka juga sepakat bahwa keputusan dari seorang hakim tidak dapat menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang halal.[22]Nabi bersabda :
 إنكم تحتصمون الي فلعل بعضكم ان يكون ألحن بحجته من بعض, فأقضي له علي نحو ما أسمع منه, بمن قطعت له من حق أحيه شيئا فإنما أقطع له قطعة من النار. [23]  
            Di samping itu, dari berbagai literatur fikih dapat disimpulkan, bahwa tugas pokok seorang hakim adalah, menetapkan hukum syara’ pada suatu perkara secara mengikat untuk menyelesaikan sengketa. Batasan tersebut menyangkut dengan tugas pokok seorang hakim. Dalam sejarah peradilan Islam, tugas hakim dalam perkembangannya di samping tugas pokok tersebut, pernah diberi kewenangan tambahan yang bukan menyelesaikan suatu perkara. Umpamanya, menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengurusan Baitul-mal, mengangkat pengawas anak yatim, dan pernah pula sebagai pemimpin perang. Dari batasan itu cepat dipahami bahwa pada diri seorang hakim harus terdapat dua kemampuan, yaitu kemampuan untuk menguasai hukum yang berkaitan dengan ijtihad istimbaty, dan kemampuan untuk menerapkannya.[24] 
            Hukum dan masyarakat mempunyai hubungan yang bersifat timbal-balik, “dialektis”. Hukum memberikan penilaian terhadap masyarakat mengenai kedudukan yang mereka tempati, juga mengarahkan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan dalam kedudukan tertentu tersebut. Akan tetapi, agar penilaian tersebut efektif, hukum membutuhkan dasar-dasar sosial. Apabila dasar-dasar sosial tersebut berubah (diubah), karena merupakan salah satu aspek budaya yang oleh karenanya bersifat “fana”, maka perubahan di dalam sistem penilaianpun seringkali terjadi.
            Terjadinya ketimpangan antara ukuran yang diusulkan dengan kenyataan yang dihadapi di dalam pergaulan masyarakat dapat diartikan sebagai masalah sosial. Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, dalam beberapa hal penting, masalah sosial tersebut berhubungan dengan peran yang dilakonkan oleh Hakim Pengadilan Agama. Hakim Pengadilan Agama memberi bentuk terhadap hubungan-hubungan sosial dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa peranan Hakim Pengadilan Agama adalah memelihara keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum lainnya.
            Penegakkan hukum merupakan salah satu lembaga yang didisain oleh manusia dalam mengatur hidup dan kehidupannya. Meskipun demikian, tidak ada hukum yang tegak dalam arti kata yang sebenarnya, kecuali serangkaian peranan para penegak hukum yang dibuat dalam satu garis-kontinum yang menghubungkan antara kepastian hukum dan ketertiban hukum.
            Dengan demikian, peranan Hakim Pengadilan Agama dalam upaya penegakkan dan pembangunan Hukum Islam berarti suatu gambaran dan penjelasan umum mengenai masalah dasar dan posisi-relatif Hakim Pengadilan Agama dalam lembaga sosial tersebut, termasuk kemampuannya di dalam menghadapi beban dan tuntutan yang muncul dari perubahan masyarakat.
            Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:
a.       Bab I tentang ketentuan umum Pasal 2,
penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud  dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
b.      Bab IV tentang Hakim dan Kewajibannya Pasal 28 ayat (1)
 Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penjelasan:
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
            Dalam hukum Islam, hakim juga wajib menyamakan kedudukan antara kedua belah pihak yang bersengketa dalam persidangan, harus mendengarkan penjelasan keduanya dalam menyelesaikan masalah tidak hanya satu pihak, untuk memulai persidangan, seorang hakim harus memulai dari penggugat untuk menjelaskan permasalahannya apabila orang yang tergugat itu mengingkarinya. 
            Oleh karena itu, tegak dan berwibawanya Hukum Islam ditentukan oleh keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum itu sendiri, yaitu: komponen perangkat hukum, komponen penegak hukum dan komponen kesadaran hukum.
            Mengingat, bahwa Hakim Pengadilan Agama merupakan bagian integral dari  komponen penegak hukum, perubahan masyarakat merupakan realitas sosial yang berlaku di setiap kurun waktu dan tempat, serta penggunaan perangkat hukum (formal) mempunyai batas-batas penggunaan tertentu, maka, sesuai dengan pemahaman tersebut, muncul suatu teori: pemunculan Hakim Pengadilan Agama pada struktur masyarakat teratas dimungkinkan oleh kemampuan Hakim Pengadilan Agama dalam menjawab hakikat permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya, “legitimasi peranan”.
F. Metode Penelitian
     1. Jenis Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan dan membantu pemahaman.
     2. Sifat Penelitian
            Penelitian bersifat Deskriptif Analitik. Deskriptik adalah metode yang menggunakan pencarian fakta dengan intrepretasi yang tepat, sedang analisis adalah menguraikan sesuatu dengan cermat dan terarah.[25]Dengan menggunakan metode ini, diharapkan peranan Hakim Pengadilan Agama akan tergambarkan dengan sejelas mungkin.
     3. Pengumpulan Data
            Penelitian dalam penulisan skripsi ini jenisnya adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang relevan dengan pembahasan. Data primer yaitu buku-buku yang ada kaitannya langsung dengan masalah yang akan dibahas, seperti Hakim dan penegakan Hukum, Hukum, Hakim, dan Keadilan Tuhan: Kumpulan Catatan Hukum dan Peradilan di Indonesia, Peradilan Agama di Indonesia dan Undang-undang Nomor : 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman  serta yang lain-lainya. Sedang data sekunder yaitu studi-studi yang relevan dengan pembahasan dan membantu pemahaman dalam penulisan ini.
     4. Analisis Data
            Setelah data-data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis dan diinterpretasikan dengan pendekatan yang telah ditentukan. Adapun kerangka berfikir yang digunakan adalah:
a.       Induksi, yaitu mengamati dan mempelajari data yang telah diperoleh yang masih bersifat kongkrit dan berdiri sendiri untuk ditarik pada generalisasi yang bersifat umum. Artinya, penyusun berusaha memaparkan peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosial, kemudian melakukan analisa sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum. 
b.      Deduksi, yaitu bertitik tolak dari kaidah-kaidah yang bersifat umum kemudian dianalisa berdasarkan data yang bersifat khusus. Artinya, ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam nas dan undang-undang dijadikan sebagai pedoman untuk menganalisa status peran Hakim Pengadilan Agama dalam hukum Islam (Positif Legality) dan sosio kultur.
     5. Pendekatan Masalah
                  Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
a.       Yuridis, yaitu pendekatan dari segi hukum atau peraturan-peraturan yang tertulis, seperti UU No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini.
b.      Normatif, yaitu pendekatan melalui norma-norma yang terdapat dalam ajaran Islam (al-Qur’an dan hadis), terutama yang berkaitan dengan Hakim Pengadilan Agama sebagai pembenar dan pemberi norma terhadap masalah yang menjadi bahasan, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa sesuatu itu boleh atau selaras atau tidak dengan ketentuan syari’at.
c.       Sosiologis, yaitu pendekatan yang diupayakan dengan melihat fakta, gejala serta perubahan-perubahan sosial, khususnya peran Hakim Pengadilan Agama yang merupakan obyek penelitian ini. 
G. Sistematika Pembahasan
            Sacara keseluruhan isi penelitian ini terdiri dari lima bab. Untuk lebih mudahnya penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
            Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
            Bab dua memberikan ulasan tentang Hakim Pengadilan Agama. Ulasan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kedudukan masalah peranan Hakim Pengadilan Agama. Uraian bab ini meliputi, Hakim Pengadilan Agama secara umum dan tugas, fungsi, kedudukan serta kewajiban hakim di lingkungan badan Peradilan Agama.                                  
            Bab tiga dikhususkan untuk menjelaskan Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio kultur. Penjelasan ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi hukum Islam dalam kehidupan sosial. Bab ini meliputi, Hukum Islam dan pranata sosial, Hukum Islam dan Organisasi Sosial dan Hukum Islam, sistem Hukum Nasianal dan Peradilan Agama.
            Bab empatmerupakan inti atau substansi dari keseluruhan penelitian (skripsi) ini. Bab ini membahas tentang peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosio Kultur. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh peranan Hakim Pengadilan Agama dalam hukum Islam (positif legality) dan sosio kultur serta pendapat para ahli hukum (positif). Dalam bab ini akan dibahas melaui beberapa sub, yaitu gagasan efektifikasi hukum Islam, hukum Islam dan hukum yang hidup, perubahan pola keluarga; masalah peranan hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Agama sosiokratis sebagai alternatif pemecahan.
            Bab lima memuat beberapa kesimpulan dan  saran-saran sebagai penutup sekaligus bab terakhir dalam penulisan skripsi ini.
            Demikianlah sistematika dan garis besar pembahasan yang akan penyusun  tulis dalam penulisan skripsi serta untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan isi skripsi.
BAB II
DISKRIPSI UMUM TENTANG HAKIM
PENGADILAN AGAMA
A. Hakim Pengadilan Agama
            Hakim berasal dari kata حكم – يحكم – حاكم : sama artinya dengan qadi yang berasal dari  kata قضي – يقضي – قاض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.[26]Adapun pengertian menurut syar’a yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hokum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan,[27]sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qadi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.[28]Hakim sendiri adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
            Sedangkan dalam undang-undang kekeuasaan kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
            Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharpkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya meneurut undang-undang yang berlaku.   
Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan.[29]Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasa kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.[30]
            Nabi Muhammad SAW juga memberikan kriteria sifat-sifat para hakim, beliau bersabda :
القضاة ثلاثة: إثنان في النار, وواحد في الجنة. رجل عرف الحق فقضى به فهو في الجنة, ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار في الحكم فهو في النار, ورجل لم يعرف الحق فقضى للناس على جهل فهوالنار.[31]
            Di Indonesia, idealisai hakim itu tercermin dalam simbol-simbol kartika (takwa), cakra (adil), sari(berbudi luhur), dan tirta (jujur).[32]Sifat-sifat yang abstrak itu dituntut untuk duwujudkan dalam bentuk sikap hakim yang kongkret, baik dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Hal itu merupakan kriteria dalam melakukan penilaian terhadap prilaku hakim. Sikap dalam kedinasan itu mencakup: 1. Sikap hakim dalam persidangan, 2. Sikap hakim terhadap sesama sejawat, 3. Sikap hakim terhadap bawahan atau pegawai, 4. Sikap hakim terhadap atasan, 5. Sikap pimpinan terhadap bawahan atau rekan hakim, dan 6. Sikap hakim terhadap Instansi lain.[33]Ini juga sesuai dengan Firman Allah SWT :
ان الله يأمركم ان تؤدوا الامنت الى اهلها وإﺫا حكمتم بين الناس ان تحكموا بالعدل ان الله نعما يعظكم به ان الله كان سميعا عليما.[34]
            Sifat-sifat yang abstrak itu ditransformasikan ke dalam persyaratan hakim sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Ia ditransformasikan  ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
            Menurut ketentuan pasal 13 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, untuk dapat diangkat menjadi hakim pada pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Warga Negara Indonesia.
  2. Beragama Islam.
  3. Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Setia kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
  5. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI”, atau organisasi terlarang lainnya.
  6. Pegawai Negeri.
  7. Sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.
  8. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
  9.  Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
            Kesembilan persyaratan itu menunjukkan suatu perpaduan antara produk pemikiran fuqaha dengan ketentuan yang berlaku secara umum bagi hakim pada pengadilan tingkat pertama. Secara umum persyaratan hakim pada semua badan peradilan adalah sama. Hal itu terlihat dalam tujuh dari sembilan persyaratan, yang juga harus dipenuhi oleh calon hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan syarat kedua dan ketujuh hanya berlaku bagi calon hakim pada pengadilan dan lingkungan Peradilan Agama, yang erat hubungannya dengan produk pemikiran fuqaha. Hal itu konsisten dengan kekhususan badan peradilan itu di Indonesia, yang berwenang mengadili perkara perdata tertentu menurut hukum Islam di kalangan orang-orang yang beragama Islam.
            Adapun tentang status kepegawaian hakim, sesuai dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Terhadap UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, maka Korps kehakiman diberikan kewenangan untuk mengelola organisasi, administrasi dan keuangan badan pengadilan (termasuk pembinaan SDM hakim), yang tadinya di bawah kewenangan Departemen kepada Mahkamah Agung.[35]Peraturan ini juga masih tetap berlaku dalam UU No. 4 Tahun 2004 pada pasal 13 ayat (1) sebagai perubahan atas UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, dan ayat (3) yang menyatakan ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masaing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.[36]Dan perubahan status kepegawaian hakim pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, dari pegawai negeri sipil (PNS) menjadi pejabat negara.[37]
B. Tugas, Fungsi, Kedudukan, dan Kewajiban Hakim di Lingkungan Badan Peradilan Agama
            1. Tugas hakim
Dalam peradilan, tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Dengan demikian yang menjadi tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelasaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
            Dari banyaknya masalah yang ada, tidak semuanya ada peraturan perundang-undangannya yang mengatur masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah hal ini hakim tidak perlu untuk selalu berpegang pada peraturan-peraturan yang tertulis saja, dalam keadaan demikian tepatlah apabila hakim diberi kebebasan untuk mengisi kekosongan hukum. Untuk mengatasi masalah tersebut hakim dapat menyelesaikannya dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang dikenal dengan hukum adat. Sehingga dengan demikian tidak akan timbul istilah yang dikenal dengan sebutan kekosongan hukum. Kewenangan hakim untuk melakukan hal demikian ini sesuai pula dengan apa yang telah ditentukan dalam pasal  16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
            Dengan melihat kenyataan di atas, maka tampak jelas bahwa dalam hal ini hakim harus aktif dari permulaan sampai akhir proses, bahkan sebelum proses dimulai, yaitu pada waktu penggugat mengajukan gugatan, hakim telah memberikan pertolongan kepadanya. Sedangkan setelah proses berakhir, hakim memimpin eksekusi.
            Aktifnya hakim dapat dilihat dari misalnya dengan adanya usaha dari hakim untuk mendamaikan dari kedua belah pihak. Bentuk yang lain misalnya, tindakan hakim untuk memberikan penerangan selayaknya kepada para pihak yang berperkara tentang upaya-upaya hukum apa yang dapat mereka lakukan, atau tentang pengajuan alat-alat bukti, sehingga dengan demikian pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar.
            Selain bersifat aktif, hakim bersifat pula pasif, dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadilan. Dalam hal ini, para pihak dapat secara bebas mengakhiri sengketa yang telah diajukan ke muka pengadilan, sedang hakim tidak dapat menghalang-halanginya, hal ini dapat dilakukan dengan jalan perdamaian atau pencabutan gugatan. Dengan demikian hakim tidak menentukan luas dari pokok sengketa, yang berarti hakim tidak boleh menambah atau menguranginya.
            Dari sini dapat disimpulkan, bahwa hakim bersifat aktif kalau ditinjau dari segi demi kelancaran persidangan, sedangkan hakim bersifat pasif kalau ditinjau dari segi luasnya tuntutan.
            Tugas hakim pengadilan agama di dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan.[38]
            Dalam penjelasan atas Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1, dijelaskan:
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
            Dicantumkannya pernyataan itu pada pada penjelasan undang-undang dimaksudkan agar mata, hati, dan telinga hakim terbuka terhadap berbagai tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, dalam melaksanakan kewajibannya, ia tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan keadilan yang diucapkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
            Disamping yang lahiriyah, terdapat tanggung jawab hakim yang bersifat batiniah, yaitu:
Bahwa karena sumpah jabatannya, dia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, kepada diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam Undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan bahwa pengadilan dilakukan, ‘Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. [39]
            2. Fungsi Hakim
            Fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesunggyuhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa,[40]melainkan dari itu harusdiselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa. Artinya hakim pengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas.
Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih derdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.    
3. Kedudukan Hakim
Kedudukan hakim adalah sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.[41]Hakim juga harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman dalam bidang hukum, dan bagi soerang hakim dituntut dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
4. Kewajiban Hakim
Adapun kewajiban hakim menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004 sebagi pengganti UU No. 14 tahun 1970 adalah:
  1. Memutus demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan : a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 4 ayat 1).
  2. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (pasal 28 ayat 1).
  3. Dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman, hakim wajib memberhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya (pasal 28 ayat 2).
Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk, baik perkara tersebut telah di atur dalam undang-undang maupun yang tidak terdapat dalam ketentuannya. Di sini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya, hakim harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undanguntuk memeriksa dan menggali perkara dengan penilaian yang obyektif pula, karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh memihak salah satu pihak.
C. Kewenangan Pengadilan Agama
            Dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradialn Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi.[42]Pada masing-masing lingkungan peradilan itu memiliki cakupan dan wewenang sendiri-sendiri untuk mengadili (atributie van rechtmacht), dan ditentukan oleh oleh bidang yurisdiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.
            Kekuasaan atau wewenang pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas wewenang relative (relative competentie) dan wewenang mutlak (absolute competentie).[43]Wewenang relative berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relative Pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan undang-undang.
            Daerah hukum dari Pengadilan Agama meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, dan daerah hukum dari Pengadilan Tinggi Agama Agama meliputi wilayah propinsi.
            Sedangkan wewenang mutlak berkenaan dengan jenis perkara dan jenjang pengadilan. Wewenang Pengadilan Agama itu diatur dalam Bab III pasal 49 sampai dengan pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. dan di dalam ketentuan pasal 49 dinyatakan:
(1)      Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. wakaf dan shadaqah.
(2)      Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3)      Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan masing-masing bagian ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG
HUKUM ISLAM DAN SOSIO KULTUR
A. Hukum Islam Dan Pranata Sosial
1.  Pembidangan Hukum Islam
            Menurut Mohammad Daud Ali, sebagaimana dikutip oleh Cik Hasan Bisri, Hukum Islam memiliki dimensi ganda, yaitu syari’ah dan fiqh.[44]Wujud hukum Islam yang sistematis dan rinci adalah fiqh, suatu hasil pemikiran fuqaha yang tersebar secara luas di dalam kitab-kitab fiqh. Secara garis besar isi kitab fiqh itu meliputi empat bidang, yaitu ibadah, munakahah, mu’amalah, dan jinayah. Rubu’ ibdah, merupakan penataan hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Rubu’ munakahah, merupakan penataan hubungan antara manusia dengan lingkungan keluarga. Rubu’ mu’amalah, merupakan penataan hubungan antara manusia dengan pergaulan hidup masyarakat. Rubu’ jinayah, merupakan penataan pengamanan dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.[45]
            Selanjutnya pembidangan fiqh mengalami perkembangan, dalam arti mengalami perluasan dan pendalaman. Pengembangan itu ada hubungannya dengan pranata-pranata sosial. A. Djazuli, memilih pembidangan fiqh secara lebih rinci meliputi: 1. ibadah, 2. ahwal al-syahsiyah(perkawinan, kewarisan, wasiat, dan wakaf), 3. mu’amalah (dalam arti sempit), 4. jinayah, 5. aqdhiyah (peradilan), dan 6. siyasah(dusturiyah, maliyah, dan dauliyah).[46]Pembidangan fiqh tentang berbagai bidang kehidupan manusia itu, merupakan perwujudan pembidangan hukum Islam dalam penataan kehidupan masyarakat manusia yang bersumber dari kehendak Allah SWT, sebagaimana termaktub di dalam berbagai ayat al-Qur’an.
            Pembidangan hukum Islam itu sejalan dengan perkembangan pranata-pranata sosial, yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, semakin beragam kehidupan manusia, semakin berkembang pemikiran fuqaha dan pembidangan hukum Islam pun mengalami perkembangan. Apa yang kemudian disebut sebagai sebagai “fiqh Sosial”,[47]merupakan produk pemikiran seorang faqih dalam memberikan makna Islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata sosial di Indonesia. Demikian halnya, fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia merupakan produk pemikiran fuqaha dalam merespon dan memberi arah terhadap perkembangan pranata sosial di Indonesia.
            Dan dalam perkembangan lebih lanjut hukum Islam yang termaktub di dalam ayat-ayat ahkam, hadis-hadis ahkam, dan, terutama, di dalam kitab-kitab fiqh dipahami melalui pengajaran, dihayati, dan sebagian diamalkan secara terus-menerus. Dalam tahapan berikutnya, mengalami internalisasi ke dalam pranata-pranata sosial yang tersedia di dalam masyarakat. Terjadi alokasi hukum Islam ke dalam pranata sosial itu, sehingga menjadi landasan dan memberi makna serta arah dalam kehidupan masyarakat  Islam Indonesia. Hasil dari proses itu, yang terjadi dalam waktu berabad-abad, berkembang berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman.
2.  Pengembangan Hukum Islam dalam Pranata Sosial
            Pranata-pranata sosial itu dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, ia merupakan aktualisasi hukum Islam yang tertumpu kepada interaksi sosial yang mempola setelah mengalami pergumulan dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam pergumulan itu terjadi adaptasi dan modifikasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal. Atau dengan perkataan lain, proses sosialisasi dan institusionalisasi hukum Islam terjadi dalam hubungan timbal balik dengan kaidah-kaidah adat yang dianut. 
            Kedua, pranata-pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan kepada keyakinan (kesepakatan benar atau salah), nilai (kesepakatan baik dan buruk) dan kaidah (kesepakatan yang mesti dilakukan dan mesti ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia merupakam perwujudan ‘amal shalih sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial.
            Dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia dewasa ini, dikenal berbagai pranata sosial yang bercorak keislaman. Pranata-pranata itu meliputi berbagai bidang kehidupan, yang senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Ada pranata yang amat dekat dengan keyakinan yang dianut, sehingga memiliki kepekaan yang sangat tinggi. Ada pula yang relatif agak jauh dari keyakinan, sehingga relatif luwes dan netral. Selanjutnya ia mengalami kongkretisasi di dalam struktur masyarakat, dalam berbagai bentuk organisasi formal sebagi wahana untuk memenuhi kebutuhan hidup secara kolektif. Kenyataan itu menunjukkkan bahwa di dalam masyarakat itu terjadi penyerapan produk teknologi sosial (pengorganisasian masyarakat) mutakhir, dan dapat dijadikan saluran untuk mengaktualisasikan hukum Islam ke dalam kehidupan nyata. Pranata sosial yang beraneka ragam itu, pada kenyataannya merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling menunjang namun masing-masing memiliki ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan.
            Pranata pribadatan berfugsi untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebagai hamba (‘abd), dalam melakukan hubungan dengan Allah SWT., karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون. ماأريد منهم من رزق وما اريد ان يطعمون.[48]
            Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan, yang meliputi persyaratan, komponen dan kaifiahnya. Komponen dan kaifiyah kegiatan peribadatan, seperti salat, saum, haji dan umrah bersifat tetap, namun terdapat nuansa dan keragaman dalam pelaksanaannya. Demikian pula dalam penyelenggaraannya mengalami keragaman dan perkembangan.
            Pranata pendidikan, berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dalam mensosialisasikan keyakinan, nilai-nilai, dan kaidah-kaidah yang dianut oleh suatu generasi berikutnya. Selanjutnya, sosialisasi itu meliputi informasi-informasi baru dan berbagai jenis keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Pada mulanya proses itu hanya dilakukan dalam lingkungan keluarga (domestic), sebagai pelaksanaan perintah Allah untuk menghindarkan diri dan keluarga dari api neraka. Kemudian, sebagian tugas itu diserahkan kepada masyarakat luas (public).
ياايها اﻠﺫين امنوا قوا انفسكم واهـليكم نارا وقودها الناس والحجارة عـليها مليٍكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما امرهم ويفعـلون ما يؤمرون.[49]
            Pranata keilmuan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dalam mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, yaitu ayat-ayat qauliyahdan ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat al-Alqur’an yang pertama kali diterima oleh Rasulullah SAW memberikan petunjuk tentang keharusan “membaca” ciptaan Allah SWT. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan tentang sumber, substansi, metode dan kegunaan hasil pemahaman tersebut. Kedua ayat ini dideduksi dari teks al-Qur’an dan al-Hadis dan diinduksi dari berbagai gejala alamiah, prilaku manusia dan kebudayaan. Hasil pemahaman itu disebarluaskan dalam berbagai karya ilmiah, di antaranya dalam kitab-kitab fiqh dalam berbagai aliran pemikiran (madzhab).
اقرأ باسم ربك اﻠﺫي خلق . خلق الانسان من عـلق . اقـرأ وربك الاكـرم . اﻟﺫي عـلم بالقلـم . عـلم الانسان مالم يعـلم .[50]
            Adanya berbagai madzhab fiqh umpamanya, menunjukkan bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia dikenal pranata keilmuan, dengan ulama sebagai sentralnya. Ia merupakan wahana pengembangan intelektual yang dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu secara konsisten. Kegiatan itu berlangsung secara berkelanjutan, yang kemudian di kalangan antropolog dikenal sebagai tradisi besar (great tradition).[51]Oleh karena itu, di kalangan umat Islam Indonesia dikenal pranata keulamaan sebagai simbol pewaris para nabi. Ulama, sebagai kelompok elit dalam komunitas Islam Indonesia memiliki karakteristik sendiri serta memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan masyarakat bangsa Indonesia.
            Pranata penyiaran, berfungsi untuk memenuhi kebutuhan penyebarluasan ajaran Islam di dalam masyarakat, yang kemudian dikenal sebagi pranata dakwah. Kebutuhan yang bersifat normatif itu, dilakukan penataan tentang para pelaku (da’i), bahan penyiaran, kelompok sasaran, serta metode dan medianya. Penyiapan tenaga da’i dilakukan melalui proses kaderisasi (pendidikan, pelatihan dan penguasaan). Seleksi bahan penyiaran untuk berbagai kelompok sasaran. Dan pembentukkan berbagai saluran, melalui organisasi dakwah seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Majelis Dakwah Islamiyah.
            Pranata politik berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dalam mengalokasikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam melalui artikulasi politik di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Artikulasi politik itu dilakukan melalui infra dan supra struktur politik. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan kehidupan politik melalui keputusan kekuasaan negara. Nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam terinternalisasi ke dalam GBHN dan peraturan perundang-undangan.
            Pranata hukum berfungsi untuk memenuhi kebutuhan  ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan kehidupan bersama yang mengacu kepada patokan tingkah laku yang disepakati, yaitu hukum. Patokan tersebut dirumuskan dan ditetapkan oleh yang memiliki otoritas di dalam masyarakat itu. Dalam patokan tingkah laku itu diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban individual dan kolektif. Di samping itu, adanya pengaturan mekanisme hubungan di antara para anggota masyarakat itu. Apabila terjadi perilaku “menyimpang”, ditentukan cara-cara penyelesaiannya. Gagasan hukum Islam, terinternalisasi dalam istilah-istilah hukum dan politik di Indonesia. Hal itu merupakan potensi dalam mengembangkan hukum Islam melalui supra dan infra struktur masyarakat, sehingga tumbuh berbagai pranata hukum seperti hukum, majelis hakim, keadilan, peradilan, mahkamah, tertib hukum, dewan hisbah, komisi fatwa, dan tahkim.
            Pranata ekonomi berfungsi untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa di dalam kehidupan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan berbagai akad dalam pola-pola produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa.
            Pranata kesehatan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan kesehatan secara individual. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan pengaturan tentang  cara dan etika yang digunakan.
            Pranata perawatan sosial berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perawatan sosial bagi kelompok masyarakat tertentu, yang karena keterbatasan sumber daya, memerlukan pelayanan dan perawatan dari kelompok masyarakat lainnya. Hal itu merupakam penjelmaan dari salah satu solidaritas sosial dan tanggung jawab sosial (takaful al-ijtima’iy).[52]
            Pranata kesenian berfungsi untuk memenuhi kreasi dan ekspresi kesenian. Hal itu merupakan bentuk ekspresi nilai-nilai keislaman dalam bentuk seni membaca al-Qur’an, lukis, musik, sastra, kaligrafi, dan arsitektur.        
B. Hukum  Islam dan Organisasi Sosial
            Proses pengembangan hukum Islam di Indonesia, secara garis besar dilakukan melalui tiga saluran. Pertama, melalui pranata-pranata sosial yang tersedia, sebagaimana telah dikemukakan. Kedua, melalui organisasi sosial yang bercorak keislaman. Ketiga, melalui badan-badan kekuasaan negara, yaitu badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif.
            Di dalam masyarakat bangsa Indonesia terdapat beranekaragam organisasi sosial yang dibentuk atas dasar kesamaan agama yang dipeluk. Keragaman itu dapat dilihat dari segi cakupan, orientasi kegiatan, pola rekrutmen anggota, struktur organisasi, pola kepemimpinan, serta afiliasinya dengan administrasi pemerintah. Ada yang bercorak lokal dan otonom, tanpa hierarki, seperti yayasan dan DKM. Ada yang berafiliasi dengan administrasi  pemerintah, seperti Badan Amil Zakat, Infak dan Sadaqah (BAZIS) serta BP4. ada pula organisasi kemasyarakatan, seperti  MUI, NU, Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Seluruh organisasi sosial itu memiliki kesamaan, yaitu berusaha untuk mengembangkan ajaran Islam, terutama hukum Islam, di dalam kehidupan masyarakat, meskipun bentuk dan jenis kegiatannya beraneka ragam.
            Usaha-usaha itu dilakukan dalam bentuk :
  1. pengajaran dan muzakarah, baik melalui saluran pendidikan (pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi) maupun melalui saluran lain.
  2. putusan-putusan (fatwa-fatwa), sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan dari masalah-masalah sosial yang menuntut penyelesaian hukum.
  3. transformasi hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan.
  4. aksi-aksi soaial sebagai perwujudan pelaksanaan hukum Islam di dalam kehidupan masyarakat.
C. Hukum Islam, Sistem Hukum Nasional dan Peradilan Agama.
1.  Politik Hukum Nasional
            Terdapat gejala umum bagi negara-negara yang baru merdeka, yaitu munculnya kehendak untuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah. Hukum warisan kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hukum penggantinya itu, dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami oleh masyarakat dalam negara tersebut. Di samping itu, terdapat kehendak dan usaha untuk memfungsikan hukum sebagai pengendali masyarakat (social control) dan sekaligus sebagai sarana rekayasa masyarakat (as a tool of sacial engeneering). Ia merupakan kongkretisasi nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, yang mampu menampung tuntutan pengembangan masyarakat selaras dengan tuntutan perubahan sosial secara global. Kehendak itu dinyatakan dalam politik hukum nasional., yaitu suatu keputusan kekuasaan negara mengenai hukum yang berlaku secara nasional dan kearah mana sistem hukum yang dianut akan dikembangkan.
            Di dalam masyarakat bangsa Indonesia, politik hukum itu dimuat dalam GBHN, yang menjadi salah satu sumber hukum dalam sistem hukum nasional. Politik hukum itu, antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. Upaya ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum, khususnya hukum perdata merupakan hal yang sangat pelik. Ia dihadapkan kepada kemajemukkan masyarakat bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman agama dan etnik. Ia juga dihadapkan kepada perubahan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan yang direncanakan dan dikendalikan secara nasional. Oleh karena itu, unifikasi hukum dituntut untuk memperhatikan dan menampung keanekaragaman budaya dan kesadaran hukum masyarakat yang mengacu kepada keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh mereka.
2.  Hukum Islam, Sistem Hukum Nasional dan Peradilan Agama
            Dalam keadaan corak hukum yang majemuk itu, ada sebuah pertanyaan bagaimana sistem hukum nasional itu dan di mana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional?. Sehingga muncul keprihatinan dari para akademisi dan praktisi hukum tentang perkembangan hukum nasional.
            Keprihatinan itu merupakan hal yang wajar. Pertama, keprihatinan itu merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial terhadap adanya kesenjangan antara “yang diharapkan”, bahkan “yang seharusnya”, dengan apa “yang senyatanya” dialami, yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Kedua, dalam proses perubahan sosial yang direncanakan secara nasional dan dititikberatkan pada bidang ekonomi (dalam pembangunan nasional), terjadi perubahan pranata-pranata sosial secara cepat dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Perubahan itu menuntut pengendalian hukum, agar perubahan masyarakart itu terhindar dari keadaan yang anarkis. Namun dalam kenyataannya tidak. Ketiga, determinasi perubahan itu diambil alih oleh  faktor ekonomi dan teknologi yang secara komulatif tercermin dalam proses industrialisasi yang ekspansif. Hal terakhir berakibat terhadap peranan (deskriftive role) hukum, yang sejak awal kemerdekaan sangat dominan, terdistribusi ke dalam pranata lain, terutama ekonomi dan teknologi. Dalam keadaan demikian, maka fungsi dan wibawa hukum mengalami kemerosotan.
            Jawaban atas pertanyaan pertama dapat diketahui dari pelaksanaan politik hukum nasional secara konsisten. Adapun politik hukum nasional dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJPT II), sebagaimana dirumuskan dalam GBHN 1993 adalah sebagai berikut: “Terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum”.
            Menurut Bagir Manan, sebagaimana dikutip oleh Cik Hasan Bisri,[53]sistem hukum nasional mencakup tiga komponen utama, yaitu pembentukan hukum (law making), isi hukum (law subtance) yang terdiri atas asas dan kaidah hukum, dan penerapan dan penegakkan hukum (law applying dan law enforcing). Ketiga komponen itu merupakan satu kesatuan yang saling mendukung. Di samping itu, sistem hukum nasional saling tergantung dengan sistem lainnya (atau subsistem dalam sistem masyarakat bangsa), yaitu sistem politik, sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan lain-lain.
            Dalam pembentukkan hukum nasional, antara lain bersangkut paut dengan sumber hukum, bentuk hukum yang dikembangkan, prosedur pembentukkan hukum, dan peranan hakim sebagai salah satu unsur pembentuk hukum tertulis. Pembentukan hukum nasional diletakkan pada satu kesatuan sumber hukum, yaitu Pancasila dan UUD 1945. disamping itu, dalam pembentukan hukum dituntut untuk memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di dalam masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, maka dalam pembentukan hukum dituntut untuk memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan tatanan hukum tersebut meliputi hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam.[54]Dengan demikian, maka hukum Islam menempati kedudukan sebagai salah satu tatanan hukum yang berlaku di dalam masyarakt dan menjadi bahan baku dalam pembentukan hukum nasional. Asas dan kaidah hukum Islam berpeluang untuk ditransformasikan ke dalam hukum nasional.
            Transformasi Hukum Islam dalam pembentukan hukum tertulis, juga dilakukan dalam bentuk produk pengadilan, baik melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum maupun melalui Pengadilan dalan lingkungan Peradilan Agama[55]dan dalam bentuk lain yang dilakukan oleh organisasi sosial.  Dengan demikian, maka hakim mempunyai kedudukan yang penting dalam  pembentukan hukum tertulis, bukan hanya “sebagai mulut” dari peraturan perundang-undangan. Hakim wajib melakukan ijtihad dalam pembentukan hukum yang digali dari nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagaiman diatur dalam pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004. keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi dalam sistem hukum nasional. Hasil ijtihad hakim itu dapat diidentifikasi sebagi hukum positif tertulis atas keputusan pejabat. Karena  kemampuan berijtihad mempunyai hubungan erat dengan tugas seorang hakim.[56]  
            Penerapan dan penegakan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tergantung kepada empat unsur sebagai satu kesatuan. Pertama, unsur perangkat hukum nasional dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis yang menjamin kepastian hukum, perlindungan hukum, dan ketertiban hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.
            Kedua, unsur aparatur penegak hukum yang memiliki kemampuan untuk menerapkan dan menegakan hukum. Kemampuan itu meliputi pemahaman dan keterampilan penegak hukum sebagaimana dimaksudkan dalam unsur pertama. Di samping itu, penegak hukum, terutama hakim, berkewajiban memahami, menggali, dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
            Ketiga, unsur kesadaran hukum masyarakat, atau kemauan masyarakat untuk menghargai dan mentaati hukum yang berlaku. Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk dan mengalami perubahan secara cepat dan menyeluruh, kesadaran hukum itu beraneka ragam, bahkan memungkinkan memiliki sifat mendua (ambivalensi) terhadap hukum. Di satu pihak mereka memiliki satu keterikatan kepada hukum yang terikat dengan aspek-aspek lokal atau primordial, namun di pihak lain dituntut untuk memenuhi hukum nasional. Hal itu amat tergantung kepada akses nilai-nilai yang dianut terakomodasi dalam proses pembentukan hukum.
            Keempat, unsur sarana dan prasarana dalam penerapan dan penegakan hukum. Hal ini menyangkut berbagi aspek, di antaranya kemudahan yang tersedia dalam penegakan hukum, baik bagi aparatur penegak hukum maupun bagi masyarakat. Kemudahan itu di antaranya adalah kelembagaan yang memungkinkan penerapan dan penegakan hukum, seperti penyuluhan hukum, penasihatan dan bantuan hukum, dan penyelenggaraan peradilan yang dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Di samping itu kemudahan dalam bentuk fisik, seperti pertimbangan antara jumlah aparatur penegak hukum dengan jumlah anggota masyarakat, tempat penerapan dan penegakan hukum, sarana dan prasarana komunikasi yang dibutuhkan, dan aspek-aspek ekonomi yang mendukung terhadap penyelenggaraan penerapan dan penegakan hukum, termasuk di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.       
BAB IV
PERANAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
DALAM
HUKUM ISLAM (POSITIF LEGALITY) DAN SOSIAL
A. Gagasan Efektifikasi Hukum Islam
            Keterkaitan antara sistem hukum dengan mesyarakat menunjukan, bahwa tampaknya di mana pun, tidak ada suatu sistem hukum yang lahir ke dalam suatu “kehampaan”. Masing-masing terlahir ke dalam suatu kerangka ruang, kerangka kurun, dan kerangka sosial-budaya tertentu. Singkatnya, setiap sistem hukum mempunyai konteks lingkungan tertentu.
            Pengetahuan tentang identitas yang sesungguhnya dari suatu sistem hukum berarti pula suatu pengetahuan tentang sistem hukum tersebut di dalam konteks lingkungan yang sesungguhnya pula, sebab, dapat diandaikan, bahwa setiap sistem hukum telah mengambil bentuk yang kontekstual, sejak pertama kali ia diterima oleh masyarakat.
            Apabila suatu sistem hukum akan diberlakukan di dalam suatu konteks lingkungan yang lain, maka lingkungan tersebut, mau tidak mau, harus diperhitungkan. Dalam hal ini, jika sistem hukum tersebut akan diberlakukan, serta diterima sesuatu yang baik dan dikehendaki, “sah”.
            Kerangka pikir yang demikian, pada gilirannya akan mengandaikan suatu kenyataan, bahwa identitas yang sesungguhnya daripada suatu sistem hukum akan mengambil bentuk pemberlakuan yang berbeda, sesuai dengan konteks lingkungan yang dihadapinya. Meskipun dapat dikatakan, bahwa suatu sistem hukum telah mengubah konteks lingkungan yang lain. Akan tetapi, tampaknya perubahan demikian tidak pernah tuntas. Artinya struktur dan prosedur hukum tersebut tersebar secara tidak mereta di dalam masyarakat, bahkan di dalam sektor-sektor masyrakat itu sendiri. Dengan demikian, dapat  digambarkan , bahwa suatu sistem hukum telah mengubah suatu konteks yang lain “sedikit” atau “banyak”.
            Dapat dipastikan, bahwa hukum Islam lahir sebagai tesis alternatif dari keadaan lingkungan yang hidup dan berkembang pada waktu itu, “lingkungan Jahiliyyah”. Oleh karena itu, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk senantiasa “membaca”. Dalam hal ini membaca realitas sosial yang mengitarinya.
            Kelahiran hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari proses dialogis antara Nabi Muhammad SAW dengan lingkungan yang dihadapinya. Dengan kata lain, keakraban Nabi Muhammad SAW dengan lingkungannya tampak di dalam hukum Islam itu sendiri, sebagai salah satu wujud penegasan identitas diri selaku Nabi dan Rasul.
            Berkenaan dengan hal ini, maka hukum Islam membawa ajaran yang berwatak kemasyarakatan, dan sepenuhnya disandarkan pada lembaga kemasyarakatan untuk menerapkannya di dalam kehidupam manusia, bahkan di dalam kehidupan yang paling meditatif dan kontemplatif sekalipun.
            Pendekatan kelembagaan demikian, pada gilirannya, mendorong hukum Islam untuk senantiasa berhadapan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Dengan sendirinya, termasuk kebutuhan untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan peradilan agama di dalam lingkungan yang dialaminya.
            Dalam proses kenabian dan kerasulan, terlihat adanya suatu hubungan timbal-balik antara turunnya wahyu dengan lingkungan yang dihadapi. Yang dikenal dengan istilah “asbabun nuzul”.
            Oleh karena itu, dalam tulisan ini, dapat dikemukakan bahwa hukum Islam terbentuk dari “atas”, sekaligus dari “bawah”. Artinya Hukum Islam terwujud, baik oleh aspek-aspek yang bersifat “tasri’iyah” maupun oleh aspek-aspek yang bersifat “wad’iyah”. Hukum Islam terjadi karena “pewahyuan Ilahi”, akan tetapi dalam waktu yang sama, terjadi karena “ responsi manusia” atas wahyu Ilahi tersebut.
            Aspek pertama, sebagaiman diungkapkan oleh Maulana Muhammad Ali,[57]wahyu dalam bentuk rendah merupakan pengalaman universal manusia. Hal demikian berarti pula, bahwa wahyu tersebut mengungkapkan “realitas yang benar” mengenai kehidupan manusia. Oleh karena wahyu memiliki sifat Maha Besar, maka ia luput dari segala kesalahan.
            Jika hukum Islam dilihat dari aspek yang bersifat wad’iyah, sangat dipengaruhi oleh hakikat kejadian manusia itu sendiri, yaitu kekuatan dan kelemahan yang melekat di dalam praktek hidupnya. Dengan kata lain, dapat ditegaskan bahwa aspek wad’iyah dari hukum Islam seringkali salah. Artinya, wahyu yang dibahasakan oleh manusia mempunyai kemungkinan untuk salah atau keliru.
            Hubungan antara wahyu Ilahi dengan konteks lingkungan yang bersifat timbal-balik demikian memungkinkan untuk melahirkan gagasan tentang hukum Islam, termasuk ancang-ancang untuk penyediaan datanya
            Dalam sejarah, hukum  Islam senantiasa berada dalam kedudukan yang khas. Hukum Ialam mempunyai sebuah bentuk yang mencerminkan sebuah lingkungan yang hidup dan berkembang, juga mencerminkan tentang adanya struktur dan prosedur yang ada. Selama kurun tertentu, hukum Islam beralih dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya. Dengan demikian, bagaimana pun rumitnya, hukum Islam merupakan suatu peristiwa yang menjadi bahan penelitian.
B. Hukum Islam dan Hukum yang Hidup
            Pemikiran tentang upaya penegakan dan pembangunan hukum Islam yang sesuai dengan keperluan mendasar dari hajat hidup sebagian besar masyarakat telah dipikirkan sejak lama. Hampir setiap pemikiran yang demikian, langsung atau tidak, mempersoalkan hukum Islam, termasuk upaya penegakannya di lingkungan yang lain. Dengan harapan, masyarakat yang bersangkutan dapat mengambil manfaat, jika perlu untuk diterapkan di lingkungan yang dialaminya. Meskipun demikian, terdapat upaya lain, yaitu dengan mengandaikan “wawasan pribumi”.
            Dengan demikian, dapat difahami bahwa penegakan hukum Islam yang sedang dibahas akan berbeda dengan pembahasan mengenai penegakkan hukum Islam pada masa sebelumnya, masa kolonial. Pada masa itu penegakan hukum Islam tidak lebih dari usaha para penguasa kolonial dalam mempertahankan masyarakat mejemuk, termasuk segala dampak yang ditimbulkannya.
            Konfigurasi nilai yang terdapat di dalam masyarakat terdiri dari: yang asli dan tradisional (dengan yang asing modern). Upaya untuk mengadakan pembaruan di bidang hukum tidak pernah dilaksanakan secara sistematis, yang oleh sebab itu, senantiasa mengalami kegagalan,[58]tepatnya:
usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mengundangkan kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang juga berlaku bagi golongan Bumi Putera (bukan Eropa dan Timur Asing yang tunduk pada Hukum Perdata Eropa) mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Hukum Adat sehingga tak jadi di laksanakan
            Dengan munculnya proses “dekolonisasi” di negara-negara maju dan sedang berkembang, terjadi penumbangan norma-norma yang berlaku secara sistematis untuk diganti dengan norma-norma yang baru. Dengan kata lain, pada saat penguasa merdeka berhasrat untuk mengubah masyarakat menjadi modern,[59]maka muncul nilai baru yaitu “pembangunan”.
     Berkenaan dengan hal ini, Maroelak Sihombing menyatakan,[60]
Ia (baca: pembangunan) juga adalah dalam arti yang lebih dalam titik pusat dambaan dan harapan yang memerdekakan serta menyelamatkan.  Dan dalam pengertian yang sangat penting pembangunan adalah suatu kategori religius.
            Dari kerangka pikir yang demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan dapat menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat, baik dalam arti struktural maupun dalam arti kultural. Dengan kata lain, pembangunan menuntut masyarakat agar  berfikir, bersikap dan berprilaku baru.
            Salah satu cara untuk melembagakan pembanguna adalah melalui perombakan sistem hukum. Yang mana perombakan tersebut, didasarkan pada cita-cita baru. Pada gilirannya, penempatan hukum pada latar belakang pembagunan akan menunjukan ciri-ciri yang harus dipenuhi oleh hukum tersebut, seperti diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo,[61]
1) mempunyai kesadaran lingkungan, artinya, bahwa tindakan dalam penegakan hukum itu hendaknya mengait kepada proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik dan sebagainya; 2) menyadari kedudukan dan kualifikasinya sebagi suatu badan yang harus ikut menggerakan perubahan-perubahan; 3) penegakan hukum di sini akan terlibat kepada masalah-masalah pembuatan hukum daripada hanya sekedar menjadi badan yang melaksanakan saja.
            Dalam keadaan demikian, hukum Islam tidak hanya cukup dipelajari sebagai suatu “law in book”, tetapi harus dipelajari sebagai suatu “law in action”. Artinya, hukum Islam tidak bisa dikonsepsikan sebagai gejala normatif dan otonom, melainkan harus dikonsepsikan sebagai suatu gejala yang secara nyata berkaitan dengan variabel-variabel sosial lainnya, seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.
            Pada saatnya konsepsi yang demikian diharapkan mampu merangsang refleksi perubahan masyarakat secara keseluruhan, juga mampu menampakkan makna perubahan tersebut  bagi masyarakat.
            Meskipun demikian, pada sisi lain, pembangunan menunjukkan adanya ketimpangan-ketimpangan. Wujudiah ketimpangan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa pembangunan lebih berorientasi pada sasaran, sedangkan hukum yang ada, paling tidak, lebih berorientasi pada prosedur. Dengan demikian, sampai tingkat tertentu, hukum akan lebih banyak dirasakan sebagai hambatan bagi kelancaran proses pembangunan.
            Analisa terakhir mengisyaratkan, bahwa pendekatan yang tersedia di dalam upaya penegakan hukum dalam kaitannya dengan proses pembangunan adalah: 1) pendekatan dari atas ke bawah dan 2) pendekatan dari bawah ke atas.
            Masing-masing pendekatan menawarkan permasalahan sendiri. Dalam pendekatan pertama, biasanya cenderung menilai hal-hal yang datang dari bawah sebagai hambatan bagi pembangunan. Sedangkan dalam pendekatan kedua, biasanya cenderung dalam hal-hal yang datang dari bawah sebagi penggerak bagi pembangunan. Oleh karena itu, titik temu yang menghubungkan kedua pendekatan di atas merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi penegakkan dan pembangunan hukum Islam.
            Dalam sistem hukum Indonesia, paling tidak terimbasi oleh tiga pola hukum, yaitu: 1) Hukum Adat, 2) Hukum Islam dan 3) Hukum colonial. Bertolak dari pemahaman ini, maka penggunaan konsep hukum yang hidup atau “living law” dipandang memadai dalam mengadakan pengkajian terhadap upaya penegakkan hukum Islam di Indonesia. Konsekuensi logis dari pengajuan konsep ini adalah pemunculan konsep-tandingan, untuk tidak mengatakannya sebagai pengertian-sisa, yaitu hukum yang mati atau “dode regel”.
            Selain dengan pembedaan demikian, dapat dikatakan bahwa pembedaan di atas tidak akan mampu menanggapi nuansa-nuansa yang mungkin terdapat di dalam mozaik kehidupan hukum di Indonesia. Akan tetapi dapat pula dikatakan, bahwa bagimana pun sederhananya sesuatu perbedaan yang ditujukan untuk mengolah realitas social dipandang sah secara akademis.
            Oleh karena itu, dapat digambarkan bahwa hukum yang hidup merupakan uger-ugeran yang memiliki keberlakuan, baik dalam arti yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Artinya, sebagimana dijelaskan oleh H.M. Syafaat Mintaredja,[62]
(1) mempunyai “juridische gelding” (kekuatan yuridis) artinya apabila pembuatannya dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang kompeten, (2) mempunyai “sociologische gelding” (kekuatan berupa penerimaan masyarakat seluruhnya) dan (3) mempunyai “philosophische gelding” yang tentunya sesuai dengan ukutan sebagai hukum atau sendi hukum yang baik.
           
Atas dasar yang sama, dapat pula dikatakan bahwa tegaknya hukum ditentukan oleh ketiga persyaratan tersebut. Jika tidak, maka hukum tersebut menjadi suatu hukum yang mati, seperti yang ditegaskan oleh Soerjono Soekanto,[63]
apabila hukum berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan bahwa hukum mati tadi hanya merupakan kaidah yang mati saja “dode regel”). Kalau hukum berlaku hanya secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka mungkin hukum tersebut menjadi aturan pemaksa. Akhirnya, apabila hukum tersebut hanya berlaku secara filosofis, maka tadi hanya boleh disebutkan sebagai kaidah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan.
           
Pemahaman demikian dimungkinkan oleh suatu kenyataan, bahwa upaya penegakan hukum Islam melibatkan hukum, baik dalam arti material maupun dalam arti formal. Wujudiah tegaknya hukum Islam tidak dapat diukur dengan banyaknya peraturan tertulis yang dikeluarkan atau luasnya bidang kehidupan yang terjangkau yang hanya mewujudkan penegakkan Hukum Islam dalam derajat formal belaka.
            Dengan demikian, upaya penegakkan hukum Islam berkaitan dengan hal-hal yang bersifat material, yaitu penggarapan mental yang sesuai dengan sifat dan hakikat hukum itu sendiri, dipandang perlu. Sebab, tanpa memperhitungkan hal-hal ini, upaya penegakkan hukum Islam akan menghadapi kesulitan besar, di samping biaya sosial yang tinggi.
            Sesuai dengan keperluan di atas, maka hubungan antara hukum yang hidup dengan hukum Islam akan didekati melalui pemakaian pendekatan kontak- konsepsi. Pada saatnya, melalui pendekatan ini, diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kemampuan masyarakat Indonesia dalam melembagakan Hukum Islam. Artinya, hukum Islam diterima dan dilaksanakan sebagai bimbingan di dalam pergaulan sosial, sebagai hukum yang hidup.
            Dari sini, dapat diketahui bahwa kemampuan untuk melembagakan hukum dari masyarakat dapat berkaitan dengan kemampuan fleksibilitas hukum itu sendiri, demikian pula sebalikna, ketidak mampuan masyarakat untuk melembagakan hukum dapat berkaitan dengan ketidakmampuan fleksibilitas hukum itu sendiri. Bertolak dari pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya diresapi oleh Hukum Islam. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Daniel S. lev,[64]
Hukum Islam tidak diambil alih secara penuh oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana nampaknya tidak pernah dilaksanakan secara sempurna oleh Dunia Islam di mana pun, pada dasarnya pengaruh Islam hanyalah pada masalah keluarga, perkawinan, dan beberapa segi waris — dan dalam hal ini pun masyarakat Indonesia mengambil dan memilih beberapa aturan tertentu yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai kebudayaannya.
           
Menurut Prof. H.M. Daud Ali, di indonesia berlaku hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia itu dapat dibagi dua. Pertama hukum Islam yang berlaku (1) secara normatif, adalah bagian hukum Islam yang mempunyai sangsi atau padahan kemasyarakatan. Pelaksanaannya tergantung kepada kuat lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat normatif itu. Hukum Islam yang berlaku secara normatif tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya.
            Hukum Islam yang (2) berlaku secara formal yuridis adalah (bagian) hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, yang termasuk dalam kategori hukum Islam bidang mu’amalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif karena dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud adalah (misalnya) hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankan secara sempurna dengan misalnya, mendirikan lembaga Peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur sitem peradilan nasional di negara kita.[65]
C. Perubahan Pola Keluarga : Masalah peranan Hakim Pengadilan Agama
            Pola sebuah keluarga didasarkan pada hubungan seumur hidup. Oleh karenanya, keluarga merupakan lembaga kemasyarakatan yang paling konservatif jika dibandingkan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Di dalam keluarga, pola yang satu masih akan tetap ada, sekalipun generasi penciptanya telah tidak ada lagi. Dalam hubungan ini, keluarga sebagai sumber acuan bagi generasi berikutnya dan seterusnya. Dengan demikian, perubahan pola keluarga berjalan lamban.
            Meskipun demikian, gejala serta kecenderungan dari perubahan pola keluarga masih dapat diamati. Seperti hipotesis yang diusulkan oleh William J. Goode,[66]perubahan teknologi atau industri merupakan factor utama dalam keluarga. Terutama, jika diingat, bahwa kemajuan tekologi sejajar dengan kemajuan ekonomi.
            Artinya, sebagaimana ditegaskan oleh Maurice Duverger,[67]revolusi teknologi menghasilkan revolusi ekonomi, yang dikenal dengan peningkatan produksi dan konsumsi. Revolusi ekonomi itu sendiri menghasilkan revolusi kebudayaan.
Pemikiran yang sama juga diungkapkan oleh R. linton,[68]
semakin besar kemungkinannya bagi seseorang di dalam situasi sosio-budayanya untuk mendapat keuntunga ekonomi bagi dirinya, semakin lemah ikatan kelompok kekerabatan besar. Ini dipandang sebagai suatu pendirian yang persentase berlakunya tinggi sekali. Terjadinya moderenisasi kebudayaan yang tadinya tidak mengenal mekanisasi, dengan kemungkinan-kemungkinannya yang tiada taranya bagi individu yang cerdas dan berinisiatif, sudah pasti akan menghancurkan pola organisasi) keluarga yang besar, ini kemungkinan akan menimbulkan serentetan masalah bagi masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat itu harus mengembangkan mekanisme-mekaisme baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan psikologi yang sebelumnya tertampung oleh organisasi keluarga.
           
Paparan tentang melemahnya kekuasaan keluarga besar di dalam masyarakat industri-modern diterangkan secara terperinci oleh William J. goode,[69]
a) keharusan mobilitas horizontal atau geografis, yang menyebabkan kontak antar anggota keluarga menjadi kurang teratur dan kurang sering, b) mobilitas social yang besar, sehingga anggota-anggota satu kelompok kekerabatan, juga dari satu anggota keluarga, masuk dalam satu kelas social yang berbeda-beda dengan cara hidupnya yang berlainan. Ini mengakibatkan sulitnya mengadakan kontak, c) organisasi kota dan organnisasi industri mengambil alih berbagai fungsi kelompok, seperti perlindungan politik, penyelenggaraan pendidikan, peminjaman uang, dan sebagainya, d) lebih diutamakan prestasi dari pada keturunan, sehingga kelompok kelurga menjadi kurang penting, dan e) karena pelaksanaan spesialisasi yang dipegang teguh, maka juga tidak banyak kemungkinannya bahwa ikatan kekerabatan itu akan memegang peranan dalam menentukan kedudukan.
           
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola keluarga yang didasarkan pada konsep “keluarga besar” hanya tinggal ideal saja di kebanyakan kebudayaan, masyarakat industri modern cenderung menerima konsep “keluarga-inti” sebagai norma di dalam keluarga dan perkawinan. Sekalipun hubungan dengan kerabat di luar keluarga-inti masih tetap penting, namun kekuasaan keluarga-besar untuk mencampuri urusan rumah tangga dari pada kelurga inti telah memudar.
            Adapun yag dimaksud keluarga inti, setidak-tidaknya menurut William J. Goode,[70]adalah:
1) satu keluarga inti sebagai unit tempat tinggal, penyelenggaraan kebutuhan sehari-hari, mengelola anak, dan mengelola urusannya sendiri sampai mencapai tingkat financial tertentu, 2) monogamy dengan suatu tingkat kebebasan tertentu untuk memilih jodoh, 3) ada pengaturan mengenai perceraian sebagai suatu perlengkapan, jika perkawinan bubar, 4) garis keturunan yang bilateral dan tidak ada suku, 5) terdapat sistem hubungan keluarga yang memberikan kemungkinan pada pihak saudara untuk ikut dalam kehidupan keluarga inti tersebut.
           
Dari fakta-fakta ini, maka pengaturan di bidang keluarga harus mendapat perhatian yang seksama, sebagaimana diingatka oleh Mochtar Kusumaatmadja,[71]
Masalah-masalah dalam suatu masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur oleh hukum secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam golongan besar, yaitu: 1) masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya spiritual masyarakat dan 2) masalah-masalah yang bertalian dengan ,masyarakat dan kemajuan pada umumnya dan yang bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan.
           
Jika kita menyejajarkan ciri-ciri keluarga di dalam masyarakat industri modern dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut merupakan salah satu sarana dalam melaksanakan rekayasa-sosial.
            Akan tetapi, hal demikian bukan tanpa resiko, terutama bagi para hakim pengadilan agama yang terlibat langsung di dalam penyelenggaraannya. Yang mana disebabkan oleh kenyataan, bahwa upaya tersebut merupakan upaya yang tergesa-gesa. Sebab, peringatan Mochtar Kusumaatmadja tersebut bukan tanpa alasan. Paling tidak, didasarkan pada satu anggapan bahwa masyarakat Indonesia secara “stereo-type” termasuk ke dalam masyarakat “prismatik”.[72]Artinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Clifford Geertz, [73]
Rakyat negara-negara baru yang multi etnis, multi bahasa, dan kadang-kadang multi rasial cenderung menilai hal-hal yag seketika , konkrit, dan pengelompokan-pengelompokan alamiah seperti itu sebagai isi substansif tentang kepribadiannya masing-masing. Mengarahkan identifdikasi-identifikasi spesifik yang mudah dikenal terhadap ikatan-ikatan yang agak luas dan agak asing merupakan resiko kehilangan identitas sebagai pribadi yang otonom.
           
Dalam kaitannya dengan hukum, Sutandyo Wignyosoebroto mengungkapkan,[74]orang masih banyak cenderung untuk mencari perlindungan-perlindungan hak di luar apa yag diberikan oleh hukum dalam peradilan Negara.
            Dalam keadaan masyarakat yang demikian, enggan menggunakan jasa pengadilan, maka kehadiran Undang-undang No. 1/1974 di tengah masyarakat yang pada umumnya masih mendasarkan diri pada ikatan dan struktur kesukuaan kurang menjamin efektivitas hukum tadi. Artinya, kemungkinan ketentuan-ketentuan dari undang-undang tersebut untuk dapat dipatuhi secara sempurna masih sagat tipis, yang oleh karenanya masih perlu penertiban, baik dalam komponen perangkat hukum maupun dalam komponen penegak hukum.[75] 
         
D. Hakim Pengadilan Agama Sosiokratis: Alternatif  Pemecahan
            Terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat senantiasa diikuti oleh adanya “kesinambungan” yang menyertai perubahan tersebut. Meskipun demikian, perubahan struktural masyarakat, tidak senantiasa diimbangi oleh perubahan kultural masyarakat secara serentak.
            Salah satu bentuk dari gejala tersebut adalah apa yang biasa dikenal dengan istilah “modernisasi”, Yang dalam keadaan tersebut, kaadaan tradisional telah tercemari, sedangkan keadaan modern belum tergapai secara sempurna.
            Pengertian demikian diisyaratkan pula oleh Undang-undang No. 4 Tahun 2004. dalam hal ini:
Pasal 2
Penyalenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 28 ayat (1) berukut penjelasannya,
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan ini dimaksudkan agar keputusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
           
Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis, serta dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim perupakan penggali dan perumus dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat; Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; Dengan demikian Hakim dapat memeberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
            Atas dasar yang sama, dapat dikatakan, bahwa hakim pengadilan agama adalah warga masyarakat yang dilengkapi dengan status dan peranan tertentu, yakni menegakkan hukum (Islam). Dalam tulisan ini, diartikan, menjaga keselarasan-fungsional antara komponen perangkat hukum dan komponen kesadaran hukum, sehingga tercipta suasana yang penuh keserasian antara ketertiban dan kepastian hukum.
            Ketertiban dan kepastian hukum mempunyai asal-usul yag berbeda dan mengadakan respon terhadap tekanan yang berbeda pula. Pada gilirannya, ketegangan yang terjadi dari aspek-aspek penegakan hukum tersebut dapat menjadi factor pendorong bagi upaya penegakan hukum. Sebagaimana halnya, pada saat yang sama, merupakan factor penghambat bagi upaya penegakan hukum.
            Oleh karena itu, terciptanya upaya penegakan hukum Islam ditentukan oleh peranan Hakim Pengadilan Agama itu sendiri. Peranan Hakim Pengadilan Agama tersebut, meliputi: (1) mengupayakan keselarasan antara ketertiban dan kepastian hukum, (2) mengupayakan fungsionalisasi keselarasan tersebut dalam kaitannya dengan perubahan sosial, dan (3) mengupayakan efektifikasi hukum tersebut di dalam masyarakat.[76]
            Fungsi hukum adalah untuk mengatur antara hubungan manusia di dalam komunitas tertentu, agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan tertib, maka diciptakan kaidah hukum yang pasti. Pada gilirannya, kepastian hukum tersebut, diharapkan dapat menciptakan ketertiban. Oleh karenanya, hukum harus ditegakkan dengan tingkat keselarasan tertentu.
            Dalam kaitannya dengan perubahan sosial, fungsi hukum dalam masyarakat terjadi menjadi dua bagian, yaitu: (1) fungsi hukum sebagai sarana pengendalian masyarakat dan (2) fungsi hukum sebagai sarana perencanaan masyarakat. Hal demikian menyebabkan adanya keharusan bagi Hakim Pengadilan Agama untuk senantiasa tanggap terhadap hakikat permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, penurunan fungsi hukum di dalam mengatasi  permasalahan masyarakat diukur secara kontekstual.
            Akhirnya, efektifikasi hukum bertalian dengan hasrat untuk menghidupkan hukum, baik dalam peta yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Dengan kata lain, hukum tersebut melembaga dalam kehidupan masyarakat.
            Dalam tingkat model-peranan, maka peranan Hakim Pengadilan Agama adalah: (1) model peranan yang berorientasi pada pemenuhan kebutukan praktis jangka pendek dan (2) model peranan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan strategis jangka panjang. Hal ini bertolak dari anggapan, bahwa dalam tahap modernisasi  (bukan modernitas) peranan hukum di dalam masyarakat dapat diartikan sebagai sarana untuk menjaga keselarasan yang dimungkinkan timbul dari benturan kedua tipologi masyarakat, juga sekaligus, sebagai sarana untuk mengarahkan berubahan dari masyarakat tradisional ke arah masyarakat modern.[77]
            Model pertama mengarahkan hakim Pengadilan Agama untuk menjadi tenaga professional; memiliki keterampilan dalam menerapkam hukum positif. Sedangkan, model kedua mengarahkan Hakim pengadilan Agama untuk senantiasa melibatkan diri di dalam berbagai masalah social. Pada saatnya, bersama-sama ahli social lainnya, mampu menyusun dasar-dasar teori tentang hukum dan lingkungannya.
            Idealnya, kedua model peranan tersebut tidak dipandang suatu hal yang bersifat dilematis. Akan tetapi, dipertemukan dalam suatu titik-singgung tertentu, sehingga mampu menempatkan hakim pengadilam agama sebagai tenaga professional, sekaligus tenaga perencana sosial. Dengan kata lain, Hakim Pengadilan Agama “sosiokratis”.
            Untuk itu, diusulkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim pengadilan agama, dalam hal ini meliputi: (1) aspek afektif, (2) aspek kognitif, dan (3) aspek psiko-motorik. Aspek afektif ditandai dengan adanya sifat terpuji, yang biasa dikenal dengan istilah “akhlakul karimah”,yaitu adanya keterlibatan emosional yang bertanggung jawab atas perkembangan masyarakat. Aspek kognitif dapat diukur dengan ada atau tidak adanya pengetahuan yang dimiliki oleh hakim pengadilan agama, terutama pengetahuan tentang pertautan-korelatif antara hukum Islam dan lingkungan sosialnya, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro. Aspek psiko-motorik diartikan sebagai kemampuan hakim pengadilan agama dalam menerapkan hukum, baik untuk jangka waktu yang pendek atau jangka waktu yang panjang.
BAB IV
PERANAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
DALAM
HUKUM ISLAM (POSITIF LEGALITY) DAN SOSIAL
A. Gagasan Efektifikasi Hukum Islam
            Keterkaitan antara sistem hukum dengan mesyarakat menunjukan, bahwa tampaknya di mana pun, tidak ada suatu sistem hukum yang lahir ke dalam suatu “kehampaan”. Masing-masing terlahir ke dalam suatu kerangka ruang, kerangka kurun, dan kerangka sosial-budaya tertentu. Singkatnya, setiap sistem hukum mempunyai konteks lingkungan tertentu.
            Pengetahuan tentang identitas yang sesungguhnya dari suatu sistem hukum berarti pula suatu pengetahuan tentang sistem hukum tersebut di dalam konteks lingkungan yang sesungguhnya pula, sebab, dapat diandaikan, bahwa setiap sistem hukum telah mengambil bentuk yang kontekstual, sejak pertama kali ia diterima oleh masyarakat.
            Apabila suatu sistem hukum akan diberlakukan di dalam suatu konteks lingkungan yang lain, maka lingkungan tersebut, mau tidak mau, harus diperhitungkan. Dalam hal ini, jika sistem hukum tersebut akan diberlakukan, serta diterima sesuatu yang baik dan dikehendaki, “sah”.
            Kerangka pikir yang demikian, pada gilirannya akan mengandaikan suatu kenyataan, bahwa identitas yang sesungguhnya daripada suatu sistem hukum akan mengambil bentuk pemberlakuan yang berbeda, sesuai dengan konteks lingkungan yang dihadapinya. Meskipun dapat dikatakan, bahwa suatu sistem hukum telah mengubah konteks lingkungan yang lain. Akan tetapi, tampaknya perubahan demikian tidak pernah tuntas. Artinya struktur dan prosedur hukum tersebut tersebar secara tidak mereta di dalam masyarakat, bahkan di dalam sektor-sektor masyrakat itu sendiri. Dengan demikian, dapat  digambarkan , bahwa suatu sistem hukum telah mengubah suatu konteks yang lain “sedikit” atau “banyak”.
            Dapat dipastikan, bahwa hukum Islam lahir sebagai tesis alternatif dari keadaan lingkungan yang hidup dan berkembang pada waktu itu, “lingkungan Jahiliyyah”. Oleh karena itu, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk senantiasa “membaca”. Dalam hal ini membaca realitas sosial yang mengitarinya.
            Kelahiran hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari proses dialogis antara Nabi Muhammad SAW dengan lingkungan yang dihadapinya. Dengan kata lain, keakraban Nabi Muhammad SAW dengan lingkungannya tampak di dalam hukum Islam itu sendiri, sebagai salah satu wujud penegasan identitas diri selaku Nabi dan Rasul.
            Berkenaan dengan hal ini, maka hukum Islam membawa ajaran yang berwatak kemasyarakatan, dan sepenuhnya disandarkan pada lembaga kemasyarakatan untuk menerapkannya di dalam kehidupam manusia, bahkan di dalam kehidupan yang paling meditatif dan kontemplatif sekalipun.
            Pendekatan kelembagaan demikian, pada gilirannya, mendorong hukum Islam untuk senantiasa berhadapan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Dengan sendirinya, termasuk kebutuhan untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan peradilan agama di dalam lingkungan yang dialaminya.
            Dalam proses kenabian dan kerasulan, terlihat adanya suatu hubungan timbal-balik antara turunnya wahyu dengan lingkungan yang dihadapi. Yang dikenal dengan istilah “asbabun nuzul”.
            Oleh karena itu, dalam tulisan ini, dapat dikemukakan bahwa hukum Islam terbentuk dari “atas”, sekaligus dari “bawah”. Artinya Hukum Islam terwujud, baik oleh aspek-aspek yang bersifat “tasri’iyah” maupun oleh aspek-aspek yang bersifat “wad’iyah”. Hukum Islam terjadi karena “pewahyuan Ilahi”, akan tetapi dalam waktu yang sama, terjadi karena “ responsi manusia” atas wahyu Ilahi tersebut.
            Aspek pertama, sebagaiman diungkapkan oleh Maulana Muhammad Ali,[78]wahyu dalam bentuk rendah merupakan pengalaman universal manusia. Hal demikian berarti pula, bahwa wahyu tersebut mengungkapkan “realitas yang benar” mengenai kehidupan manusia. Oleh karena wahyu memiliki sifat Maha Besar, maka ia luput dari segala kesalahan.
            Jika hukum Islam dilihat dari aspek yang bersifat wad’iyah, sangat dipengaruhi oleh hakikat kejadian manusia itu sendiri, yaitu kekuatan dan kelemahan yang melekat di dalam praktek hidupnya. Dengan kata lain, dapat ditegaskan bahwa aspek wad’iyah dari hukum Islam seringkali salah. Artinya, wahyu yang dibahasakan oleh manusia mempunyai kemungkinan untuk salah atau keliru.
            Hubungan antara wahyu Ilahi dengan konteks lingkungan yang bersifat timbal-balik demikian memungkinkan untuk melahirkan gagasan tentang hukum Islam, termasuk ancang-ancang untuk penyediaan datanya
            Dalam sejarah, hukum  Islam senantiasa berada dalam kedudukan yang khas. Hukum Ialam mempunyai sebuah bentuk yang mencerminkan sebuah lingkungan yang hidup dan berkembang, juga mencerminkan tentang adanya struktur dan prosedur yang ada. Selama kurun tertentu, hukum Islam beralih dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya. Dengan demikian, bagaimana pun rumitnya, hukum Islam merupakan suatu peristiwa yang menjadi bahan penelitian.
B. Hukum Islam dan Hukum yang Hidup
            Pemikiran tentang upaya penegakan dan pembangunan hukum Islam yang sesuai dengan keperluan mendasar dari hajat hidup sebagian besar masyarakat telah dipikirkan sejak lama. Hampir setiap pemikiran yang demikian, langsung atau tidak, mempersoalkan hukum Islam, termasuk upaya penegakannya di lingkungan yang lain. Dengan harapan, masyarakat yang bersangkutan dapat mengambil manfaat, jika perlu untuk diterapkan di lingkungan yang dialaminya. Meskipun demikian, terdapat upaya lain, yaitu dengan mengandaikan “wawasan pribumi”.
            Dengan demikian, dapat difahami bahwa penegakan hukum Islam yang sedang dibahas akan berbeda dengan pembahasan mengenai penegakkan hukum Islam pada masa sebelumnya, masa kolonial. Pada masa itu penegakan hukum Islam tidak lebih dari usaha para penguasa kolonial dalam mempertahankan masyarakat mejemuk, termasuk segala dampak yang ditimbulkannya.
            Konfigurasi nilai yang terdapat di dalam masyarakat terdiri dari: yang asli dan tradisional (dengan yang asing modern). Upaya untuk mengadakan pembaruan di bidang hukum tidak pernah dilaksanakan secara sistematis, yang oleh sebab itu, senantiasa mengalami kegagalan,[79]tepatnya:
usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mengundangkan kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang juga berlaku bagi golongan Bumi Putera (bukan Eropa dan Timur Asing yang tunduk pada Hukum Perdata Eropa) mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Hukum Adat sehingga tak jadi di laksanakan
            Dengan munculnya proses “dekolonisasi” di negara-negara maju dan sedang berkembang, terjadi penumbangan norma-norma yang berlaku secara sistematis untuk diganti dengan norma-norma yang baru. Dengan kata lain, pada saat penguasa merdeka berhasrat untuk mengubah masyarakat menjadi modern,[80]maka muncul nilai baru yaitu “pembangunan”.
     Berkenaan dengan hal ini, Maroelak Sihombing menyatakan,[81]
Ia (baca: pembangunan) juga adalah dalam arti yang lebih dalam titik pusat dambaan dan harapan yang memerdekakan serta menyelamatkan.  Dan dalam pengertian yang sangat penting pembangunan adalah suatu kategori religius.
            Dari kerangka pikir yang demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan dapat menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat, baik dalam arti struktural maupun dalam arti kultural. Dengan kata lain, pembangunan menuntut masyarakat agar  berfikir, bersikap dan berprilaku baru.
            Salah satu cara untuk melembagakan pembanguna adalah melalui perombakan sistem hukum. Yang mana perombakan tersebut, didasarkan pada cita-cita baru. Pada gilirannya, penempatan hukum pada latar belakang pembagunan akan menunjukan ciri-ciri yang harus dipenuhi oleh hukum tersebut, seperti diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo,[82]
1) mempunyai kesadaran lingkungan, artinya, bahwa tindakan dalam penegakan hukum itu hendaknya mengait kepada proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik dan sebagainya; 2) menyadari kedudukan dan kualifikasinya sebagi suatu badan yang harus ikut menggerakan perubahan-perubahan; 3) penegakan hukum di sini akan terlibat kepada masalah-masalah pembuatan hukum daripada hanya sekedar menjadi badan yang melaksanakan saja.
            Dalam keadaan demikian, hukum Islam tidak hanya cukup dipelajari sebagai suatu “law in book”, tetapi harus dipelajari sebagai suatu “law in action”. Artinya, hukum Islam tidak bisa dikonsepsikan sebagai gejala normatif dan otonom, melainkan harus dikonsepsikan sebagai suatu gejala yang secara nyata berkaitan dengan variabel-variabel sosial lainnya, seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.
            Pada saatnya konsepsi yang demikian diharapkan mampu merangsang refleksi perubahan masyarakat secara keseluruhan, juga mampu menampakkan makna perubahan tersebut  bagi masyarakat.
            Meskipun demikian, pada sisi lain, pembangunan menunjukkan adanya ketimpangan-ketimpangan. Wujudiah ketimpangan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa pembangunan lebih berorientasi pada sasaran, sedangkan hukum yang ada, paling tidak, lebih berorientasi pada prosedur. Dengan demikian, sampai tingkat tertentu, hukum akan lebih banyak dirasakan sebagai hambatan bagi kelancaran proses pembangunan.
            Analisa terakhir mengisyaratkan, bahwa pendekatan yang tersedia di dalam upaya penegakan hukum dalam kaitannya dengan proses pembangunan adalah: 1) pendekatan dari atas ke bawah dan 2) pendekatan dari bawah ke atas.
            Masing-masing pendekatan menawarkan permasalahan sendiri. Dalam pendekatan pertama, biasanya cenderung menilai hal-hal yang datang dari bawah sebagai hambatan bagi pembangunan. Sedangkan dalam pendekatan kedua, biasanya cenderung dalam hal-hal yang datang dari bawah sebagi penggerak bagi pembangunan. Oleh karena itu, titik temu yang menghubungkan kedua pendekatan di atas merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi penegakkan dan pembangunan hukum Islam.
            Dalam sistem hukum Indonesia, paling tidak terimbasi oleh tiga pola hukum, yaitu: 1) Hukum Adat, 2) Hukum Islam dan 3) Hukum colonial. Bertolak dari pemahaman ini, maka penggunaan konsep hukum yang hidup atau “living law” dipandang memadai dalam mengadakan pengkajian terhadap upaya penegakkan hukum Islam di Indonesia. Konsekuensi logis dari pengajuan konsep ini adalah pemunculan konsep-tandingan, untuk tidak mengatakannya sebagai pengertian-sisa, yaitu hukum yang mati atau “dode regel”.
            Selain dengan pembedaan demikian, dapat dikatakan bahwa pembedaan di atas tidak akan mampu menanggapi nuansa-nuansa yang mungkin terdapat di dalam mozaik kehidupan hukum di Indonesia. Akan tetapi dapat pula dikatakan, bahwa bagimana pun sederhananya sesuatu perbedaan yang ditujukan untuk mengolah realitas social dipandang sah secara akademis.
            Oleh karena itu, dapat digambarkan bahwa hukum yang hidup merupakan uger-ugeran yang memiliki keberlakuan, baik dalam arti yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Artinya, sebagimana dijelaskan oleh H.M. Syafaat Mintaredja,[83]
(1) mempunyai “juridische gelding” (kekuatan yuridis) artinya apabila pembuatannya dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang kompeten, (2) mempunyai “sociologische gelding” (kekuatan berupa penerimaan masyarakat seluruhnya) dan (3) mempunyai “philosophische gelding” yang tentunya sesuai dengan ukutan sebagai hukum atau sendi hukum yang baik.
           
Atas dasar yang sama, dapat pula dikatakan bahwa tegaknya hukum ditentukan oleh ketiga persyaratan tersebut. Jika tidak, maka hukum tersebut menjadi suatu hukum yang mati, seperti yang ditegaskan oleh Soerjono Soekanto,[84]
apabila hukum berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan bahwa hukum mati tadi hanya merupakan kaidah yang mati saja “dode regel”). Kalau hukum berlaku hanya secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka mungkin hukum tersebut menjadi aturan pemaksa. Akhirnya, apabila hukum tersebut hanya berlaku secara filosofis, maka tadi hanya boleh disebutkan sebagai kaidah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan.
           
Pemahaman demikian dimungkinkan oleh suatu kenyataan, bahwa upaya penegakan hukum Islam melibatkan hukum, baik dalam arti material maupun dalam arti formal. Wujudiah tegaknya hukum Islam tidak dapat diukur dengan banyaknya peraturan tertulis yang dikeluarkan atau luasnya bidang kehidupan yang terjangkau yang hanya mewujudkan penegakkan Hukum Islam dalam derajat formal belaka.
            Dengan demikian, upaya penegakkan hukum Islam berkaitan dengan hal-hal yang bersifat material, yaitu penggarapan mental yang sesuai dengan sifat dan hakikat hukum itu sendiri, dipandang perlu. Sebab, tanpa memperhitungkan hal-hal ini, upaya penegakkan hukum Islam akan menghadapi kesulitan besar, di samping biaya sosial yang tinggi.
            Sesuai dengan keperluan di atas, maka hubungan antara hukum yang hidup dengan hukum Islam akan didekati melalui pemakaian pendekatan kontak- konsepsi. Pada saatnya, melalui pendekatan ini, diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kemampuan masyarakat Indonesia dalam melembagakan Hukum Islam. Artinya, hukum Islam diterima dan dilaksanakan sebagai bimbingan di dalam pergaulan sosial, sebagai hukum yang hidup.
            Dari sini, dapat diketahui bahwa kemampuan untuk melembagakan hukum dari masyarakat dapat berkaitan dengan kemampuan fleksibilitas hukum itu sendiri, demikian pula sebalikna, ketidak mampuan masyarakat untuk melembagakan hukum dapat berkaitan dengan ketidakmampuan fleksibilitas hukum itu sendiri. Bertolak dari pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya diresapi oleh Hukum Islam. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Daniel S. lev,[85]
Hukum Islam tidak diambil alih secara penuh oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana nampaknya tidak pernah dilaksanakan secara sempurna oleh Dunia Islam di mana pun, pada dasarnya pengaruh Islam hanyalah pada masalah keluarga, perkawinan, dan beberapa segi waris — dan dalam hal ini pun masyarakat Indonesia mengambil dan memilih beberapa aturan tertentu yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai kebudayaannya.
           
Menurut Prof. H.M. Daud Ali, di indonesia berlaku hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia itu dapat dibagi dua. Pertama hukum Islam yang berlaku (1) secara normatif, adalah bagian hukum Islam yang mempunyai sangsi atau padahan kemasyarakatan. Pelaksanaannya tergantung kepada kuat lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat normatif itu. Hukum Islam yang berlaku secara normatif tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya.
            Hukum Islam yang (2) berlaku secara formal yuridis adalah (bagian) hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, yang termasuk dalam kategori hukum Islam bidang mu’amalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif karena dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud adalah (misalnya) hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankan secara sempurna dengan misalnya, mendirikan lembaga Peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur sitem peradilan nasional di negara kita.[86]
C. Perubahan Pola Keluarga : Masalah peranan Hakim Pengadilan Agama
            Pola sebuah keluarga didasarkan pada hubungan seumur hidup. Oleh karenanya, keluarga merupakan lembaga kemasyarakatan yang paling konservatif jika dibandingkan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Di dalam keluarga, pola yang satu masih akan tetap ada, sekalipun generasi penciptanya telah tidak ada lagi. Dalam hubungan ini, keluarga sebagai sumber acuan bagi generasi berikutnya dan seterusnya. Dengan demikian, perubahan pola keluarga berjalan lamban.
            Meskipun demikian, gejala serta kecenderungan dari perubahan pola keluarga masih dapat diamati. Seperti hipotesis yang diusulkan oleh William J. Goode,[87]perubahan teknologi atau industri merupakan factor utama dalam keluarga. Terutama, jika diingat, bahwa kemajuan tekologi sejajar dengan kemajuan ekonomi.
            Artinya, sebagaimana ditegaskan oleh Maurice Duverger,[88]revolusi teknologi menghasilkan revolusi ekonomi, yang dikenal dengan peningkatan produksi dan konsumsi. Revolusi ekonomi itu sendiri menghasilkan revolusi kebudayaan.
Pemikiran yang sama juga diungkapkan oleh R. linton,[89]
semakin besar kemungkinannya bagi seseorang di dalam situasi sosio-budayanya untuk mendapat keuntunga ekonomi bagi dirinya, semakin lemah ikatan kelompok kekerabatan besar. Ini dipandang sebagai suatu pendirian yang persentase berlakunya tinggi sekali. Terjadinya moderenisasi kebudayaan yang tadinya tidak mengenal mekanisasi, dengan kemungkinan-kemungkinannya yang tiada taranya bagi individu yang cerdas dan berinisiatif, sudah pasti akan menghancurkan pola organisasi) keluarga yang besar, ini kemungkinan akan menimbulkan serentetan masalah bagi masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat itu harus mengembangkan mekanisme-mekaisme baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan psikologi yang sebelumnya tertampung oleh organisasi keluarga.
           
Paparan tentang melemahnya kekuasaan keluarga besar di dalam masyarakat industri-modern diterangkan secara terperinci oleh William J. goode,[90]
a) keharusan mobilitas horizontal atau geografis, yang menyebabkan kontak antar anggota keluarga menjadi kurang teratur dan kurang sering, b) mobilitas social yang besar, sehingga anggota-anggota satu kelompok kekerabatan, juga dari satu anggota keluarga, masuk dalam satu kelas social yang berbeda-beda dengan cara hidupnya yang berlainan. Ini mengakibatkan sulitnya mengadakan kontak, c) organisasi kota dan organnisasi industri mengambil alih berbagai fungsi kelompok, seperti perlindungan politik, penyelenggaraan pendidikan, peminjaman uang, dan sebagainya, d) lebih diutamakan prestasi dari pada keturunan, sehingga kelompok kelurga menjadi kurang penting, dan e) karena pelaksanaan spesialisasi yang dipegang teguh, maka juga tidak banyak kemungkinannya bahwa ikatan kekerabatan itu akan memegang peranan dalam menentukan kedudukan.
           
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola keluarga yang didasarkan pada konsep “keluarga besar” hanya tinggal ideal saja di kebanyakan kebudayaan, masyarakat industri modern cenderung menerima konsep “keluarga-inti” sebagai norma di dalam keluarga dan perkawinan. Sekalipun hubungan dengan kerabat di luar keluarga-inti masih tetap penting, namun kekuasaan keluarga-besar untuk mencampuri urusan rumah tangga dari pada kelurga inti telah memudar.
            Adapun yag dimaksud keluarga inti, setidak-tidaknya menurut William J. Goode,[91]adalah:
1) satu keluarga inti sebagai unit tempat tinggal, penyelenggaraan kebutuhan sehari-hari, mengelola anak, dan mengelola urusannya sendiri sampai mencapai tingkat financial tertentu, 2) monogamy dengan suatu tingkat kebebasan tertentu untuk memilih jodoh, 3) ada pengaturan mengenai perceraian sebagai suatu perlengkapan, jika perkawinan bubar, 4) garis keturunan yang bilateral dan tidak ada suku, 5) terdapat sistem hubungan keluarga yang memberikan kemungkinan pada pihak saudara untuk ikut dalam kehidupan keluarga inti tersebut.
           
Dari fakta-fakta ini, maka pengaturan di bidang keluarga harus mendapat perhatian yang seksama, sebagaimana diingatka oleh Mochtar Kusumaatmadja,[92]
Masalah-masalah dalam suatu masyarakat yang sedang membangun yang harus diatur oleh hukum secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam golongan besar, yaitu: 1) masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya spiritual masyarakat dan 2) masalah-masalah yang bertalian dengan ,masyarakat dan kemajuan pada umumnya dan yang bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan.
           
Jika kita menyejajarkan ciri-ciri keluarga di dalam masyarakat industri modern dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut merupakan salah satu sarana dalam melaksanakan rekayasa-sosial.
            Akan tetapi, hal demikian bukan tanpa resiko, terutama bagi para hakim pengadilan agama yang terlibat langsung di dalam penyelenggaraannya. Yang mana disebabkan oleh kenyataan, bahwa upaya tersebut merupakan upaya yang tergesa-gesa. Sebab, peringatan Mochtar Kusumaatmadja tersebut bukan tanpa alasan. Paling tidak, didasarkan pada satu anggapan bahwa masyarakat Indonesia secara “stereo-type” termasuk ke dalam masyarakat “prismatik”.[93]Artinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Clifford Geertz, [94]
Rakyat negara-negara baru yang multi etnis, multi bahasa, dan kadang-kadang multi rasial cenderung menilai hal-hal yag seketika , konkrit, dan pengelompokan-pengelompokan alamiah seperti itu sebagai isi substansif tentang kepribadiannya masing-masing. Mengarahkan identifdikasi-identifikasi spesifik yang mudah dikenal terhadap ikatan-ikatan yang agak luas dan agak asing merupakan resiko kehilangan identitas sebagai pribadi yang otonom.
           
Dalam kaitannya dengan hukum, Sutandyo Wignyosoebroto mengungkapkan,[95]orang masih banyak cenderung untuk mencari perlindungan-perlindungan hak di luar apa yag diberikan oleh hukum dalam peradilan Negara.
            Dalam keadaan masyarakat yang demikian, enggan menggunakan jasa pengadilan, maka kehadiran Undang-undang No. 1/1974 di tengah masyarakat yang pada umumnya masih mendasarkan diri pada ikatan dan struktur kesukuaan kurang menjamin efektivitas hukum tadi. Artinya, kemungkinan ketentuan-ketentuan dari undang-undang tersebut untuk dapat dipatuhi secara sempurna masih sagat tipis, yang oleh karenanya masih perlu penertiban, baik dalam komponen perangkat hukum maupun dalam komponen penegak hukum.[96] 
         
D. Hakim Pengadilan Agama Sosiokratis: Alternatif  Pemecahan
            Terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat senantiasa diikuti oleh adanya “kesinambungan” yang menyertai perubahan tersebut. Meskipun demikian, perubahan struktural masyarakat, tidak senantiasa diimbangi oleh perubahan kultural masyarakat secara serentak.
            Salah satu bentuk dari gejala tersebut adalah apa yang biasa dikenal dengan istilah “modernisasi”, Yang dalam keadaan tersebut, kaadaan tradisional telah tercemari, sedangkan keadaan modern belum tergapai secara sempurna.
            Pengertian demikian diisyaratkan pula oleh Undang-undang No. 4 Tahun 2004. dalam hal ini:
Pasal 2
Penyalenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 28 ayat (1) berukut penjelasannya,
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan ini dimaksudkan agar keputusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
           
Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis, serta dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim perupakan penggali dan perumus dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat; Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; Dengan demikian Hakim dapat memeberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
            Atas dasar yang sama, dapat dikatakan, bahwa hakim pengadilan agama adalah warga masyarakat yang dilengkapi dengan status dan peranan tertentu, yakni menegakkan hukum (Islam). Dalam tulisan ini, diartikan, menjaga keselarasan-fungsional antara komponen perangkat hukum dan komponen kesadaran hukum, sehingga tercipta suasana yang penuh keserasian antara ketertiban dan kepastian hukum.
            Ketertiban dan kepastian hukum mempunyai asal-usul yag berbeda dan mengadakan respon terhadap tekanan yang berbeda pula. Pada gilirannya, ketegangan yang terjadi dari aspek-aspek penegakan hukum tersebut dapat menjadi factor pendorong bagi upaya penegakan hukum. Sebagaimana halnya, pada saat yang sama, merupakan factor penghambat bagi upaya penegakan hukum.
            Oleh karena itu, terciptanya upaya penegakan hukum Islam ditentukan oleh peranan Hakim Pengadilan Agama itu sendiri. Peranan Hakim Pengadilan Agama tersebut, meliputi: (1) mengupayakan keselarasan antara ketertiban dan kepastian hukum, (2) mengupayakan fungsionalisasi keselarasan tersebut dalam kaitannya dengan perubahan sosial, dan (3) mengupayakan efektifikasi hukum tersebut di dalam masyarakat.[97]
            Fungsi hukum adalah untuk mengatur antara hubungan manusia di dalam komunitas tertentu, agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan tertib, maka diciptakan kaidah hukum yang pasti. Pada gilirannya, kepastian hukum tersebut, diharapkan dapat menciptakan ketertiban. Oleh karenanya, hukum harus ditegakkan dengan tingkat keselarasan tertentu.
            Dalam kaitannya dengan perubahan sosial, fungsi hukum dalam masyarakat terjadi menjadi dua bagian, yaitu: (1) fungsi hukum sebagai sarana pengendalian masyarakat dan (2) fungsi hukum sebagai sarana perencanaan masyarakat. Hal demikian menyebabkan adanya keharusan bagi Hakim Pengadilan Agama untuk senantiasa tanggap terhadap hakikat permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, penurunan fungsi hukum di dalam mengatasi  permasalahan masyarakat diukur secara kontekstual.
            Akhirnya, efektifikasi hukum bertalian dengan hasrat untuk menghidupkan hukum, baik dalam peta yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Dengan kata lain, hukum tersebut melembaga dalam kehidupan masyarakat.
            Dalam tingkat model-peranan, maka peranan Hakim Pengadilan Agama adalah: (1) model peranan yang berorientasi pada pemenuhan kebutukan praktis jangka pendek dan (2) model peranan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan strategis jangka panjang. Hal ini bertolak dari anggapan, bahwa dalam tahap modernisasi  (bukan modernitas) peranan hukum di dalam masyarakat dapat diartikan sebagai sarana untuk menjaga keselarasan yang dimungkinkan timbul dari benturan kedua tipologi masyarakat, juga sekaligus, sebagai sarana untuk mengarahkan berubahan dari masyarakat tradisional ke arah masyarakat modern.[98]
            Model pertama mengarahkan hakim Pengadilan Agama untuk menjadi tenaga professional; memiliki keterampilan dalam menerapkam hukum positif. Sedangkan, model kedua mengarahkan Hakim pengadilan Agama untuk senantiasa melibatkan diri di dalam berbagai masalah social. Pada saatnya, bersama-sama ahli social lainnya, mampu menyusun dasar-dasar teori tentang hukum dan lingkungannya.
            Idealnya, kedua model peranan tersebut tidak dipandang suatu hal yang bersifat dilematis. Akan tetapi, dipertemukan dalam suatu titik-singgung tertentu, sehingga mampu menempatkan hakim pengadilam agama sebagai tenaga professional, sekaligus tenaga perencana sosial. Dengan kata lain, Hakim Pengadilan Agama “sosiokratis”.
            Untuk itu, diusulkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim pengadilan agama, dalam hal ini meliputi: (1) aspek afektif, (2) aspek kognitif, dan (3) aspek psiko-motorik. Aspek afektif ditandai dengan adanya sifat terpuji, yang biasa dikenal dengan istilah “akhlakul karimah”,yaitu adanya keterlibatan emosional yang bertanggung jawab atas perkembangan masyarakat. Aspek kognitif dapat diukur dengan ada atau tidak adanya pengetahuan yang dimiliki oleh hakim pengadilan agama, terutama pengetahuan tentang pertautan-korelatif antara hukum Islam dan lingkungan sosialnya, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro. Aspek psiko-motorik diartikan sebagai kemampuan hakim pengadilan agama dalam menerapkan hukum, baik untuk jangka waktu yang pendek atau jangka waktu yang panjang.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Sesuai dengan pembahasan sebelumya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Hukum Islam (Positif Legality) dan Sosial adalah sebagai alat untuk menjaga keselarasan komponen-komponen hukum lainnya, secara fungsional. Dengan kata lain, tegaknya Hukum Islam, ditentukan oleh kemampuan peranan hakim pengadilan agama dalam menyelaraskan perangkat hukum dan kesadaran hukum, sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum di dalam masyarakat.
  2. Usaha-usaha yang harus dilakukan oleh Hakim Pengadilan Agama agar mampu mengoptimalkan peranannya adalah pertama, mengupayakan keselarasan antara ketertiban dan kepastian hukum. Kedua, mengupayakan fungsionalisasi keselarasan tersebut di dalam lingkungan yang dihadapi. Ketiga,  mengupayakan efektifikasi hukum tersebut di dalam masyarakat. Di samping itu, hakim pengadilan agama juga harus memiliki kesadaran, pengetahuan dan keterampilan sosial yang memadai, sebab tuntutan yang muncul dari perubahan masyarakat menuntut peranan hakim pengadilan agama tidak hanya sekedar menyelesaikan benturan kepentingan di dalam masyarakat, tetapi juga mengarahka perubahan yang ada. Dengan kata lain, hakim pengadilan agama dituntut untuk memainkan peranannya, baik sebagai tenaga profesional maupun sebagai perencana sosial; hakim pengadilan agama sosiokratis.
B. Saran
            Pengerjaan ilmiah terhadap salah satu segi kehidupan manusia biasanya memusatkan perhatian terhadap “apa yang ada”, yaitu bagaimana senyatanya manusia bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, pengerjaan ilmiah tidak pernah memerintahkan tentang “apa yang harus”, yaitu bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertindak.
            Meskipun begitu, penulis berpendapat, bahwa setiap pengerjaan ilmiah berhak menyarankan “ideal” yang mungkin dilaksanakan. Sesuai dengan pendapat ini, maka penyusun memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Seorang Hakim Pengadilan Agama sebaiknya tidak hanya berperan sebagai tenaga profesional saja, tetapi ia juga mampu berperan sebagai seorang perencana masyarakat. Dengan demikian, seorang hakim pengadilan agama sosiokratis adalah seorang hakim pengadilan agama yang mampu berfikir secara integral.
2. Hakim Pengadilan Agama harus memahami upaya Penegakan Hukum Islam, baik dalam skala lokal maupun global. Yang lebih penting lagi, yaitu intensitas pemahaman yang mendalam atas situasi sosio kultur yang berada di dalam lingkup kekuasaannya. Dalam meningkatkan intensitas pemahaman terhadap situasi tersebut, dibutuhkan suatu kerangka berpikir yang mampu memformulasikan fakta-fakta yang dihadapi masyarakat.
3. Hakim Pengadilan Agama juga dituntut untuk mampu berpikir realistis. Artinya, dengan tidak mengabaikan kerangka ideal dan tujuan umum dari upaya Penegakan Hukum Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu jalur pikiran yang mampu menjembatani aspek ideal dan aspek praktis, karena upaya Penegakan Hukum Islam bersifak praktis, yaitu yang diilhami oleh kerangka ideal, dan bergerak menurut garis rencana serta program sebagai jembatannya, maka jembatan yang tepat adalah beranjak dari realitas.
BIBLIOGRAFI
A. Al-Quran/‘Ulumul Qur’an
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), Semarang: CV. Asy Syifa’, 1998.
B. Hadis/’Ulumul Hadis
Al-Asqalani, Imam Ahmad bin ‘Ali bin hajar, Bulugul Maram, Beirut : Dar al-Fikr, 1989.
C. Fiqih/Usul Fiqh
Djazuli, Akhmad, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar, Bandung : Orba Shakti, 1991.
Rusd al-Khafid, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut : Dar al-Fikr, 1995.
Salam Madkur, Muhammad, al- Qada Fil Islam, Ttp : TT.
D. Hukum/Ilmu Hukum
Abdullah, Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1999.
Affandi, Wahyu, Hakim dan Penegakkan Hukum, Bandung : Alumni, 1981.
Ahyar, Implementasi Kekuasaan Kehakuman Dalam Era Reformasi : Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1999.
Ali, M. Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993.
———-, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta : PT rajaGrafindo  Persada, 2002.
Ali, Maulana Muhammad, Dinul Islam (Islamologi),  R. Kaelan (a.b), Jakarta : PT. Ichtiar Baru, 1980.
Arto, A. Mukti, Praktek Perkara Perdata : Pada Pengadilan Agama, Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
Bisri, Cik Hasan,Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998.
C.A, Ichtijono, “Hakim Pengadilan Agama Sebagai Pengusut Tindak Pidana,” Pembimbing, No. 35 Th IX, 1981.
Djamil, Fathurrahman, “Program Akademik Fakultas Syari’ah dan Peningkatan Kualitas Calon Hakim Paska Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,” Mimbar Hukum, No. 17 Tahun. V, 1994..
Duverger, Maurice, Sosiologi Politik, Daniel Dhakidae (a.b), Jakarta : CV. Rajawali, 1981.
Effendi, Deden, Kompleksitas Hakim Agama, Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985.
Effendi, Satria, “Ijtihad Dan Hakim pengadilan Agama,” Mimbar Hukum, No. 10 Tahun. IV, 1993.
Goode, William J, Sosiologi Keluarga, Drs. Sahat Simamora (a.b), Jakarta : PT. Bina Aksara, 1983.
Harjona, Anwar dan Ramli Hutabarat, “Prospek Peradilan Agama Sebagai peradilan Keluarga Dalam Sistem Politik Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
Kertas Kerja “Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim”, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hubungan Timbal Balik Antara hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat, Jakarta : PT Bina Cipta, 1976.
Lev, Daniel. S, Peradilan Agama Islam Di Indonesia: Suetu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, H. Zaini Ahmad Noeh (a.b.) Jakarta : PT. Inter Masa, 1980.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, 1979.
Schrool, J.W, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, R.G. Soekadijo (a.b), Jakarta : PT Gramedia, 1981.
Shiddiqie, T. M. Hasbi, Peradilan Hukum Acara Islam, Bandung : PT Al Maarif, 1964.
……………, Peradilan Hukum Dan Hukum Acara Islam, Cet. Ke-1 Semarang : PT Pustaka Rizki Putera, 1997.
Sihombing, Maroelak, “Partisipasi Sebagai Pemerdekaan Manusia,” Prisma, No. 11, Jakarta : LP3ES, 1980.
Siregar, Bismar, Hukum, Hakim Dan Keadilan Tuhan : Kumpulan Catatan Hukum Dan Pengadilan Di Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1995.
———, Bunga Rampai Karangan Tersebar Bismar Siregar 1, Jakarta : Rajawali, 1989.
S, Kadi, “Pengadaan Hakim Pengadilan Agama,” Pembimbing, No. 61 Th. XIV, 1986.
Soerjono, Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung : Alumni, 1982.
———–, “Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan hokum,” Analisis Pendidikan, No. 02 Th. IV, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.
Subekti, R, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Alumni, 1981.
Sudarsono, Juwono (ed), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : PT Gramedia, 1981.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Syafaat, HM. Mintaredja, Islam dan Politik dan Negara di Indonesia: Sebuah Renungan Pembaharuan dan Pemikiran, Jakarta : Septanarius, 1976.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Peradilan Agama : dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1994.
Undang-Undang  Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Surabaya : Karina, 2004.
Usman, Iskandar, “Hakim dan Kewajiban Menerapkan Hukum Islam Menurut Konsepsi Al-Quar’an,” Mimbar Hukum, No. 51 Tahun. XII. 2001.
Wignyosoebroto, Soetandyo, Seminar: Pembinaan Profesi Hukum, Jakarta : PT Bina Cipta, 1976.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung : Mizan, 1994.
Lampiran
TERJEMAHAN
No
Hlm
 FN
Terjemahan
 1
 12
  23
Sungguh, kalian berperkara kepadaku, mungkin setengah darimu punya argumentasi melebihi setengah lainnya, lalu kuputuskan bagi kemenangannya berdasarkan apa yang ku dengar darinya. Untuk itu, siapa yang diberi sesuatu dari hak saudaranya, maka telah aku berikan sepotong api neraka.
 2
 21
   6
Qadhi-qadhi itu ada tiga golongan. Satu golongan di surga dan dua golongan di neraka. Adapun qadhi yang di surga ialah seorang qadhi yang mengetahui kebenaran lalu ia memutuskan berdasarkan kebenaran itu. Seorang qadhi yang mengetahui kebenaran lalu ia curang, maka ia ditempatkan di neraka. Dan seorang qadhi yang memberikan keputusan kepada manusia berdasarkan kebodohannya, maka ia ditempatkan di neraka
 3
 22
  9
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanaya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
 4
 34
  5
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku, Aku tidak menghendaki pemberian apapun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Dialah pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh
 5
 34
  6
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
 6
 34
  7
1) bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, 2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3) Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang paling Pemurah, 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. 5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
BIOGRAFI
1. Ibnu Hajar al Asqalani
            (L. Cairo, 12 Sya’ban 773 H/18 Feb. 372 M – W. 28 Dzulhijjah 852 H/22 Feb. 1449 M). Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Abu Fadl Ahmad bin Nuruddin Ali bin Muhammad bin Hajar al Asqalani. Beliau adalah seorang ulama besar dalam ilmu Fiqih, Hadis, dan sejarah. Belaiu termasuk salah satu Ulama Fiqih dari Madzhab Syafi’i. Ayahnya bernama Nuruddin Ali (W. 777 H/1375 M). Beliau banyak belajar ilmu bahasa dan sastra, sejarah dan hadis. Selain sebagai ulama dan ilmuan, beliau juga menjadi ulama, Guru Besar, Kepala Madrasah Khatib dan Pustakawan. Beliau mengajar ilmu Hadis, Fiqih dan ilmu Tafsir. Karya beliau di bidang ilmu hadis antara lain: Fathul Bari Fi Syarrah al Bukhori, Al Isabi Fi Tamyiz as Sahabah, Tahzib al Tahzib, Lisan al Mizan; Anbar al Gumr bi Anba’, dan Bulughul Murom Minal Adillah al Ahkam.
2. Ibnu Rusyd
            Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurthubi al Andalusiy, beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd al Hafid (1126 – 1198 M). Beliau adlah seorang Filosuf, ahli hukum Islam (mujtahid) terbesar di Dunia Islam dibagian barat pada zamannya. Beliau berasal dari bangsa Spanyol. Beliau adalah Dokter di istana Cordova dan seorang Mujtahid ahli hukum yang besar, untuk itu beliau diberi gelar “Faqih Kabir” (ahli fiqih yang besar). Di dunia barat, beliau sangat terkenal dengan nama Averois, sebagai seorang filosuf yang ikut memperkenalkan Filsafat Yunani ke dunia barat. Beliau juga sebagai Qadhi kepala dari kerajaan. Karya beliau adalah at Tahafut at Tahafut, sebagai serangan atas al Ghazali. Sebagai seorang Mujtahid dalam ilmu hukum, beliau menulis karyanya yang monumental Bidayatul Mujtahid suatu kitab standar fiqih Islam.  
3. Bismar Siregar, SH
            Lahir di Sipirok, Sumatra Utara 15 September 1928. Karir pertama sebagai jaksa pada Kejaksaan Negeri Palembang (1957), lalu Hakim Pengadilan Negeri Pangkal Pinang (1961), Hakim Pengadilan Tinggi Bandung (1980-1982), hakim Agung (1984-1985). Beliau juga pernah menjabat sebagi Dekan Fakultas Hukum UMJ dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (IBLAM), dan anggota Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Beliau dikenal sebagi hakim yang berhati lembut namun tegas dalam menegakkan asas hukum demi keadilan keadilan. Hukum formal itu nomor dua, sedang hukum iman dan Pancasila sebagai sumber dan filsafat hukum penentu kepastian hukum yang adil. Hukum dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.
4. Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy
            Lahir 10 Maret 1904 di Lhok Seumawe, wafat di Jakarta 09 Desember 1975. Beliau adalah dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, yaitu tahun 1960 sekaligus dekan Fakultas Syari’ah Kutaraja Banda Aceh Cabang IAIN Sunan Kalijaga (1960 – 1962). Rektor Universitas al Irsyad Surakarta (1961 – 1967). Guru besar UII (1964). Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Sultan Agung Semarang (1967 -1975). Mantan ketua lembaga fatwa IAIN Sunan Kalijaga. Pernah memimpin Post Graduate course dalam bidang ilmu fiqih bagi dosen-dosen se Indonesia. Wakil ketua dan anggota Lembaga Penerjemah dan Penafsir Al Qur’an DEPAG RI (1962  – 1963). Mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (1975) dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada tanggal 29 0ktober 1975. Kerangan beliau lebih dari seratus judul buku, dan sebagian besar diterbitkan dan dicetak ulang.
5. Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH
            Guru besar Fakultas Hukum UI dan beberapa Universitas lain di Jakarta. Antara lain Uneversitas Taruma Negara. Beliau menyelesaikan studynya di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UI tahun 1960 dan The Institute Of Islamic Studies MC. Gill University, Canada tahun 1971. Tulisan beliau dapat di dapati diberbagai harian dan media serta majalah di Jakarta. Sedang yang telah diterbitkan adalah, Hukum Islam dan Pembangunan Nasional (dalam H.M. Rasyidi Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah; 1976). Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia (1984), versi ingrisnya dimuat dalam Islam and Societi In Southeast Asia, (Ed. By Taufiq Abdullah, Sharton Siddique, 1988). Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik (1986). Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf (1988). Agama Islam (1989). Disamping itu, beliau juga memangku berbagai jabatan, antara lain, Ketua Pusat Studi Hukum Islam UI, anggota Pengkajian Hukum Islam BPHN, anggota Konsorsium Ilmi Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Koordinator mata kuliah Hukum Islam , Koordinator MKDU agama UI dan Koordinator MKDU Agama Islam Universitas Taruma Negara.
CURICULUM VITAE
Nama                                       : Amrul Hidayat
NIM                                        : 99353553
Tempat dan Tanggal Lahir      : Tegal, 22 Juli 1980
Orang Tua                               : Ayah : Tarhadi
                                    : Ibu     : Umi Laela
Alamat Yogyakarta                 : Jl. Taman Siswa MG III/124 F Yogyakarta
Alamat Asal                            : Desa Ketanggungan Rt. 06 Rw. 01 No. 61                                        Kec. Dukuhturi Kab. Tegal Jawa – Tengah
PENDIDIKAN :
  1. Madrasan Ibtidaiyyah Infarul Ghay Ketanggungan Tegal, lulus tahun 1992
  2. Madrasah Tsanawiyyah Daarul Rahman Kebayoran Baru Jakarta, lulus tahun 1995.
  3. Madrasah Aliyah Daarul Rahman Kebayoran Baru Jakarta, lulus tahun 1999.
  4. Jurusan Al-Akhwal Asy-Syahshiyyah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus tahun 2004.
PENGALAMAN ORGANISASI :
  • Pengurus Ikatan Pelajar Putra Pondok Pesantren Daarul Rahman (IP3DR) Jakarta bagian Bendahara.
  • Pengurus Pengembangan Bahasa PP. Daarul Rahman Jakarta.
  • Wakil ketua Ikatan Pelajar konsulat Jawa Tengah PP. Daarul Rahman Jakarta.
  • Kepala Bidang Pengembangan Intelektual dan Wacana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
  • Ketua Pusat Informasi Alumni PP. Daarul Rahman Jakarta di Yogyakarta
Lampiran
TERJEMAHAN
No
Hlm
 FN
Terjemahan
 1
 12
  23
Sungguh, kalian berperkara kepadaku, mungkin setengah darimu punya argumentasi melebihi setengah lainnya, lalu kuputuskan bagi kemenangannya berdasarkan apa yang ku dengar darinya. Untuk itu, siapa yang diberi sesuatu dari hak saudaranya, maka telah aku berikan sepotong api neraka.
 2
 21
   6
Qadhi-qadhi itu ada tiga golongan. Satu golongan di surga dan dua golongan di neraka. Adapun qadhi yang di surga ialah seorang qadhi yang mengetahui kebenaran lalu ia memutuskan berdasarkan kebenaran itu. Seorang qadhi yang mengetahui kebenaran lalu ia curang, maka ia ditempatkan di neraka. Dan seorang qadhi yang memberikan keputusan kepada manusia berdasarkan kebodohannya, maka ia ditempatkan di neraka
 3
 22
  9
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanaya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
 4
 34
  5
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku, Aku tidak menghendaki pemberian apapun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Dialah pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh
 5
 34
  6
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
 6
 34
  7
1) bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, 2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3) Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang paling Pemurah, 4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. 5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
BIOGRAFI
1. Ibnu Hajar al Asqalani
            (L. Cairo, 12 Sya’ban 773 H/18 Feb. 372 M – W. 28 Dzulhijjah 852 H/22 Feb. 1449 M). Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Abu Fadl Ahmad bin Nuruddin Ali bin Muhammad bin Hajar al Asqalani. Beliau adalah seorang ulama besar dalam ilmu Fiqih, Hadis, dan sejarah. Belaiu termasuk salah satu Ulama Fiqih dari Madzhab Syafi’i. Ayahnya bernama Nuruddin Ali (W. 777 H/1375 M). Beliau banyak belajar ilmu bahasa dan sastra, sejarah dan hadis. Selain sebagai ulama dan ilmuan, beliau juga menjadi ulama, Guru Besar, Kepala Madrasah Khatib dan Pustakawan. Beliau mengajar ilmu Hadis, Fiqih dan ilmu Tafsir. Karya beliau di bidang ilmu hadis antara lain: Fathul Bari Fi Syarrah al Bukhori, Al Isabi Fi Tamyiz as Sahabah, Tahzib al Tahzib, Lisan al Mizan; Anbar al Gumr bi Anba’, dan Bulughul Murom Minal Adillah al Ahkam.
2. Ibnu Rusyd
            Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurthubi al Andalusiy, beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd al Hafid (1126 – 1198 M). Beliau adlah seorang Filosuf, ahli hukum Islam (mujtahid) terbesar di Dunia Islam dibagian barat pada zamannya. Beliau berasal dari bangsa Spanyol. Beliau adalah Dokter di istana Cordova dan seorang Mujtahid ahli hukum yang besar, untuk itu beliau diberi gelar “Faqih Kabir” (ahli fiqih yang besar). Di dunia barat, beliau sangat terkenal dengan nama Averois, sebagai seorang filosuf yang ikut memperkenalkan Filsafat Yunani ke dunia barat. Beliau juga sebagai Qadhi kepala dari kerajaan. Karya beliau adalah at Tahafut at Tahafut, sebagai serangan atas al Ghazali. Sebagai seorang Mujtahid dalam ilmu hukum, beliau menulis karyanya yang monumental Bidayatul Mujtahid suatu kitab standar fiqih Islam.  
3. Bismar Siregar, SH
            Lahir di Sipirok, Sumatra Utara 15 September 1928. Karir pertama sebagai jaksa pada Kejaksaan Negeri Palembang (1957), lalu Hakim Pengadilan Negeri Pangkal Pinang (1961), Hakim Pengadilan Tinggi Bandung (1980-1982), hakim Agung (1984-1985). Beliau juga pernah menjabat sebagi Dekan Fakultas Hukum UMJ dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (IBLAM), dan anggota Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Beliau dikenal sebagi hakim yang berhati lembut namun tegas dalam menegakkan asas hukum demi keadilan keadilan. Hukum formal itu nomor dua, sedang hukum iman dan Pancasila sebagai sumber dan filsafat hukum penentu kepastian hukum yang adil. Hukum dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.
4. Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy
            Lahir 10 Maret 1904 di Lhok Seumawe, wafat di Jakarta 09 Desember 1975. Beliau adalah dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, yaitu tahun 1960 sekaligus dekan Fakultas Syari’ah Kutaraja Banda Aceh Cabang IAIN Sunan Kalijaga (1960 – 1962). Rektor Universitas al Irsyad Surakarta (1961 – 1967). Guru besar UII (1964). Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Sultan Agung Semarang (1967 -1975). Mantan ketua lembaga fatwa IAIN Sunan Kalijaga. Pernah memimpin Post Graduate course dalam bidang ilmu fiqih bagi dosen-dosen se Indonesia. Wakil ketua dan anggota Lembaga Penerjemah dan Penafsir Al Qur’an DEPAG RI (1962  – 1963). Mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (1975) dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada tanggal 29 0ktober 1975. Kerangan beliau lebih dari seratus judul buku, dan sebagian besar diterbitkan dan dicetak ulang.
5. Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH
            Guru besar Fakultas Hukum UI dan beberapa Universitas lain di Jakarta. Antara lain Uneversitas Taruma Negara. Beliau menyelesaikan studynya di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UI tahun 1960 dan The Institute Of Islamic Studies MC. Gill University, Canada tahun 1971. Tulisan beliau dapat di dapati diberbagai harian dan media serta majalah di Jakarta. Sedang yang telah diterbitkan adalah, Hukum Islam dan Pembangunan Nasional (dalam H.M. Rasyidi Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah; 1976). Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia (1984), versi ingrisnya dimuat dalam Islam and Societi In Southeast Asia, (Ed. By Taufiq Abdullah, Sharton Siddique, 1988). Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik (1986). Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf (1988). Agama Islam (1989). Disamping itu, beliau juga memangku berbagai jabatan, antara lain, Ketua Pusat Studi Hukum Islam UI, anggota Pengkajian Hukum Islam BPHN, anggota Konsorsium Ilmi Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Koordinator mata kuliah Hukum Islam , Koordinator MKDU agama UI dan Koordinator MKDU Agama Islam Universitas Taruma Negara.
CURICULUM VITAE
Nama                                       : Amrul Hidayat
NIM                                        : 99353553
Tempat dan Tanggal Lahir      : Tegal, 22 Juli 1980
Orang Tua                               : Ayah : Tarhadi
                                    : Ibu     : Umi Laela
Alamat Yogyakarta                 : Jl. Taman Siswa MG III/124 F Yogyakarta
Alamat Asal                            : Desa Ketanggungan Rt. 06 Rw. 01 No. 61                                        Kec. Dukuhturi Kab. Tegal Jawa – Tengah
PENDIDIKAN :
  1. Madrasan Ibtidaiyyah Infarul Ghay Ketanggungan Tegal, lulus tahun 1992
  2. Madrasah Tsanawiyyah Daarul Rahman Kebayoran Baru Jakarta, lulus tahun 1995.
  3. Madrasah Aliyah Daarul Rahman Kebayoran Baru Jakarta, lulus tahun 1999.
  4. Jurusan Al-Akhwal Asy-Syahshiyyah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus tahun 2004.
PENGALAMAN ORGANISASI :
  • Pengurus Ikatan Pelajar Putra Pondok Pesantren Daarul Rahman (IP3DR) Jakarta bagian Bendahara.
  • Pengurus Pengembangan Bahasa PP. Daarul Rahman Jakarta.
  • Wakil ketua Ikatan Pelajar konsulat Jawa Tengah PP. Daarul Rahman Jakarta.
  • Kepala Bidang Pengembangan Intelektual dan Wacana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
  • Ketua Pusat Informasi Alumni PP. Daarul Rahman Jakarta di Yogyakarta

[1]Soerjono soekanto, “Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum,” Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV (1983), hlm. 37
[2]Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, (Jakarta : Departemen Agama R.I., 1985), hlm. 2.
[3] Ibid
[4]Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, alih bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: PT Intermasa, 1980), hlm. 16.
[5]Soerjono Soekanto, “Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan hukum,”Analisis Pendidikan, hlm. 40.
[6] Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam Di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, hlm. 15-22.
[7] T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan Hukum Acara Islam  (Bandung: PT Al-Maarif, 1964), hlm. 30
[8] Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, hlm. 6.
  
[9] Menurut Bambang Marhijanto, Kata peranan berarti juga sebagai bagian dari tugas yang harus dilaksanakan. Lihat Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer, (Surabaya: CV. Bintang Timur, 1996), hlm. 476.
[10] Maurice Duverger, Sosiologi Politik,alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), hlm. 103.
[11]Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata hukum Indonesia,cet. I (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm. 23.
[12]Kadi, S, “Pengadaan Hakim Pengadilan Agama,” Pembimbing, No.61 Tahun. XIV. (1986), hlm. 16.
[13]Penjalasan Undang-Undang  nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman  I, Umum, butir 6. In Casu, adalah bahasa latin yang berarti dalam perkara ini, dalam hal ini.
[14]Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum. (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 7
[15]Ahyar, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi: Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dept. Kehakiman RI, 1999), hlm. 295
[16] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia. Cet. II (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1998). hlm. 185.
[17]Penjelasan umum atas UU RI No. 7 Th. 1989 Tentang Peradilan Agama (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 41.
[18]Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia,dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, alih bahasa Rochman Achwan, cet.I (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 208.
[19]Anwar Harjona dan RamliHutabarat, Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 217.
[20]Undang-Undang. No.4 Tahun 2004  tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 2, 3 dan 16.
[21]Kadi. S, Pengadaan Hakim Pengadilan Agama, hlm.16.
  
[22] Ibnu Rusyd al-Khafid, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 378.
[23]  Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram , (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 290, hadis nomor 1418. “Kitab al-Qadla”. Hadis ini diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘Alaih dari Umi Salamah R.A   
[24] H. Satria Efendi M. Zein, “Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama.”  Mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No. 10 Tahun. IV ( 1993), hlm. 43.
[25]Muhammad Nazir, Metode Penelitian(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63.
[26]Muhammad Salam Madkur, Al-Qada Fil Islam,(Ttp : tt) hlm. 11.
[27]Tengku Muhammad Hasbi Ash sidiqi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam, cet. Ke-1, (Semarang; PT Pustaka Rizki Putera, 1997), hlm. 29.
[28]Muhammad Salam Madkur, Al-Qada Fil Islam,(Ttp : tt) hlm. 11.
[29] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 180.
[30] Ibid.
[31] Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram , (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 289, hadis nomor 1411. “Kitab al-Qadla”. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Arba’ah dan dibenarkan oleh Imam Hakim dari Buraidah. R.A
[32] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 181.
[33] Ibid.
[34] An- Nisa (4) : 58
[35] Pasal 11 UU No. 35 Tahun 1999, dikutip dalam kertas kerja “Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim”,(Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003), hlm. 23.
[36] UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Karina, 2004) hlm. 30.
[37]Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999.
[38] Hal ini secara resmi tercantum dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
[39] Penjelasan UU No. 14 Tahun 1970, I umum, butir enam, alinea terakhir.
[40] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 37.
[41]  UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Karina, 2004) hlm. 35.
[42] UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Karina, 2004) hlm. 26.
[43] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 204.
[44]Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 63.
[45] Ali Yafie, Menggagas Figh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 132.
[46] A. Djazuli, Ilmu fiqh; Sebuah Pengantar, (Bandung: Orba Shakti, 1991), hlm. 54.
[47] Ali Yafie, Menggagas Figh Sosial, hlm. 12.
[48] Az-Zariyat (51) : 56-57
[49] At-Tahrim (66) : 6
[50] Al-‘Alaq (96) : 1-5
[51]Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 69.
[52] Ibid, hlm. 71.
[53] Ibid, hlm. 84.
[54] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hlm. 17.
[55]  K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan.(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hlm. 40.
[56]  Satria Effendi M. Zein, “Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama”, Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam. No. 10, Th ke-IV (1993), hlm. 52.
[57]  Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), alih bahasa R. Kaelan, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1980), hlm. 4.
[58]Mochtar Kusumaatmaja, Hubungan Timbal Balik Antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat, (Jakarta: PT Bina Cipta, 1976), hlm. 20.
[59]Seorjono Seokanto, Mengenal Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 272.
[60]Maroelak Sihombing, “Partisipasi Sebagai Pemerdekaan  Manusia”, Prisma. No. 11, (November 1980), hlm. 14.
[61]Satjipto Raharjdo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 119.
[62]HM. Syafaat Mintaredja, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, (Jakarta: PT Septenarius, 1976), hlm. 96.
[63]Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, hlm. 14.
[64]Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia, alih bahasa H. Zaini Akhmad Noeh, (Jakarta: PT Inter Masa, 1980), hlm. 20.
[65]H.M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan); Latar Belakang, Tujuan dan Prospek Undang-Undang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 290-291.
[66]William J. Goode, Sosiologi Keluarga, alih bahasa Sahat Simamora, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983), hlm. 21.
[67]Maurice Duverger, Sosiologi Politik, alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), hlm. 86.
[68]J.W. Schrool, Pengantar Sosioligi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, (Jakrta: PT Gramedia, 1981), hlm. 279.
[69] Ibid.
[70]Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial, hlm. 245.
[71]Mochtar Kusumaatmaja, Hubungan Timbal Balik Antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat, hlm. 27
[72]Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, hlm. 55.
[73]Juwono Sudarsono (ed.),Pembangunan Politik dan Perubahan Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 3. 
[74]Sutandyo Wignyosoebroto, Seminar: Pembinaan Profesi Hukum, (Jakarta: PT Bina CIpta, 1976), hlm. 6 
[75]Deden Efendi, Kompleksitas Hakim Agama, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1985), hlm. 25.
[76] Ibid, hlm. 26
[77] Ibid,  hlm. 27
[78]  Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), alih bahasa R. Kaelan, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1980), hlm. 4.
[79]Mochtar Kusumaatmaja, Hubungan Timbal Balik Antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat, (Jakarta: PT Bina Cipta, 1976), hlm. 20.
[80]Seorjono Seokanto, Mengenal Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 272.
[81]Maroelak Sihombing, “Partisipasi Sebagai Pemerdekaan  Manusia”, Prisma. No. 11, (November 1980), hlm. 14.
[82]Satjipto Raharjdo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 119.
[83]HM. Syafaat Mintaredja, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, (Jakarta: PT Septenarius, 1976), hlm. 96.
[84]Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, hlm. 14.
[85]Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia, alih bahasa H. Zaini Akhmad Noeh, (Jakarta: PT Inter Masa, 1980), hlm. 20.
[86]H.M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan); Latar Belakang, Tujuan dan Prospek Undang-Undang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 290-291.
[87]William J. Goode, Sosiologi Keluarga, alih bahasa Sahat Simamora, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983), hlm. 21.
[88]Maurice Duverger, Sosiologi Politik, alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), hlm. 86.
[89]J.W. Schrool, Pengantar Sosioligi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, (Jakrta: PT Gramedia, 1981), hlm. 279.
[90] Ibid.
[91]Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial, hlm. 245.
[92]Mochtar Kusumaatmaja, Hubungan Timbal Balik Antara Hukum dan Kenyataan-kenyataan Masyarakat, hlm. 27
[93]Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, hlm. 55.
[94]Juwono Sudarsono (ed.),Pembangunan Politik dan Perubahan Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 3. 
[95]Sutandyo Wignyosoebroto, Seminar: Pembinaan Profesi Hukum, (Jakarta: PT Bina CIpta, 1976), hlm. 6 
[96]Deden Efendi, Kompleksitas Hakim Agama, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1985), hlm. 25.
[97] Ibid, hlm. 26
[98] Ibid,  hlm. 27
www.web.unmetered.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *