Cara mengetahui Valuasi Indexs Saham

Pakar Kepala Riset Analisa UBS Securities, mengatakan  “Kita berekspektasi indeks akan kembali ke level 5000. Jadi, untuk saat ini silahkan mengambil keuntungan yang sudah diperoleh dari kenaikan indeks sebelumnya.”
Saya kutip lebih lanjut dari artikel tersebut:

Menurut beliau, valuasi IHSG saat ini sudah terlalu tinggi. Dengan kata lain, IHSG sudah berada di fase jenuh beli. Rasio harga terhadap laba bersih (PER) IHSG menuru beliau, suda mencapai 16,2 kali. Diperkirakan, tingkat PER yang pas saat ini adalah pada kisaran 13 kali.

Inti dari artikel tersebut: harga saham-saham di Bursa Efek Indonesia sudah terlalu tinggi, alias sudah sangat mahal. Saatnya jual, tunggu turun, lalu beli lagi.

Sebagai informasi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia pada tanggal 05 Maret 2013 tutup di angka 4751. Dua hari sebelumnya, tanggal 01 Maret, IHSG baru saja membuat rekor tertinggi (sampai saat itu) di angka 4811.

Nah, kalau IHSG di 4800 dinilai sudah terlalu tinggi, bagaimana dengan kondisi pada tanggal 20 Mei 2013 saat IHSG tutup di angka 5214?

Kalau 4800 sudah terlalu tinggi, 5200 seharusnya sudah amat sangat terlalu tinggi dong?

Terus terang, saya tidak tahu.

Lagipula, itu bukan pesan yang mau saya sampaikan di pos ini.

Pesan yang mau saya sampaikan adalah:

1. Jangan serta-merta langsung percaya pada apa yang anda baca, apa yang anda dengar.

Peter Lynch di bukunya One Up On Wall Street menyarankan anda untuk jangan langsung percaya pada siapapun. saya merangkum perkataan Peter Lynch sebagai berikut:

Peter Lynch pada Bab Pendahuluan mengatakan bahwa ada satu hal utama yang perlu anda ketahui: Jangan mengikuti mentah-mentah saran para profesional! 

Jangan langsung percaya saran pakar ekonomi, jangan langsung mengikuti saran analis saham, jangan menelan bulat-bulat saran saya di blog ini, jangan pula langsung membeli saham rekomendasi Peter Lynch. 

Mengapa?

Jawabannya ada di nomor 2.

2. Analis bisa (sering) salah.

Tidak hanya analis-analis karbitan yang sering salah; analis kelas kakap yang bekerja di perusahaan sekuritas kelas dunia seperti UBS Securities pun bisa salah.

Coba anda bayangkan. Analis di perusahaan sekuritas kelas dunia tentu saja punya data yang lengkap, juga punya informasi terkini. Analis tersebut kemungkinan berpendidikan tinggi, punya gelar MBA, sudah lulus test CFA (Chartered Financial Analyst).

Data lengkap, informasi up-to-date, pendidikan tinggi, pengetahuan luas, pengalaman segudang. Kok masih salah?

Jawabannya ada di nomor 3.

3. Semua analisa saham, ujung-ujungnya adalah nebak.

Lho kok gitu, protes anda. Analisa fundamental kan berdasarkan laporan keuangan perusahaan. Kok dibilang nebak?

Laporan keuangan perusahaan adalah fakta masa lalu, sedangkan pergerakan harga saham selalu forward looking, memandang ke depan.

Coba anda pikirkan: siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan? Siapa yang tahu apakah perusahaan akan berhasil menghasilkan laba sebesar angka yang diprediksi analis? Siapa yang tahu apakah produk terbaru perusahaan akan laku keras di pasar? Kalau laku keras, berapa banyak yang akan terjual, berapa lama hal itu akan berlanjut?

Analis berbekal data lengkap bisa saja membuat educated guess, prediksi terpelajar. Tapi prediksi adalah tetap nebak. Anda bisa namakan prediksi, forecast, ramalan, prakiraan, target. Apapun namanya, ujung-ujungnya adalah nebak.

Apakah ini artinya saya mengatakan analisa fundamental tidak perlu?

Sama sekali bukan begitu.

Analisa fundamental sangat penting untuk mengukur mahal-murahnya suatu saham. Tapi analisa fundamental bukan tipe analisa yang cocok untuk pasar yang sangat Bullish dan sangat Bearish.

Dengan kata lain, ketika optimisme terlalu tinggi, saham yang sudah mahal, sudah tinggi harganya, bisa naik lebih tinggi lagi. Ketika pesimisme terlalu tinggi, saham yang sudah murah, sudah rendah harganya, bisa turun lebih rendah lagi. 

Karena alasan ini, pesan saya berikutnya adalah:

4. Jangan mendewakan satu cara dalam berinvestasi saham. 

Dunia ini penuh dengan orang-orang fanatik, yang menganggap hanya ada satu cara yang terbaik, hanya ada satu cara untuk melakukan sesuatu. Masalahnya, cara yang mereka anggap terbaik biasanya adalah satu-satunya cara yang mereka tahu, cara yang biasa mereka kerjakan.

Bagaimana mereka tahu dan begitu yakinnya bahwa cara mereka adalah yang terbaik, padahal mereka tidak pernah mempelajari cara yang lain?

Katakan saja anda untung besar investasi di saham tapi tidak pernah beli properti. Apakah dengan itu bisa anda simpulkan bahwa investasi saham adalah investasi yang terbaik? Bagimana kalau misalkan anda untung berlipat-lipat dari investasi properti tapi tidak pernah main saham. Apakah anda bisa dengan yakin menyatakan bahwa investasi properti lebih baik dari investasi saham? 

Saya sudah cukup tua dan berkecimpung cukup lama di dunia saham untuk menyadari bahwa TIDAK ADA CARA SATU-SATUNYA YANG TERBAIK UNTUK SEMUA ORANG. 

Ada cara terbaik untuk saya, ada cara terbaik untuk anda, tapi cara terbaik untuk saya tidak berarti adalah cara terbaik untuk anda.

Lagian, tidak ada analisa yang works all the time, yang selalu berhasil dan tidak pernah gagal. Kalaupun anda penganut aliran teknikal, sadarlah bahwa tidak ada analisa teknikal yang juga works all the time.

Kalau anda ingin sukses main saham, berusahalah untuk membuka pikiran anda dengan menerima hal-hal baru. Berusahalah menerima bahwa banyak jalan menuju Roma. Berusahalah menerima bahwa jalan yang anda pilih menuju Roma belum tentu jalan yang terbaik untuk orang lain. Berusahalah menerima perbedaan pandangan, sikap, tujuan, keyakinan, pendapat orang lain.

(Perhatikan: saya tidak meminta anda menerima pandangan orang lain. Yang saya minta adalah anda untuk menerima perbedaan pandangan, sikap, dll.)

Pasar saham hanya akan berfungsi kalau orang-orang punya pendapat yang berbeda. Kalau semua orang mau beli, tidak ada yang menjual, tidak ada saham yang bisa anda beli. Kalau semua orang mau jual, tidak ada yang mau beli, tidak ada saham anda yang terjual. 

Nah, sekarang sedikit intermezzo mengenai mengapa saya beralih dari analisa fundamental.

Saya sendiri sekarang condong memakai analisa teknikal. Saya meninggalkan analisa fundamental karena ketika mulai serius main saham di tahun 1990an, saya mendalami analisa fundamental tapi hasilnya saya rugi habis-habisan. Apakah ini berarti analisa fundamental itu jelek?

Sama sekali tidak.

Saya mengartikan kegagalan saya dikarenakan saya tidak mengerti betul analisa fundamental, dan juga karena analisa fundamental tidak cocok dengan bingkai-waktu main saham saya.

Kemungkinan yang lain adalah: saya memakai analisa fundamental ketika Krisis Moneter (krismon) menghantam Indonesia di tahun 1997. Ketika pesimisme amat sangat tinggi–seperti saya tulis di atas–saham yang sudah murah bisa turun menjadi lebih murah lagi. Kondisi seperti itu tidak berarti analisa fundamental jelek. Hanya saja, menerapkan analisa fundamental pada saat itu harus dibarengi dengan tingkat kesabaran tinggi (suatu karakter yang tidak saya miliki).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *